Lihat semua daftar posting »»

Minggu, 18 Desember 2011

KISAH RIO 05

Akhirnya aku cuma mengatakan kalau seluruh keluarga mama koko termasuk om alvin juga.
Mama koko menyuruh aku untuk masuk dulu ke rumahnya tapi aku menolak dengan alasan aku masih harus mengantarkan beberapa undangan ke teman teman yang lain.
Koko yang baru keluar dari kamar agak kaget saat melihat aku sedang berdiri di teras rumahnya bersama rizal dan mamanya.
Koko langsung menghampiri kami.

“ada apa yo…?”
tanya koko padaku.

“itu ada undangan untukmu juga untuk mamamu. Pokoknya kalian semua lah.. Jangan sampai nggak datang.”
aku menjelaskan.
“ya pasti datang, tapi kamu mau kemana lagi, kok nggak masuk?”

“kan rio mau mengantarkan undangan yang lain untuk teman temannya..”
mama koko yang menjawab.
Koko mengangguk tanda mengerti.
“aku boleh ikut?” tanya koko.

“boleh ko kalau mau ikut, jadi tambah rame.”
jawabku.
“tunggu sebentar aku ke dalam mau ngambil hp di kamar..”
koko berlari masuk kerumah tanpa menunggu aku menjawab, Tak lama kemudian koko keluar lagi.

Kami bertiga berkeliling mengantarkan undangan ke tempat teman temanku.
Ternyata ada keluarga yang mau nikah itu repot juga, belum acara juga sibuknya udah begini bagaimana kalau acaranya nanti.
Aku tau bisa membayangkan hal itu. Yang pastinya aku harus menyiapkan tenaga dan waktu. Andaikan ini adalah persiapan pernikahan kak faisal, tentu perasaan bahagia ku akan lebih dari yang aku rasakan ini.

Mengingat cara kematian kak faisal yang begitu mengenaskan rasanya aku jadi makin sedih.
Tak disangka ternyata ada Kak fairuz sebagai penggantinya. Meskipun aku lebih menyukai kak faisal ketimbang kak fairuz.
Kak faisal sudah bertahun tahun bersamaku semenjak aku masih kelas satu SMU hingga aku kuliah. Rasanya aku ingin membalik waktu andaikan itu bisa dilakukan.

“kemana lagi kita yo..”
tanya koko dari belakangku.

“undangan masih tinggal dua lembar, sekarang sudah hampir maghrib, lebih baik kita kerumahku dulu ya sekalian sholat magrib dulu, setelah itu kita makan dan jalan lagi..”
kataku sambil melirik jam digital dibawah audio mobil.

“kamu atur saja lah..”
jawab rizal.

“aku emang udah lapar sih..”
koko memegang perutnya.
“ya udah kita kerumahku dulu.”
aku memutar setir dan berbelok mengambil jalan pintas terdekat menuju rumahku. Aku mengajak koko dan rizal masuk ke dalam.
Mereka mengiringiku masuk ke kamar. Aku menyuruh mereka wudhu duluan. Sementara itu aku ke dapur menyuruh bik tin untuk menyiapkan makan malam untuk kami bertiga.
Mama yang sedang berjalan menuju dapur kaget karena nyaris aku tabrak saat bertemu di depan pintu.

“eh mama..”
ujarku kaget.

“rio.. Pelan pelan dong jalannya.. Hampir aja..”
mama mengusap dadanya sambil menarik nafas.

“maaf ma, soalnya buru buru mau wudhu dulu..”
jawabku.

“ada temen kamu ya, kalian mau ke mana emangnya?”
tanya mama ingin tau.

“mau nganter undangan ma, masih ada yang belum sempet diantar tadi..”
jelasku singkat.
“ya udah kalau gitu.. Sholat lah dulu..”

“kak fairuz mana ma?”
tanyaku.
“nggak tau sih, tadi ia pergi pake mobil papa kamu.”

“oh mungkin menemui ibunya ke hotel.”
aku menduga.

“maksudmu..?”
mama terlihat kaget.

“iya rio bilang mungkin ia menemui mamanya di hotel.. Tadi kan aku sama kak fairuz ke bandara, terus kami mengantarnya ke hotel.. Bahkan kami juga sempat kerumah amalia..”
aku menceritakan semua sama mama.
Itu membuat mama tambah terkejut.

“kok fairuz tak bilang bilang..”
suara mama pelan hingga nyaris seperti berbisik.

“memangnya sejak kapan kalau ada apa apa kak fairuz bilang dulu sama mama?”
aku bertanya.

“memang sih..”
mama mengangguk, sepertinya mama agak terlihat seperti orang yang sedang kalut.

“ma aku ke kamar dulu..”
aku meninggalkan mama.
tak menjawab pertanyaanku mama malah langsung berjalan ke dapur tanpa mengatakan apa apa lagi.

“kok lama banget sih..”
gerutu rizal begitu aku masuk kamar.

“sori bro.. Lagi nyuruh bibik nyiapin makanan buat kita..”
aku membuka baju.

“ya udah kamu mandi sana cepetan.. Kita sholat bareng aja..”
koko memain mainkan mobil miniatur koleksiku yang sudah ku simpan selama bertahun tahun.
Tanpa menunggu lama aku masuk ke kamar mandi. Tak sampai limabelas menit aku mandi setelah itu aku berwudhu. Setelah adzan maghrib berkumandang aku sholat berjamaah dengan koko dan rizal.
Selesai sholat aku mengajak mereka ke dapur. Di meja makan sudah disusun piring piring untuk kami bertiga.

Bik tin masak ikan patin pindang tempoyak, ayam goreng, ikan asin, dan sayur lempah darat.
Yang lempah darat ini aku yang mengajari bik tin, soalnya dulu waktu di bangka, emak sering masak lempah darat.

Bahannya tak sulit kok cukup sayur aja. Boleh ketimun, kacang panjang ataupun pepaya muda.
Bumbunya cuma terasi dan cabe kecil. Tak ada yang lain.
Karena kebiasaan orang bangka berkebun, untuk mengambil praktisnya. Mereka masak lempah darat yang tak ribet kalau makan di kebun.
Soalnya bahannya kan bisa memetik di kebun. Cuma terasi aja yang harus beli.
Tak kusangka ternyata rizal dan koko sangat menyukai lempah darat itu. Bahkan mereka sampai menambah lagi nasi ke dalam piring mereka.

“gila enak banget makanannya..”
ujar koko sambil mencolek lagi sambal terasi dengan daun singkong muda yang sudah di rebus.

“itu masakan kampung ko..”
jelasku sambil menghirup kuah lempah darat yang hangat.

“kalau seperti ini sih bisa bisa aku jadi gemuk..”
rizal mengeluh.

Mulutnya sebentar sebentar berdecak kepedasan. Keringat memenuhi wajahnya. Aku tersenyum puas melihatnya.
Itu baru masakan bik tin, kalau sampai mereka mencicipi masakan emak, aku yakin mereka tak akan pulang pulang lagi kerumah.

“sering sering yo ngajak kami makan kesini.. Nggak nyangka ternyata masakan kampung tuh lebih bikin selera makan bertambah ya!”
celetuk rizal.
“sering sering aja main kesini.. Aku bisa suruh bik tin masak yang beginian lagi..” kataku senang.

“sip lah kapan kapan pasti aku mau makan disini lagi..”
ujar rizal bersemangat.
Koko tertawa mendengarnya.

“ini bukan restoran loh zal..”
koko mengingatkan rizal.

“iya aku tau.. Apa salahnya sih makan dirumah teman..”
rizal mencibir pada koko.

“iya ko.. Nggak masalah kok, mama malah seneng kalo aku ngajak teman makan disini. Soalnya kan lebih rame rumah ini..”
aku menggeser piring yang sudah penuh dengan tulang ayam serta tulang ikan lebih ke tengah meja.

“aku kekenyangan nih yo..”
koko berdiri agak susah payah.

“udah zal nggak usah di beresin.. Biar nanti bik tin bisa..”
aku mencegah rizal yang mau menyusun piring kotor.

“nggak apa apa yo.. Udah biasa kok kalau dirumah malah kami diajari untuk mencuci sendiri piring kalo sudah selesai makan.”
sahut rizal tak perduli.

“ya baguslah kalau begitu.. Jadi bik tin nggak perlu capek capek, sebetulnya aku juga tiap habis makan pasti beresin sendiri…”
aku berterus terang.
Koko ikut membantu aku dan rizal menyusun piring kotor dan membawanya ke tempat pencucian piring. Aku menyusun piring kotor satu persatu ke dalam mesin.
Rizal membuang sisa sisa makanan ke dalam tempat sampah. Setelah menyalakan mesin pencuci piring, aku merapikan lagi meja, menutup satu persatu mangkuk porselen yang berisi lauk pauk. Aku membuka kulkas mencari kue untuk pencuci mulut.

“gila ah rio aku nggak mau… Ini aja perutku udah kayak kemasukan karung pasir rasanya..”
rizal menolak waktu aku menyodorkan sepotong kue padanya.

“aku kalau habis makan nasi pasti mau makan yang manis manis zal, udah kebiasaan dari kecil sih..”
kataku sambil mengunyah kue dengan nikmat.

“ya udah buruan, kita kan masih mau jalan lagi..”
koko mengingatkan.

“masih dua lembar kok.. Buat amri dan rian.. Lagian rumah amri kan nggak terlalu jauh.. Nanti kita bersantai dirumah rian aja ya..”
aku menimpali.

“terserah kamu sih.. Mumpung kita lagi ngumpul nih, gimana kalau kita karaoke aja.. Sekali sekali.. Dulu kami sering kok karaoke sama faisal..”
usul rizal penuh harap.
Aku melirik koko untuk meminta persetujuannya. Ternyata koko juga nampak tertarik.
“terserah kalian lah kalo gitu.. Aku sih atur atur saja..”

“sip lah.. Ayo kita jalan sekarang.”
rizal sudah tak sabar.

“tunggu dong zal, nyantai sebentar.. Nasi aja belum turun..”
protes koko.

“kalau gitu kita ke kamar dulu, jam tujuh aja kita keluar.”
aku mengusulkan.

Rizal dan koko setuju. Kami ke kamarku istirahat sekalian menunggu jam tujuh. Setelah itu kami keluar jalan lagi mengantar sisa undangan kerumah amri.
Kami cuma mampir sebentar dirumah amri setelah itu langsung cabut menuju ke kontrakan rian.

Suasana di kontrakan rian agak sepi. Lampu terasnya tak nyala. Aku jadi ragu rian ada dirumah atau nggak.
Aku mengetuk pintunya beberapa kali dengan agak keras namun tak ada jawaban. Ternyata rian memang tak ada dirumahnya.

Entah kemana dia, apakah karena kemarahannya tempo hari itu rian sengaja untuk menghindariku. Tadi aku sudah sms ke dia memberitahukan kalau aku mau kerumahnya. Dia memang tak menjawab sms ku.
Tapi ku kira dia akan menungguku datang. Ternyata rian memang sedang marah. Aku tak bisa berbuat banyak. Sudah kebiasaannya kalau marah tak cukup sebentar. Kadang itu membuat aku jadi ragu juga.
Apakah kami berdua bisa mempertahankan hubungan kami ini sedangkan rian tak bisa juga merubah sifat pemarahany itu. Rian tipe pendendam. Berkali kali dijelaskan Ia takkan perduli.
Rian sangat keras kepala juga keras hati. Ia hanya memikirkan dirinya sendiri. Jarang sekali ia mau mengerti padaku. Kalau ia marah maka ia tak mau mendengarkan penjelasan apapun.
Itu membuat hatiku kesal. Aku paling marah kalau orang tak mau mendengarkan penjelasan. Membiarkan semua berlarut larut adalah sesuatu yang sia sia. Aku paling tak suka orang egois. Hal inilah yang membuat perasaan sayang ku pada rian jadi berkurang semakin hari.
Aku mengajak koko dan rizal pergi dari rumah rian. Aku tak perduli lagi rian mau marah sampai kapan. Kalau ia sudah tak emosi lagi pasti ia juga yang lebih dahulu menghubungiku.
Aku mengajak rizal dan koko ke tempat karaoke. Kami memesan room lalu menyanyi sepuas puasnya. Dengan cara itulah aku bisa sejenak melupakan kekesalanku pada rian.
Tiga jam kami bernyanyi di karaoke. Suaraku jadi agak parau karena rizal banyak memilih lagu lagu keras. Tadi kami nyanyi sambil teriak teriak kayak orang gila. Seakan akan karaoke itu milik nenek moyang kami
Aku mengantarkan rizal dan koko kembali kerumahnya. Om alvin sedang duduk di depan teras rumah koko, padahal sekarang sudah jam duabelas lewat.

Aku tak turun dari mobil karena itu, koko melirikku begitu ia tahu ada om alvin. Melihat kami datang om alvin bergegas menghampiri mobilku.
Mau apa sih om alvin, koko juga kenapa nggak langsung turun cepat cepat, jadi aku bisa segera meninggalkan rumahnya.
Om alvin melongok ke jendela mobil, koko membuka kaca mobil.

“ada apa om?”
tanya koko heran.

“om mau ngomong sama rio sebentar,kamu bisa tinggalkan kami berdua?”
om alvin meminta sama koko.
Merasa tak enak hati, koko menoleh padaku dan mengangkat alis ingin tau reaksiku.

“nggak apa apa ko, kamu turun lah.. Lagipula masalah kami ini harus di selesaikan juga..”
aku mengangguk pada koko agar ia tidak kuatir.
Koko bergegas turun sedangkan om alvin kamipun masuk ke dalam mobil duduk di sampingku.

“kita jalan rio.. Om mau bicara dari hati ke hati.”
om alvin membuka pembicaraan.
Tanpa banyak tanya aku menekan gas lalu berbalik mundur. Aku melambaikan tangan pada koko kemudian membawa om alvin meninggalkan rumah koko.

“apa yang mau om katakan?”
aku memecah keheningan diantara kami.
“kita cari tempat yang santai untuk ngobrol yo..”

“ngomong disini saja om, sama saja… Lagian sekarang sudah dinihari..”
aku mengingatkan.

“kamu masih marah sama om?”
tanya om alvin ragu.

“untuk apa marah, selama ini aku juga tak marah, cuma tak perduli saja..”
jawabku tak acuh.

“apakah kesalahan om tak bisa kamu maafkan?”
suara om alvin terdengar sedih.

“apanya yang harus di maafkan kalau aku tak perduli..?”
aku balik bertanya.

“kamu begitu benci sama om.. Maafkan om..”
lagi lagi om alvin masih meminta maaf.

“kenapa om harus membuatku pusing terus, aku mau om tak mengangguku apa permintaanku itu terlalu sulit?”
aku menjawab dengan angkuh.
Om alvin menarik nafas seolah terasa ada beban berat yang ada di punggungnya.
“bagaimana papa bisa mengacuhkan kamu rio.. Kamu adalah anak papa.. Ijinkan papa untuk memperhatikan kamu, seperti yang lazim dilakukan papa papa yang lain terhadap anaknya..”

“aku kan sudah punya papa dan dia cukup perhatian tak kalah dengan papa papa yang lain..”
aku menjawab sekenanya.
Om alvin terdiam.

“jadi ada lagi yang penting lain mau dibicarakan lebih baik kita pulang.. Udah larut dan saya ngantuk banget..”
aku meminggirkan mobil menekan rem hingga mobil berhenti mendadak.

“tunggu dulu nak.. Papa belum selesai bicara..”
om alvin frustrasi.

“apa om tak puas puasnya mengganggu ketenanganku om.. Ku mohon om mengertilah.. Jangan ganggu aku lagi.. Bukannya dulu om sudah meninggalkan aku dan mama.. Jadi cukup sekarang, lupakan kami.!”
aku tak dapat lagi menahan emosi.

“rio kamu salah, mama kamu yang meninggalkan papa, ia kabur dari rumah tanpa papa sadari.. Mama kamu yang pergi saat dia lagi hamil!”
om alvin membela diri.
“aku sudah mendengar itu berkali kali om, bosan!”
“kamu pikir papa tak mencari mamamu kan, kamu salah… Tak ada waktu yang tak papa luangkan untuk melacak keberadaan kalian nak.. Papa benar benar kebingungan…” ratap om alvin.

“om berbohong, kemana saja om mencari kok sampai tak ketemu?”
tanyaku ketus.
“kenapa sih kamu tak memberi kesempatan papa untuk menjelaskan semuanya?”
“karena memang tak ada yang perlu di jelaskan om..”

“ada rio.. Banyak yang harus papa jelaskan biar tak kusut lagi seperti ini..”
om alvin bersikeras.
“sudahlah om aku ini pusing, terlalu banyak masalah yang aku hadapi..”

“ini akan membantumu menyelesaikan satu masalah.. Papa janji.!”
om alvin kelihatan begitu yakin.

“atau hanya akan menambah masalah baru?”
aku menunduk, rasanya aku hampir menangis, aku ingin sekali memeluk om alvin kalau aku menuruti kata hati. Tapi ego ku melarang aku melakukan hal itu.

“papa janji nak.. Papa tak akan membuatmu merasa tak nyaman.. Tolong kamu jangan emosi dulu, papa hanya ingin kamu tak salah paham lagi..”
kata om alvin dengan pelan sambil memegang bahuku.

“sekarang aku mau mendengarkan om mau mengatakan apa..”
aku memutar tombol ac biar lebih dingin, aku butuh mendinginkan otak ini.

“kamu mungkin tak percaya kalau papa begitu mencintai mama kamu, sampai papa mau mengorbankan apa saja demi kebahagiaannya.. Papa menentang keluarga demi mama kamu.. Kalau mama kamu menderita di belakang papa demi allah papa tak tau sedikitpun mengenai masalah itu!”
suara om alvin serak.

“lalu kenapa mama sampai kabur dari rumah papa.. Kalau om tak menjaga mama dengan baik.”
aku bersikeras.

“bukan begitu, saat mama kamu kabur, papa lagi diluar kota..papa tak bisa mencegah karena papa tak tau..!”
om alvin membela diri.

“iya om.. Aku mengerti.”
aku mulai agak melunak. Karena memang kalau saja aku berada pada posisi om alvin waktu itu, pasti aku juga tak akan bisa melakukan apa apa.

“lebih dari dua tahun papa mencari mama mu, papa gelisah sampai tak bisa tenang karena papa tahu mamamu lagi mengandung, papa akhirnya bertemu pada saat usiamu baru satu tahun, papa bertemu dia di bangka akhirnya…”
om alvin mendesah.

“lalu?”
aku semakin penasaran.

“papa sempat menggendong kamu.. Papa begitu bahagia dan papa menyuruh mama mu mengganti nama kamu rio krisna julian menjadi ricardo malvin silalahi. Tapi mama kamu tidak setuju. Padahal nama itu sudah papa persiapkan jauh sebelum kamu lahir..”
om alvin mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan.

“papa mengajak mama kamu balik, ia berjanji mau balik lagi sama papa.. Dia berjanji akan menemui papa esok harinya di pelabuhan. Tapi papa tunggu tak pernah mama kamu datang.. Dan papa lagi lagi kehilangan jejak kalian!”
desah om alvin terdengar begitu letih.

“mama kabur meninggalkan aku pada waktu itu dengan meninggalkan surat sama emak agar merawatku.”
aku menunduk.. Air mataku menetes jatuh ke pahaku.

“betul yang kamu katakan.. Papa menemui emak kamu dan emak kamu bilang kalau mamamu telah kabur dengan membawa kamu… Papa tak menyangka kalau papa sudah dibohongi sama emak kamu rio..”
akhirnya om alvin benar benar menangis sekarang.

“emak mengatakan kalau aku dibawa mama..?”
aku mengulangi kata kata om alvin.

“iya belakangan papa baru tahu semua kenyataannya kalau sebetulnya kamu ditinggal sama mama kamu di bangka..”
om alvin tak mampu menahan emosinya. Tangisannya beradu dengan kata katanya hingga agak sulit aku menangkap apa yang ia ucapkan.

“emak terlalu menyayangiku pa…”
aku memegang bahu om alvin.

“apa yang barusan kamu katakan…”
om alvin mendongak menatapku seolah tak percaya.

“mungkin emak tak mau mengatakan pada papa kalau mama telah meninggalkan aku karena emak takut papa membawaku..”
suaraku bergetar saat menyebut om alvin papa.

“kamu.. Kamu memanggil papa.. Kamu memanggil aku papa..”
om alvin masih ragu.

“iya pa.. Aku minta maaf..”
kata kataku tak selesai karena om alvin keburu memelukku erat erat.

“akhirnya papa bisa mendengar kamu memanggil papa.. Terimakasih anakku..terimakasih..”
om alvin tak mampu meredam keharuannya.
Aku membalas pelukan om alvin.

“papa jangan pernah lagi tinggalkan aku.. Papa jangan pernah pergi lagi..”
balasku lirih.
Entah kenapa saat ini aku merasa begitu terharu. Seakan beban yang berat terangkat dari pundakku.

“akhirnya kamu memaafkan papa..akhirnya papa mendengar juga kamu mengatakan ini.. Papa telah menunggu ini sekian lama.”
om alvin terus merangkulku seolah kalau ia melepaskannya aku akan lenyap.

“sudahlah pa.. Sekarang aku sudah mengerti semuanya..”
aku melepaskan pelukanku.
Papa kembali menyandar dikursi.

“sekarang kita pulang dulu nak.. Kamu pasti capek, kamu perlu istirahat..”
om alvin tersenyum senang.

“iya pa… Sepertinya papa juga butuh istirahat.. Besok aku janji akan menemui papa.. Aku tak mau kalau sampai papa sakit lagi..”
aku balas tersenyum bahagia.
Ternyata memaafkan itu memang sangat menyenangkan. Hati terasa bahagia dan lebih tenang. Aku merasa lebih bahagia sekarang.
Aku menekan pedal gas kemudian meluncur kembali kerumah koko untuk mengantar papa pulang. Tak sabar rasanya menunggu esok. Ternyata ada hikmah dari semua yang terjadi. Aku bisa menerima om alvin kembali sebagai papaku. Pasti keluarga koko sangat senang dengan hal ini. Aku belum tau bagaimana reaksi mama karena aku belum akan menceritakan hal ini pada mama. Aku akan menunggu saat yang tepat untuk mengatakannya. Biarlah semuanya mengalir seperti sungai.

Setelah mengantar om alvin sampai depan pintu aku pamit pulang. Koko belum tidur, ia menunggu aku dan om alvin dengan cemas. Ketika ia melihatku merangkul om alvin, wajahnya mendadak berubah menjadi berseri seri.
Koko tak menanyakan apa apa karena sepertinya ia sudah dapat menduga apa yang terjadi. Koko dan om alvin berdiri di depan rumahnya. mengantarku hingga aku menghilang dari pandangan mereka.
************************
Hari ini rumahku kedatangan begitu banyak saudara. Mama begitu sibuk mempersiapkan segalanya untuk menyambut para kerabat jauh yang datang untuk membantu di pesta nanti. Kak fairuz dari tadi pagi sudah pergi entah kemana.

“rio jalan yuk.. Bete nih dirumah terus.. Mana rame lagi.!”
odie mengeluh padaku.
Aku Tertawa melihat odie yang cemberut karena kesal.

“iya rio.. Kita jalan kemana kek.. Daripada dirumah kayak cewek aja.!”
tedi ikut ikutan.
Tedi anak pak cik yudi kakak dari mama. Orangnya lebih pendek sedikit dariku. Rambutnya agak ikal tapi wajahnya lumayan tampan. Sepertinya garis keturunan dari keluarga mama tak ada yang jelek.

“oke lah kalau gitu.. Tunggu sebentar aku siapkan mobil dulu..”
aku meninggalkan odie dan tedi.
Aku juga sebetulnya lagi bosan dirumah. Berisik sekali disini, para kerabat yang telah lama tak reuni membuat keadaan dirumah ini jadi tak ubahnya dengan pasar malam.
Aku menelpon koko untuk mengajaknya ikut bersama kami, aku menyuruhnya bersiap siap. Aku megeluarkan mobil dari garasi. Odie dan tedi menunggu sambil duduk di tangga teras. Aku berhenti tepat didepan teras. Odie dan tedi berdiri lalu masuk ke dalam mobil.

“kita jemput koko dulu..”
aku memberitahu odie.

“sip lah.. Yang penting kita jalan jalan..”
jawab odie sekenanya.

“rio kita kerumah teman mu yang cewek aja ya!”
tedi berharap.

Anak satu itu memang playboy. Dari awal datang sampai sekarang selalu saja cewek yang ia bahas dengan tak bosan bosan.
Aku dan odie sudah bete dari tadi mendengar ceritanya.

“ngapain juga kerumah cewek, siang siang gini kayak nggak ada kerjaan aja!”
sungut odie terdengar bosan.

“ya ampun odie.. Bagiku tak ada hari yang membosankan kalau ada wanita.. Kan wanita itu makhluk yang indah.. Tanpa wanita dunia ini akan suram..!”
tedi bagai tak perduli dengan jawaban odie. Aku tak menanggapi apa apa, semakin aku bicara pasti tedi semakin menjadi jadi.

“sok ganteng banget!”
balas odie cemberut.

“ya ampun die.. Kok sok ganteng.. Kan emang ganteng.. Tau nggak, gini gini di kampus aku punya banyak cewek loh!”
ujar tedi narsis.

“mau muntah ni yo, kamu bawa kantong plastik nggak?”
tanya odie asal.

“buka aja jendelanya die.. Muntah diluar aja.”
aku ikut asal.

“kalian berdua pasti sirik sama aku kan.. Tedi penakluk wanita..”
tedi makin pede aja.

“aduh ted, nggak level banget bersaing sama kamu, lagian wajah kamu tu nggak ada apa apanya dibanding rio.. Dua puluh persen nya aja nggak nyampe..”
odie membelaku.

“oh ya.. Masa sih.. Kok aku nggak tau ya?”
tedi nyengir menyebalkan.

“ya iyalah.. Aku kan belum buta.. Biasa lah ted kalo orang nggak pede dengan wajah malah jadi narsis.. Beda yang dari asalnya udah ganteng.. Nggak neko neko..!”
odie terdengar tak sabar.

“buktinya mana.. Rio aja nggak punya pacar sampai sekarang.. Kalau aku sudah ada buktinya, tau kan sama tyas cewek yang waktu di sma dulu anak tiga ips sekarang mengejar ngejarku loh..”
promosi tedi dengan bangga.

“iya dia mengejar ngejar kamu dengan pentungan untuk membunuhmu karena tak tahan melihat muka kamu yang bikin dia mau muntah!”
balas odie dengan tega.

“sembarangan.. Dia itu naksir sama aku tau.. Bahkan dia sempat menangis di dadaku karena aku putuskan.!”
pamer tedi sumringah.

“huh.. Menangis didadamu, apa tak salah.. Paling juga ia menangis meminta kamu tak mengganggu dia lagi.”
odie makin senewen.
Aku tersenyum sendiri mendengar mereka bertengkar mulut untuk hal nggak penting kayak gitu.

“si rani masih inget nggak?”
tanya tedi lagi.

“rani babu bu sulas yang suka beli sayur sama mang jono yang tiap pagi dorong gerobak di komplek itu?”
tebak odie asal.

“enak aja..bukan rani yang itu, yang aku maksud tuh, Itu si rani finalis gadis sampul yang dapat juara tiga itu.. Masa gak tau sih..”
tedi jadi tak sabar.

“emangnya kenapa dia?”
tanya odie tak berselera seolah tau akan kemana arah pembicaraan tedi.

“nah kamu pasti tak percaya kalau ia pernah menelponku..”
mata tedi berbinar binar.

“ada keperluan apa dia telpon kamu, lagian masa sih dia mau menghabiskan pulsa hanya untuk hal hal tak berguna seperti itu!”
tikam odie tanpa perasaan.
Tapi dasar terlalu pede bukannya tersinggung malah tedi dengan bangganya melanjutkan bualannya itu.

“entah darimana dia tau nomorku, aku sih curiga dia sudah lama mengincarku, soalnya nomor ku ini kan ekslusif.. Nggak banyak yang tau, kalau sampai dia bisa mendapatkan nomorku, aku yakin ia sudah menghabiskan banyak waktu untuk itu.. Bisa jadi ia sewa detektif..”
tedi tersenyum lebar.
Odie melongo seolah tak percaya dengan kata kata yang barusan ia dengar.

“sudahlah ted.. Kamu itu lagi ngigo ya.. Sadar dong..”
ujar odie sewot.

“tuh kan aku udah yakin kamu pasti iri, tapi wajar die bukan cuma kamu saja kok yang iri karena itu, banyak kok temanku yang lain reaksinya sama kayak kamu waktu aku ceritakan…”
tedi tertawa dan memandangi odie dengan tatapan kasihan
“rani itu kan terkenal pintar, kamu jangan fitnahin dia ted, dosa tau! Kamu kan sudah tau kalau fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan.”

“untuk apa sih aku fitnah, nggak banget deh.. Aku ceritakan ini sama kalian biar kalian tu termotivasi mendengarnya, apa kalian tak merasa hampa, diumur duapuluhsatu tahun belum juga punya cewek…”
tanpa beban sedikitpun tedi mengatakannya.

“apa urusannya sama kamu kalau aku sama rio belum pacaran, toh kami juga nggak ganggu kamu.. Buat apa kamu mengurusi masalah kami?”
odie jadi berang.

“ups tunggu dulu bro.. Jangan emosi, aku kan nggak ada maksud apa apa.. Cuma kasihan aja, kalian kan lumayan cakep, apa dosa kalian sampai belum dapat cewek juga?”
tanya tedi dengan wajah bloon.
Ingin rasanya aku menarik bibir tedi biar dia bisa diam walaupun cuma satu menit. Untunglah kami sampai juga dirumah koko.
Aku bergegas turun supaya tak mendengar lagi ocehan tedi. Aku berjalan ke pintu, belum sampai aku diteras koko sudah keluar duluan.

“mau jalan kemana yo?”
tanya koko sambil menghampiriku.

“kamu ada ide?”
aku balik bertanya.

“gimana kalau kita kerumah papamu aja..”
usul koko.
Aku menggaruk kepalaku. Dulu koko pernah mengajakku kerumahnya papa dan reaksiku membuat ia dan papa kaget. Namun sekarang semua keadaan sudah berbeda. Aku dan papa kini sudah dekat. Dan aku belum pernah masuk ke dalam rumahnya itu. Aku jadi teringat kalau rumah papa begitu mewah, untuk apa dia membeli rumah sebesar itu kalau ia hanya tinggal sendirian disitu. Aku menganggukan kepala.

“oke ko, boleh juga.. Kita kerumah papaku saja.”
aku berbalik ke mobil. Koko ikut masuk ke dalam duduk dibelakang bersama tedi. Kulihat tedi memperhatikan wajah koko lalu gantian memandangi aku.

“kenapa?”
tanya koko risih.

“nggak cuma heran aja, wajah kalian berdua kok mirip ya..!”
tedi menggaruk kepalanya.
Koko langsung tertawa.

“emang.. Kami kan saudara..”
jawab koko bangga.

“maksudmu?”
tedi masih belum mengerti.

“rio belum cerita ya kalau aku sama dia tuh sepupu..”
jawab koko sabar.
“yang bener yo?” tanya tedi kaget.

“iya.. Kok kaget gitu?”
aku tersenyum simpul.

“tapi kok bisa ya.., kan aku tau semua keluarga kita.. Semua susur galur dari nenek moyang kita juga aku kenal.. Tapi kenapa aku baru tau kalau aku punya sepupu dia ini?”
tedi masih belum percaya.

“ya terang aja bego.. Rio kan bukan anak kandung papanya.. Udah lah males aku jelasinnya ribet..!”
odie menjelaskan.
“iya itu aku juga tau, cuma kok rasanya aku…”

“papa kandung rio itu adiknya mama koko!”
odie memotong kata kata tedi dengan tak sabar.
Tedi langsung terdiam. Aku dan koko tersenyum melihat tedi dan odie yang jadi kayak orang berantem gitu.

“ya sudah.. Dari tadi kalian berdua berdebat terus.. Mana cuaca panas, nanti malah jadi berantem beneran loh..”
aku menengahi sambil terus konsen menyetir.

Aku memutar setir berbelok ke kiri menuju jalan kearah rumah papa. Sudah dua hari papa pulang kerumahnya karena ia merasa sudah sehat.
Waktu mama koko tau aku dan om alvin sudah berbaikan, ia sangat senang hingga menangis karena terharu.
Mama koko bersyukur aku bisa bersatu lagi dengan om alvin. Aku senang sekali bisa melihat mama koko begitu bahagia.
*************
Kami telah sampai dirumah om alvin. Aku memasuki pagar rumahnya yang tinggi terbuat dari besi berukir ukir warna emas bagai pintu istana. Odie dan tedi tercengang melihat rumah papaku yang sangat mewah.

“gila ini rumah keren banget!”
desis odie tak bisa menyembunyikan kekagumannya.

“ini rumah om alvin!”
jelasku singkat.
Odie langsung melihatku meminta kepastian.

“iya die ini rumah ayah kandungku.. Kok kamu jadi heran gitu..”
jawabku tak perduli sambil berjalan menaiki undakan tangga yang melingkar yang membawa kami ke teras rumah papa.
Aku baru kali ini melihat rumah ini waktu siang seperti saat ini. Memang betul betul rumah impian, jendelanya besar besar, tanaman yang terawat dengan rapi membuat semakin indah pekarangan yang luas ini. Koko menekan bell yang ada di pintu rumah ini. Tak berapa saat kemudian seorang pria muda membuka pintunya. Ia menunduk hormat saat melihat koko.

“om ku ada?”
tanya koko pada pria itu.

“ada lagi berenang di belakang.. Silahkan masuk..”
ia melebarkan pintu agar kami bisa masuk ke dalam.
Lalu ia mengantarkan kami menemui papa. Aku memandangi isi rumah itu dengan takjub. Memang sih kalau sekarang aku sudah agak terbiasa melihat rumah yang mewah, tak seperti dulu waktu aku baru tiba di palembang.
Jujur harus ku akui om alvin punya selera yang sangat tinggi. Tiap ruangan di rumahnya begitu menyatu dengan peralatan yang melengkapi ruangan itu. Lukisan lukisan yang berbingkai dalam ukuran berbagai macam menempel di dinding masing masing dilengkapi dengan lampu sorot kuning keemasan hingga menambah kesan artistik.
Tirai tirai dari bahan mengkilap setinggi tinggi langit langit membuat kami seolah olah sedang berada dalam ruangan istana. Rumahku jelas masih kalah dibanding rumah papa. Ternyata papa memang benar benar sukses.

“kamu itu beruntung banget rio.. Mama kamu kaya.. Papa kamu apalagi..”
odie menarik nafas dalam dalam sambil menekan ludah mengomentari apa yang ia lihat. Aku tersenyum pada odie.
“itu pak alvin lagi berenang..!” pria muda tadi menunjuk papa yang sedang berenang dengan lihainya cuma memakai celana dalam hitam di kolam renang berbentuk persegi panjang.
Kami mendekat ke kolam renang itu. Aku duduk di kursi yang ada disitu. Saat menyadari ada kami, papa langsung berenang ke tepi.

“halo.. Kok mendadak banget.. Ayo ikutan berenang.. Sejuk loh.!”
tawar papa sambil naik keluar dari kolam.
Tubuh papa begitu kekar dan padat, bagaikan tubuh yang terawat karena olahraga. Bulu bulu menyemak di sekujur dadanya turun hingga ke perut dan menghilang tertelan celana dalamnya.

“malas ah pa, dingin.. Tadi udah mandi dirumah..”
aku menolak.

“kan beda mandi di shower sama di kolam nak.. Ayo lah.!”
papa agak memaksa. Ia duduk di dekat bangku yang biasa dipakai untuk turis berjemur dibawah sinar matahari.
“aku nggak bawa celana ganti pa..!” aku mulai tertarik.
“nggak masalah.. Papa bisa suruh harto ke mall buat beli sekarang!” ujar papa sambil tertawa. Lalu papa memanggil sebuah nama, pria yang tadi mengantar kami datang terburu buru.
“kamu ke belikan celana dalam sekarang!” papa memerintahnya.
Tanpa banyak tanya pria tadi mengangguk dan berbalik masuk ke dalam rumah lagi.

“ayo mandi sekarang!”
ujar papa sambil berdiri lagi lalu terjun ke dalam kolam. Sempat aku lihat odie menatap papa dengan ganjil, namun aku tak begitu menhindahkannya.
Tanpa di komando lagi aku buka baju dan celana hingga yang tersisa cuma celana dalam saja begitu juga dengan koko dan tedi. Cuma odie saja yang masih duduk dengan wajah memerah.
Koko dan tedi nyebur ke dalam kolam. Aku menghampiri odie dengan heran

“ada apa die?”
aku bertanya sama odie.

“kalian mandi aja yo.. Aku malas soalnya dingin..”
tolak odie.

“nggak kok die, airnya lumayan hangat..”
aku mencelup jempol kaki ke kolam.
“kalian aja lah…”

“kenapa, kamu malu cuma pake celana dalam, santai aja lah.. Semua disini kan cowok.. Ayo dong buka lah celana sama baju kamu, nggak usah banyak alasan!”
kataku setengah memaksa.
Akhirnya odie membuka juga bajunya.

“masa sih kamu mau berenang pake celana jeans?”
tanyaku tak yakin saat aku lihat tak ada indikasi odie mau membuka celana panjangnya.
Dengan ragu odie membuka juga celana panjangnya. Mataku langsung terbelalak saat melihat bagian depan celana dalam odie yang menonjol bagaikan mau meloncat isinya. Odie melihatku penuh rasa malu ia langsung menutupi tonjolan celananya dengan kedua belah tangannya.

“odie punya kamu hidup?” aku menarik nafas kaget. Odie mengangguk pelan ia berdiri menunggungi kolam takut terlihat sama tedi, koko dan papa.
Untung saja mereka sedang adu renang jadi tak melihat odie. Aku menggelengkan kepala dengan heran. Apa yang membuat benda di bawah perut odie bangun. Dengan cepat aku dorong odie hingga tercebur di kolam. Lalu aku ikut nyebur menyusul odie.

“kalau dalam kolam nggak kelihatan punya kamu lagi berdiri die..”
aku berbisik sama odie.

“rio kamu jangan marah ya, aku.. Aku.. Barangku berdiri gara gara melihat tubuh papa kamu..!”
jawab odie membuat mataku terbelalak. bener bener gila!
“odie apa kamu udah sinting, dia itu papaku..!”
aku melotot pada odie. namun ia hanya cengengesan.
“kamu juga sih yo, punya papa kok bisa sekeren itu gimana aku bisa nahan..!” jawab odie tanpa rasa bersalah.

“awas ya kalau kamu berani macam macam, kamu jangan bikin malu aku..”
peringatku sambil berenang menjauhi odie dan ikut bergabung bersama papa dan koko. odie tertawa terbahak bahak menyusul kami.

kami adu berenang, siapa yang kalah harus mentraktir makan. aku senang waktu odie kalah, tau rasa dia beraninya naksir sama papaku.
dulu almarhum kak faisal yang dia taksir, sekarang malah om alvin.
selesai berenang kami keluar dari kolam lalu duduk di tepian kolam. harto yang jadi pembantu dirumah ini membawakan kami beberapa sirup jeruk serta roti panggang. papa duduk tepat disampingku dan mengambil segelas sirup lalu meminumnya.

“kamu mau tinggal ama papa nggak?”
tanya papa serius. aku menatappapa dengan bingung. tentu saja aku mau banget tinggal sama om alvin, tapi apakah mama akan memberikan ijin sementara mama dan papa kan saat ini sudah tak ada hubungan apa apa lagi. kalau sampai aku mengatakan keinginan om alvin itu pasti mama akan amarah besar.

“kayaknya nggak bisa pa… mama tak akan mengijinkan”
aku menolak dengan berat hati.

“tapi kamu kan sudah dewasa sekarang nak dan kamu bebas menentukan pilihan mau tinggal sama mama atau papa, asalkan kamu bisa menyampaikan sama mama tanpa membuat dia tersinggung, papa yakin mamamu akan memberikan ijin.”
kata om alvin dengan yakin. namun aku tak bisa seyakin om alvin karena aku sangat mengenal mama.

“nanti lah om tunggu sampai keadaan memungkinkan, tak lama lagi kak fairuz akan menikah, mama lagi sibuk… aku tak mau mnambah beban pikiran mama.. tapi aku janji akan membahas hal ini dengan mama nantinya.”
aku menghibur om alvin. aku tau kalau om alvin kecewa tapi om alvin tak menunjukkanya padaku. ia tetap tersenyum.

“kalian pasti belum makan siang kan, kita cari restoran ya… ajak teman temanmu sekali sekali makan direstoran sama sama”
om alvin mengusulkan.
mendengar kata restoran tedi langsung tersenyum lebar. aku mengelengkan kepala melihat tingkah tedi. sebetulnya anak itu asik namun percaya dirinya yang berlebihan cenderung bikin kesal saja.
aku, koko, odie, dan tedi mengeringkan tubuh dengan handuk yang disiapkan oleh harto lalu memakai kembali baju kami. harto juga sudah menyiapkan celana dalam baru untuk kami.
papa mengajak kami makan di restoran sarinande jalan veteran, restoran makanan khas yang makanannya lumayan enak di lidah. papa memesan begitu banyak makanan kalau untuk kami berlima sudah lebih dari cukup.
ia meminta kami agar tak usah sungkan sungkan atau malu malu kucing. papa orangnya supel dan terbuka, ia ramah pada semua temanku, tak dapat aku gambarkan perasaan banggaku pada papa.
aku makan sampai puas tapi tetap saja kesulitan untuk menghabiskan semua makanan yang telah dipesan karena terlalu banyak, mungkin dikira papa kami semua ini kuli bangunan. tak disangka sangka kami bertemu kak fairuz dengan mamanya dan amalia di restoran ini.
begitu melihatku kak fairuz tersenyum senang, ia berdiri dari kursinya dan menghampiriku. ternyata kak fairuz dan papa sudah agak akrab. papa mengajak kak fairuz bergabung bersama kami namun ia menolak karena tak enak sama amalia dan mamanya. aku melihat ke mama kak fairuz yang langsung melambaikan tangannya padaku yang langsung aku balas sambil tersenyum ramah.
karena masih ada pekerjaan, papa mengajak kami pulang. aku mengantar papa sampai rumahnya. papa berpesan agar aku sering sering menemuinya dirumah, katanya ia telah mempersiapkan kamar untukku apabila sewaktu waktu aku mau menginap dirumahnya. kami semua berpamitan dan tak lupa berterimakasih sama papa.
setelah mengantarkan koko kembali kerumahnya, aku bersama odie dan tedi kembali pulang kerumah
“laras coba lihat apa ada yang kurang dengan kebayaku ini?”
tanya mama kuatir, entah apa yang mama risaukan karena aku lihat penampilan mama sudah sempurna sekali. baju kebaya yang begitu pas melekat di tubuh mama dengan bahan yang berkilauan itu pantas sekali mama kenakan.

“kayaknya bross kakak itu kekecilan deh.. ada yang lain nggak kak?”
jawab tante laras sambil mengamati mama dari atas ke bawah. tante laras sendiri masih sibuk membetulkan posisi kain batik yang ia pakai agar lipatannya lebih rapi.
“bik tin…………..!” mama berteriak memanggil bik tin. dengan tergopoh bik tin datang menghampiri mama.

“aada apa bu?”
tanya bik tin cepat.
“ambilkan kotak perhiasanku diatas meja rias.. buruan kami hampir telat nih..!” buru mama tak sabar. aku menggelengkan kepala melihat tingkah mama yang panik. padahal baru jam tujuh pagi saat ini dan akad nikahnya akan di laksanakan jam sembilan ini di kediaman amalia. bik tin berbalik setengah berlari ke kamar mama untuk mengambil kotak perhiasan yang mama maksud tadi.
“ma itu kan sudah cantik… apalgi sih yang kurang?” aku menegur mama.

“kamu mana mengerti soal dandan sayang.. tuh liat kerah baju kamu ada kerutan, ayo rapikan.. mama tak mau melihat kamu lusuh, muka kamu kok belum di bedak.. buruan ke kamar, disana masih ada tukang riasnya.. ayo buruan…!”
jerit mama dengan heboh seperti nenek kehilangan konde.
dengan cemberut aku menuju ke kamar tamu dimana ada juru rias yang mama maksud. ternyata sudah ada odie disana yang sedang duduk dengan manis di depan kaca rias sambil di bedaki oleh seorang banci laknat.
“mau di make up juga ya say?”
tedi menirukan gaya banci dengan sangat sempurna sekali saat melihat aku masuk. aku cemberut sama tedi yang menyebalkan ini.

“aduuuuh kok malah cemberut, mas ganteng kan mau mangkal.. yang menor ya bedakinnya…”
tedi makin menjadi jadi seolah memang dia banci sungguhan. pipi odie menggembung karena menahan tawa. sementara itu entah mas atau mbak yang sedang mermbedaki odie itu cemberut sejadi jadinya hingga bibirnya yang tebal itu menjadi mirip sekali dengan spons bedak yang ia pegang.

“udah lah jangan kayak orang stress gitu ted, kalo mau jadi bencong beneran gih sono ke kambang iwak sekalian aja mangkal… sayang kalo punya bakat nggak di salurkan..!”
gerutuku kesal. odie tertawa ngakak mendengarnya. sedangkan tedi cuma nyengir nggak jelas.

“siapa lagi nih yang mau di bedak.. buruan sini..”
tanya perias itu. aku lansung mendekat lalu duduk di tempat odie tadi duduk. tanpa banyak bicara dia langsung membedaki ku. aku tak banyak bergerak membiarkan saja dia menyelesaikan tugasnya sambil ku melihat wajahku di depan kaca. tak sampai sepuluh menit selesai sudah dan sekarang giliran tedi. aku berdiri lalu menghampiri odie.

“ke depan yuk die..”
kataku pada odie.

“yuk.. gerah banget disini..”
jawab odie sambil berjalan mengikuti aku keluar dari kamar itu.

“wooi…….tunggu aku dong, nggak setia kawan banget… jangan tinggalkan aku sendirian disini monyet!!”
teriak tedi saat melihat aku dan odie mau meninggalkannya.

“ngapain juga kami nungguin kamu..”
ujar odie sambil tertawa kesenangan.

“tapi kan dari tadi aku nemenin kalian..!!”
protes tedi tak terima.

“met kencaan teman, daaaaaaaaaaaaaa…….!”
odie melaambai menirukan gaya kemayu untuk membalas tedi tadi, lalu buru buru meninggalkan tedi.
aku dan odie tertawa terbahak bahak melihat wajah tedi yang merah karena kesal tadi.

“ngapain kalian berdua tertawa tawa gitu..?”
tanya mama yang sedang ngobrol sama tante laras dan tante kami yang lain yang semuanya sudah berdandan rapi memakai kebaya.
aku menceritakan kejadian dalam kamar tadi sama mama dan tante laras, mereka berdua tersenyum mendengarnya.

“aku tuh bingung ngurusin tedi dik… kerjanya cuma pacaran terus..!”
mama tedi mengeluh.

“ya namanya juga anak lelaki kak, pastilah doyan pacaran apalagi kalau sudah tau sama perempuan..”
kata mama masih tersenyum.

“tapi saya kuatir kalau sampai dia tu kebablasan, adik tau sendiri kan gimana anak anak sekarang kalau pacaran kadang suka bikin kita was was..”
tambah tante wati lagi.
mama terhenyak seolah kata kata taante wati tadi mengingatkannya dengan kejadian pada almarhum kak faisal dulu, bukannya pernikahan kak fairuz dengan amalia juga kan akibat kesalahan yang dilakukan oleh almarhum dulu.
tante laras yang cepat tanggap langsung mengganti pembicaraan ke arah lain. ia menanyakan mama apa sudah menghubungi ibu ibu RT untuk pengajian.
setelah semua siap kami berkumpul didepan teras rumah untuk berangkat kerumah amalia. kak fairuz yang sudah memakai baju adat aisan gede satu mobl bersama aku papa dan mama. aku bisa merasakan kegelisahan yang dirasakan oleh kak fairuz. aku mencoba menghiburnya untuk mengurangi sedikit kegelisahan yang ia rasakan.

kami tiba dirumah amalia yang sudah berdiri tenda berjajar begitu panjangnya. dihiasi oleh janur dan bunga bunga yang sangat megah, kontras dengan keadaan rumah amalia biasanya.
pesta ini seolah bagaikan cinderella disunting oleh pangeran. kami disambut oleh dendangan musik orkestra.

kami turun dari mobil lalu berjalan menyusuri karpet yang sudah digelar menuju ke tempat ijab kabul yang juga sudah dihias hingga terlihat sangat indah.
kak fairuz duduk diatas bantal lantai disarung beludru merah bersulam benang emas yang senada dengan pelaminan ukir jati yang membentang sepanjang limabelas meter berkilauan warna keemasan.
aku melihat ada mama kak fairuz yang sedang duduk di bangku tamu bagian belakang, entah kenapa ada rasa tak tega melihatnya. seharusnya ini menjadi pestanya. namun keadaan membuatnya harus merelakan dia hanya sebagai tamu di pesta anaknya sendiri. beberapa kali aku melihatnya mengusap airmatanya dengan tissue saat ijab kabul antara kak fairuz dengan amalia dilaksanakan. sedangkan mama seolah tak ada perasaan sentimentil sedikitpun tak ada keharuan terpancar di wajah mama, dari awal aku sudah menyadari kalau pernikahan ini adalah prestise bagi mama yang akan mengangkat namanya karena telah mengikhlaskan kak fairuz menikah dengan gadis dari keluarga yang bersahaja.

andai saja para tamu tau bagaimana kejadian dibalik pernikahan yang penuh dengan keterpaksaan ini. aku yakin mama tak akan bisa tersenyum selebar itu lagi. tapi mama adalah wanita yang penuh dengan gengsi tinggi.
aku sendiri tak menyangka kalau mama akan bersikap demikian, aku kecewa jauh dalam hatiku pada mama namun aku bisa berbuat apa untuk mengubahnya, kalau mama adalah seorang ibu bagiku apapun keadaannya dia tetaplah ibuku.
aku memang agak kecewa saat tau kalau ibuku adalah orang yang tak seperti aku harapkan tapi tuhan telah menggariskan bahwa itulah ibuku.
mempelai telah bersanding duduk di pelaminan, tamu tamu berdatangan memenuhi kursi di tiap tiap tenda yng telah disiapkan, panitia semakin sibuk melayani para tamu untuk menyajikan makanan yang lezat dari katering pilihan mama.
semakin siang tamu semakin ramai, aku berjalan berkeliling bersama odie. rian tak datang sama sekali meskipun undangan telah aku tinggalkan di bawah pintu rumahnya. kalau memang hubungan kami harus berakhir aku akan merelakannya. apapun yang sudah aku berikan akan aku lupakan. aku akan menganggap itu sebagai bentuk kasih sayang yang aku berikan untuknya. andai harus berakhir biarlah tanpa ribut ribut lagi. aku juga sudah sangat lelah dengan semua ini.
“rio kok melamun sih?” suara mama kak fairuz menyadarkan aku dari renungan ku. aku tersenyum dan memberi tempat untuknya duduk.
“mama sudah makan?” tanyaku sedikit kuatir, aku tak yakin kalau ia bisa ikut menikmati pesta ini.

“jangan kuatir.. mama sudah makan sayang, kamu sendiri kok dari tadi mama perhatikan selalu melamun terus.. lagi mikirin apa..?”
ia bertanya dengan penuh perhatian.
“nggak kok ma, cuma aku berharap saja kalau ini adalah awal dari kebahagiaan kak fairuz dan amalia…mama kalau capek istirahat aja dulu, acara ini kan sampai malam..” aku menyarankan.
“iya sayang kamu jangan kuatir, mama hanya ingin terus berada disini untuk memastikan kalau semuanya berjalan lancar.”

“kalau ada perlu apa apa mama jangan segan segan minta padaku ma.. anggap saja aku anak mama…”
entah kenapa rasanya aku lebih merasakan kedamaian saat bersama mamanya kak fairuz.
tanpa aku duga tiba tiba ia memelukku. aku tercengang tak menduga hal itu akan terjadi. sempat kulihat dari pelaminan mama yang sedang duduk terbelalak melihat kejadian ini.
mama langsung berdiri meninggalkan kursi pelaminan dan berjalan terburu buru menghampiri kami. mam menarikku dengan sekali sentak hingga membuat kaget mama kak fairuz.
“sudah cukup lina…!” dengan marah mama melihat pada mama kak fairuz. namun mama kak fairuz langsung bisa menetralisir keadaan.

“kenapa sih mega, memangnya ada yang salah… kok datang datang langsung marah begitu.. saya kan cuma ngobrol sama rio…”
jawab mama kak fairuz dengan tenang.

“kamu jang an sok akrab dengan anakku.. dan jangan berpura pura baik, aku tau kamu pasti ada maksud tertentu kan!!”
tuduh mama tanpa perasaan.
“terserah kamu mau bilang apa tapi aku tak mempunyai pikiran jahat dengan anakmu, lagipula aku kan tak melakukan apa apa.. kamu saja yang mendramatisir keadaan..”

“sudahlah ma jangan bertengkar seperti ini, masih banyak tamu.. malu kalau sampai mereka tau..”
aku coba mengingatkan mamaku, namun tak ia gubris.

“kamu tak tau siapa dia rio makanya mama mau jangan sampai kamu terpengaruh padanya.. dia pasti sedang merencanakan sesuatu..”
ujar mama berapi api.

“saya rasa keadaan terbalik jauh mega, bukannya apa yang barusan kamu katakan tadi itu sudah pernah kamu lakukan pada saya.. kenapa, kamu takut ya kalau karma itu akan datang?”
mama kak fairuz menantang mata mama tanpa rasa gentar. mama terdiam bagai kehilangan kata kata yang akan ia ucapkan untuk menjawab.
sepertinya papa tau ada kejadian tak beres papa duduk dengan gelisah melihat ke arah kami.
“kamu jangan takut, rio kan sudah dewasa dan tak mudah dipengaruhi seperti waktu itu kamu lakukan pada faisal anakku… pura pura baik sama keluarga kami ternyata hanya untuk merebut apa yang aku punya..!”
aku bengong mendengar kata kata yang barusan mama kak fairuz katakan sama mama.
“satu lagi mega, ambil saja semua untuk kamu karena saat ini yang penting bagiku bukan apa yang telah kamu ambil dariku, aku sudah ikhlas.. apa sih yang kekal didunia ini, harta, suami, anak…. aku sudah cukup mendapat pelajaran dari hidup ini, semua itu tak kan kekal.. kalau Allah mau mengambil semuanya, maka sekejap mata akan hilang… aku sudah merasakan kehilangan suami, kehilangan harta bahkan anak.. tak ada lagi yang aku takut akan hilang dariku saat ini termasuk nyawa.. satu satunya yang aku takut hilang hanyalah keimanan dalam diriku.. sadarlah mega, orang yang berpikiran buruk tak akan pernah bahagia… kalau kamu orang baik, maka kamu akan memandang segala hal dari sisi positif.. camkan itu..!”
mama kak fairuz menyelesaikan kata katanya lalu meninggalkan aku dan mama setelah sempat tersenyum tipis padaku.

“kenapa sih kamu jadi dekat sama mamanya fairuz, mama tak suka itu rio..!”
cecar mama kesal.

“memangnya apa salahnya ma kalau aku ngobrol sama mamanya kak fairuz lagipula dia tak menjelek jelekan mama…”
aku balik protes.

“tak usah banyak tanya, yang pasti mama ada alasan sendiri melarang kamu melakukan itu.”
mama terdengar tak sabar.

“harus ada penjelasannya dong ma nggak bisa melarang gitu aja, lagian dia baik kok sama aku.”
jawabku tenang.

“apa kamu tak pernah terpikir kenapa dia jadi baik sama kamu?”
tanya mama lagi hingga membuatku bingung.
“seperti mama baik sama almarhum kak faisal dulu apa harus ada alasannya ma?”

“itu beda rio, mama memang benar benar menyayangi almarhum kakak kamu itu nak, tapi kali ini kan kasusnya beda.. lina itu mantan isteri papa kamu, mama tak mau kalau sampai terjadi sesuatu yang tak kita inginkan di kemudian hari.”
mama mendesah seperti sangat lelah.

“jangan membayangkan yang tidak tidak ma.. lagian perasaanku mengatakan kalau tante lina itu orangnya baik.”
aku tetap dengan pendirianku. mama mendengus kesal.

“sudah lah ma, bukan saat yang tepat untuk kita berdebat, tuh liat papa udah gelisah nungguin mama, banyak tamu antri yang mau salaman.”
aku mengingatkan mama.

“nanti kita bahas lagi hal ini, mama masih belum puas kalau kamu belum mendengarkan mama…”
ujar mama sebelum meninggalkanku sendiri dan kembali ke pelaminan. aku tak menjawab lagi karena tak mau memperpanjang masalah, aku sangat kenal mama dan ia pasti tak akan melupakan begitu saja apa yang terjadi hari ini.

aku melihat koko bersama mamanya dan om alvin papaku sedang mengisi buku tamu. bergegas aku menghampiri mereka. om alvin dan mama koko tersenyum lebar begitu melihatku.
om alvin hari ini terlihat begitu tampan memakai setelan batik model jas dan celana katun sutera hitam.

“hai rio apa kabar..?”
sapa om alvin begitu melihatku.

“baik om, terimakasih ya sudah mau hadir.”
jawabku senang. om alvin dan mama koko mengangguk.

“silahkan cari tempat duduk dulu ko, ajak papaku dan mama kamu..”
kataku pada koko.

“kami mau kasih selamat dulu buat kakamu yo..”
jawab koko tersenyum.

“oh silahkan..”
aku mengantar mereka berjalan menuju ke pelaminan.

mama agak melongo saat melihat om alvin hingga perlu beberapa saat sebelum ia mengangkat tangannya untuk membalas salam om alvin.
aku sedikit cemas dengan keadaan ini, apakah papa sebenarnya sudah tau kalau om alvin itu mantan suami mama, soalnya aku lihat papa sepertinya bersikap biasa biasa saja seolah papa tak kenal dengan om alvin.

setelah selesai memberikan ucapan selamat buat kak fairuz, koko bersama mamanya dan om alvin duduk di kursi tamu bagian paling depan.
aku menyuruh panitia bagian saji untuk mengantarkan kue serta minuman ke kursi mereka.
diam diam aku memperhatikan mama yang kembali jadi gelisah di tempat duduknya seolah ada kerikil tajam di pantatnya, beberapa kali aku lihat mama diam diam melihat om alvin, begitu juga om alvin tak jauh beda dengan mama.
tak banyak yang menyadari hal itu namun aku bisa merasakan ada sesuatu yang ganjil dari mama dan om alvin dan aku akan mencari tahu tentang itu.
aku bisa merasakan ada sesuatu yang mama da om alvin sembunyikan, semoga saja tidak seperti yang aku pikirkan.
pesta telah usai dan berjalan dengan lancar, tinggal sisa sisa kelelahan yang mengelayuti seisi rumah ini. semua tamu telah pulang. aku tak melihat lagi mama kak fairuz di pesta setelah pertengkarannya dengan mama tadi.
kasihan dia, pastilah hatinya begitu sakit dengan perlakuan mama. hanya karena dia bicara denganku, mama jadi sebegitu marah padanya.
mungkin saat ini dia sedang di hotel. aku akan menemuinya tapi aku mau mandi dulu, tubuhku keringatan dan gerah setelah dari pagi disibukkan oleh pesta. beberapa kerabat ada yang langsung pulang, ada juga yang menginap, tedi dan odie sudah sejak setengah jam yang lalu terkapar di kamarku karena kelelahan menjadi panitia di pesta.
aku senang akhirnya satu masalah selesai juga. sekarang kami tak perlu lagi kuatir dengan kehamilan amalia karena ia sudah punya suami yang bertanggung jawab pada anaknya nanti dan leganya dari keluarga sendiri.
setelah acara tadi kak fairuz masih tinggal dulu dirumah amalia. rencananya minggu depan mereka berdua pindah kerumah ini untuk sementara sebelum kak fairuz nantinya memboyong amalia ke jakarta ikut dengannya.
aku menghabiskan waktu hampir setengah jam mandi hingga tubuhku terasa benar benar segar. setelah selesai berpakaian rapi, aku ke garasi menyalakan mobil lalu meluncur ke carissima tempat mama kak fairuz menginap.
aku berjalan menyusuri koridor menuju ke kamar mama kak fairuz. saat aku mau mengetuk pintu tiba tiba aku mendengar seperti ada suara orang sedang bicara di dalam kamar. niatku mengetuk pintu aku urungkan. aku jadi penasaran ada siapa di dalam bersama dengan mamanya kak fairuz.
pelan pelan ku buka pintunya sedikit dan mengintip ke dalam. nafasku langsung terasa sesak, ternyata yang sedang bicara dengan mama kak fairuz adalah papa.

“kamu sendiri sudah tau lina kalau aku sekarang sudah punya anak lagi. aku tak mungkin meninggalkan isteriku…. apa yang terjadi baru aku sadari sekarang…saat semuanya sudah terlambat… mengertilah…!”
suara papa terdengar begitu memohon.

“kamu menuduh aku menghianatimu bang, sakit rasanya… aku sudah berusaha menjelaskan kalau semua hanya salah paham saja, tapi apa mau kamu mendengarkanku… sekarang kamu sudah menerima balasannya, anakmu meninggal karena wanita yang kamu puja puja itu..”
balas mama kak fairuz dengan suara datar. tangannya meremas ujung bed cover putih bersih hingga berkerut.
“faisal meninggal karena kecelakaan lin, itu tak ada sangkut pautnya dengan mega, kamu tak melihat bagaimana mega begitu terpukul saat faisal pergi…”

“sudahlah bang aku masih menghormati abang sebagai mantan suamiku meskipun abang sudah banyak membuat aku kecewa, aku tak meminta abang datang kemari.. kalau hanya untuk memintaku memaafkan abang, aku sudah lama melupakannya. abang bisa hidup dengan tenang tanpa rasa bersalah kok..”
mama kak fairuz masih terlihat tenang.

“setelah ini apa yang akan kamu lakukan lin, aku tak tega melihat kamu seperti ini, aku mau membantumu… katakan apa yang dapat aku lakukan agar aku bisa membayar rasa bersalahku, aku bingung lin.. entah kenapa aku merasa kehidupanku semakin hari semakin tak berarti.. entah apa yang aku inginkan aku sudah tak tau lagi…”
papa seperti mau menangis namun ia tahan.

“bukannya apa yang kamu inginkan sudah kamu dapatkan semuanya bang, apa sih yang mengganjal.. isteri kamu cantik, kamu punya karir yang bagus, apalagi yang kurang sih… ketenangan, maaf bang aku tak pernah menyumpahmu sedikitpun. namun aku tau saat saat seperti ini akan abang alami juga pada nantinya…”
mama kak fairuz berdiri mendekati jendela dan melihat ke luar, sinar bulan purnama memantul lewat jendela kaca lebar di balik gorden.

“kamu ingat saat pertama kita hidup bersama dulu, tak ada kemewahan..namun kita bahagia lin, hungga lahirnya fairuz, bisnis kit amulai maju, mungkin memang rejeki anak kita ya lin…”
papa merenung mengingat kenangan masa lalunya.

“sudahlah bang jangan dikenang lagi masa lalu itu, tak ada lagi gunanya.. aku sudah melupakan semuanya karena terlalu sakit untuk dikenang…”
mama kak fairuz memejamkan matanya sambil menggeleng, dua bulir air mata mengalir lewat kelopak matanya yang tanpa riasan.nampak sekali kalau dia begitu sakit jika mengenang masa lalunya bersama papa.

“kamu tak menyangka kalau lelaki yang kamu cintai nantinya yang justru jad mimpi buruk bag kamu ya lin… aku minta maaf..”
ujar papa serak.

“sudahlah bang aku kan sudah bilang lupakan semua.. itu hanya masa lalu, setiap manusia punya masalah… dan lucunya masalah itu kita alami setelah kita lebih mapan…dari situ aku jadi mengerti..dengan harta tak selamanya kebahagiaan itu kita peroleh, justru itu yang membuat aku kehilangan hal yang lebih berharga yaitu keluargaku…”
akhirnya lepas juga tangisan mama kak fairuz mungkin karena sudah tak sanggup lagi menahan sesak yang selama ini menghimpit hatinya.

tanpa terduga papa menghampiri mama kak fairuz dan memeluknya. meski awalnya terlihat kaget namun mama kak fairuz tak melawan ataupun menolaknya.
aku hanya bisa bengong menyaksikan dan mendengarkan semua itu.
perlahan aku tutup lagi pintu dan meninggalkan kamar mama kak fairuz dengan langkah gontai.
aku pergi dari hotel dengan perasaan yang tak menentu. sepanjang jalan aku melamun hingga beberapa kali hampir meleset dari jalan. pikiranku kacau. kenapa harus muncul lagi masalah baru.. apakah memang hidupku tak kan lepas dari masalah, benar apa yang dikatakan oleh mama kak fairuz. masalah itu datang justru setelah aku memiliki banyak uang.
*****************
“pagi ma, lagi masak apa..?”
mama yang sedang menguas kulit udang langsung menoleh dan tersenyum.
“pagi juga sayang nih mama lagi masak udang saus tomat kesukaan kamu..”

amalia yang ada di samping mama terlihat sibuk mengiris bumbu, nampaknya amalia sudah agak terbiasa dan tak canggung lagi disini. mama juga bersikap agak lunak padanya.
aku agak sedih juga membayangkan ia dan kak fairuz akan segera pindah dari rumah ini, padahal aku mulai terbiasa dengan adanya mereka disini.

“kamu udah sarapan nak?”
tanya mama sambil menaruh potongan sayuran ke dalam wajan diatas kompor.
“belum ma, ini udah agak laper juga sih..”
“tuh diatas meja ada nasi goreng bikinan amalia, enak kok.. makan dulu sana..”

“nasi goreng sosis yo, kamu kan suka..”
kata amalia yang kelihatannya sudah selesai mengiris bumbu.
“kak fairuz mana mel, kok aku nggak liat..”
“katanya ke hotel menemui mamanya, tadi mamanya menelpon minta di temani ke pasar untuk cari oleh oleh buat dibawa pulang ke jakarta.”
“emangnya kapan kalian mau pindah, kok kayaknya buru buru amat, apa nggak sebaiknya tinggal disini aja.. kak fairuz kan bisa kerja di kantor papa, aku yakin papa pasti seneng kalo kak fairuz mau…”
“aku sudah pernah bilang gitu tapi abang nggak mau, katanya ia mau coba berusaha sendiri, aku sih nggak bisa melarang juga kalau memang gitu maunya..”

“fairuz emang keras kepala, mama kan mau menimang cucu mama… kalau kalian jauh bagaimana mama mau deket deket sama anak kalian nanti..”
timpal mama.

“iya ma amel juga udah sampaikan keinginan mama itu sama abang tapi ia bilang biar nanti kalau ada rejeki kami akan bawa anak kami main kesini..”
amalia tersenyum.
“iya tapi kapan, jangan jangan kalian udah keburu lupa sama kami disini… mama yakin pasti lina akan melarang kalian kesini lagi..”

“nggak mungkin lah ma, kan keluarga amel masih disini juga, mana mungkin amel melupakan mereka… kalau lebaran amel mau ngumpul sama keluarga disini.”
tegas amalia.
“syukurlah kalau kamu berpikir demikian, ya udah katanya rio mau sarapan.. kok malah jadi melantur kayak gini.. mel kamu tolong liat masakan mama ya, mama mau ke kamar mandi dulu.”

“iya ma, oh ya garamnya udah mama tambahkan belum ma?”
tanya amel sembari mengaduk sayuran dalam panci.

“udah tadi dikit, coba kamu cicip lagi siapa tau kurang.. mama nggak tahan lagi nih mau pipis..”
jawab mama cepat lalu buru buru meninggalkan dapur.
aku meninggalkan amalia lalu ke ruang makan dan sarapan.
**************

“hai rio mau langsung pulang ya…?”
teriak rizal setengah berlari menghampiriku yang baru saja keluar dari halaman kampus.
aku berhenti menunggu rizal dekat, nampaknya anak satu itu ada hal yang mau ia katakan .
“ada apa zal…?”

“aku mau minta tolong sama kamu sobat..”
suara rizal terdengar agak panik.
“emangnya ada apa sih zal, apa yang bisa aku tolong.?”

“kamu punya uang nggak yo?”
tanya rizal agak ragu.
“berapa?”
“2 juta yo…”

“loh emangnya buat apa zal, kok banyak amat..”
tanyaku heran, buat apa uang segitu buat rizal, bukannya orangtuanya lumayan berada, ia pasti bisa minta sama orang tuanya kalau uang segitu mustahil nggak dikasih.

“bagaimana yo, ada nggak… aku serius butuh yo, aku janji akan kembalikan secepatnya.”
desak rizal agak tak sabar.
“ada sih zal, cuma aku mau tanya buat apaan sih kok mendadak gitu..”
“aku belum bisa cerita sekarang yo, nanti aku ceritakan, kamu bawa nggak uangnya sekarang..?”
“ya nggal lah zal, buat apa juga aku bawa uang segitu ke kampus.. aku harus ambil ke ATM dulu.. kalau gitu kamu temani aku ke ATM biar lebih cepat..”
rizal langsung tersenyum cerah, nampaknya ia sangat lega mendengar aku mau memberikan pinjaman untuknya. aku mengajak rizal ke ATM untuk menarik uang sejumlah yang mau ia pinjam. betapa kagetnya aku ternyata saldo tabunganku masih bersisa 3 juta lebih saja. aku baru teringat kalau dalam bulan bulan ini aku terlalu banyak pengeluaran untuk membantu rian.

kalau aku memberikan pada rizal, uangku hanya tinggal sejutaan saja, aku takutnya nanti aku ada keperluan mendadak, tapi kalau aku membatalkan beri pinjaman sama rizal aku nggak enak.
terpaksa aku tarik juga 2 juta lalu aku kasih ke rizal.

“makasih yo, aku janji akan segera ganti.. kamu memang sahabat yang baik.. aku gak akan pernah lupakan ini yo..”
ujar rizal dengan berbinar binar. aku hanya tersenyum dan mengangguk.aku pamit sama rizal karena aku harus ke rumah papa. tadi aku sudah janji sama papa untuk datang ke rumahnya.

“papa ada…?”
tanyaku pada harto yang sedang menyirami tanaman di depan halaman. harto menutup keran dan meletakan selang ke atas rumput.

“ada, langsung masuk aja.. sepertinya bapak lagi ada di belakang”
jelas harto.
aku meninggalkan harto lalu masuk ke dalam dan mencari papa di halaman belakang rumahnya. ku lihat papa sedang bersantai sambil membaca majalah sambil duduk di bangku yang ada di bawah pohon jeruk.
“asik banget pa…”
mendengar suaraku papa langsung berdiri dan meletakan majalah di bangku. ia berjalan menghampiriku.

“udah pulang kuliahnya?”
tanya papa sambil merangkul bahu ku.
“udah pa, ada apa papa nyuruh aku kesini, tadi katanya papa mau ngomong?”
“santai aja dulu, kamu udah makan belum, kalau mau makan langsung aja ke dapur, tadi papa beli lauk masak di restoran..”

“rio masih kenyang pa, emangnya ada apa sih ngomong aja sekarang kan bisa..”
desakku tak sabar.
“selama ini kan papa belum pernah kasih apa apa ke kamu, sekarang papa mau tanya kamu mau apa.. papa akan berusaha untuk mengabulkannya selama papa mampu..”
KEMARAHAN RIAN
Aku jadi bingung harus menjawab apa, soalnya pertanyaan papa ini agak aneh bagiku. Kenapa papa mendadak menanyakan hal ini, memang sih selama ini aku memang tak minta apa apa sama papa, soalnya aku kan baru saja berbaikan dan dekat sama papa.“kamu tinggal bilang saja rio apa yang kamu inginkan.. papa pasti akan berusaha…”
Ulang papa lagi dengan serius.
“nggak lah pa, saat ini aku kan belum ada kebutuhan, lagian biasanya mama juga selalu mencukupi kebutuhanku, papa jangan memikirkan hal itu..”
“bukan begitu rio, papa hanya mau melakukan kewajiban papa yang selama ini papa tak ada kesempatan melakukannya, sekarang kamu sudah mau mengakui papa, apa salahnya papa memberikan sesuatu yang berarti buatmu….”
Papa agak memaksa, seolah suatu keharusan aku harus menerima tawarannya itu. Aku tau papa mungkin ingin menebus perasaan bersalahnya padaku, selama ini aku memang tak pernah merasakan kehangatan ayah kandung, saat aku bertemu dengannya aku malah sudah dewasa dan tak lucu rasanya kalau aku mau bermanja manja, meskipun kalau aku mau papa tak akan keberatan.
“kamu pikirkan saja dulu yo, papa berharap kamu mau menerima apapun yang papa berikan meskipun papa tau kamu tak membutuhkannya, hanya sekedar agar papa bisa merasakan jadi papa bagimu…”

“papa tak perlu merasa seperti itu pa, santai aja.. kalau memang papa mau berikan sesuatu sama aku, yang biasa aja pa.. “
Aku tersenyum sama papa, mungkin ia tak tau kalau aku sangat bangga sekali padanya, papa adalah benar benar papa idaman siapa saja, aku tak menyangka tuhan begitu baik memberikan papa seperti dia.

“oh ya rio, boleh kamu kenalkan pacar kamu sama papa, soalnya papa penasaran sekali perempuan mana yang sudah berhasil mencuri hati putera kesayangan papa ini.”
Tanya papa sambil mengacak acak rambutku.
Aku jadi terdiam mendengarnya, apa yang harus aku jawab. Masa sih aku harus mengenalkan rian sama papa. Bisa bisa ia kena stroke mendengarnya.

“saat ini aku belum mau terlalu mikirin cewek pa, aku mau fokus ke kuliah dulu, takutnya kejadian almarhum dulu terulang lagi..”
aku mencari cari alasan. papa nampaknya percaya dengan apa yang aku bilang.

“kalau memang gitu ya nggak masalah, cuma biasanya kan cowok seumuran kamu udah pada punya pacar..”
kata papa lagi, aku hanya tersipu malu. aku takut sekali andai nanti apa tau kalau aku lebih menyukai lelaki ketimbang wanita, orang tua mana yang mau anaknya jadi seperti ini, pasti siapa saja akan memandang itu suatu ketidak wajaran.

“papa sendiri kenapa tak pacaran lagi pa..?”
aku balik bertanya, wajah papa langsung bersemu merah mendengarnya.

“nggak apa apa kalau papa memang mau pacaran lagi sah sah aja kok, aku tak akan melarang, karena itu adalah hak papa..”
ujarku sambil bercanda.

“apa kamu nggak pernah membayangkan kalau suatu hari papa dan mama mu kembali hidup bersama?”
tanya papa tiba tiba dan mengejutkan aku.
“maksud papa apa sih… jangan bercanda pa, kan mama sudah bersuami lagi.. mana mungkin balik lagi sama papa..”

“itu kan cuma andaikan aja nak.. jadi kamu tak suka kalau papa balikan lagi sama mama kamu, apakah kamu tak mau kalau keluarga kita utuh kembali..?”
tanya papa seolah ingin memancingku.

“aku cuma tak mau kalau mama sampai meninggalkan papa harlan pa, selama ini papa harlan baik banget sama aku…”
entah kenapa tiba tiba saja aku jadi kuatir, apakah yang papa katakan tadi itu serius, aku tak mau kalau sampai mama membuat masalah lagi.

“jangan terlalu serius gitu rio,papa kan hanya sekedar bercanda saja…”
papa tersenyum kecut.

“pa tolong jangan macam macam, jangan sampai aku membenci papa lagi…”
aku mengultimatum papa.

“iya papa kan udah bilang kalau papa hanya bercanda aja.. kenapa sih kamu ini rio, gitu aja kamu anggap serius”
papa mulai panik.

“kalau begitu aku mau pulang dulu pa.. kepalaku jadi pusing..”
aku berbalik meninggalkan papa tanpa menunggu jawaban darinya. kata kata papa tadi telah membuat aku kehilangan hasrat untuk bicara lebih lama, karena aku merasa ada sesuatu yang sedang direncanakan sama papa. entah itu apa aku belum berani berspekulasi, apa yang ada di pikiranku terlalu mengkhawatirkan.

“rio tunggu dulu dong, kenapa sih kamu… kan papa udah jelaskan..!”
papa setengah berteriak mengejarku. aku mempercepat jalanku lalu keluar dari rumah papa dan masuk ke mobil, tanpa menoleh lagi aku meninggalkan rumah papa.
*****************
aku masuk ke dalam rumah, bermaksud hendak langsung masuk ke kamar, namun om sebastian yang sedng duduk diruang tamu langsung mencegatku.

“eh tunggu dulu dong rio kamu mau kemana, om sudah menunggumu dari tadi, masa kamu langsung mau tidur gitu aja.. memangnya ada apa sih?”
om sebastian mencecarku.

“maaf om aku tak melihat kalau ada om disini, ada apa om kok menungguku..”
aku balik bertanya dengzn heran. om sebastian tertawa terpingkal pingkal seolah baru saja mendengar sesuatu hal yang lucu.
“loh om kok malah ketawa sih… emangnya ada yang lucu ya…?”

“tampang kamu itu serius banget yo, makanya om ketawa.. ada apa sih emangnya… cerita dong sama om, siapa tau om bisa bantu kamu cari solusi kalau memang kamu ada masalah..”
om sebastian menahan tertawanya dan menatapku dengan serius.

“kita bicara di kamarku saja om aku tak mau ada yang dengar karena masalah ini sangat rahasia…”
kataku pelan agak berbisik.

“apa itu yo…”
om sebastian mendadak serius.
aku tak menjawab langsung berjalan ke kamar, tanpa banyak tanya om sebastian mengikutiku.

“ada apa sih yo..”
tanya om sebastian saat kami berdua sudah berada dalam kamar dan aku menutup pintu.
“tadi aku kerumah papa…”

“apa sih kamu ini kok bikin bingung aja.. papa yang mana emangnya?”
om sebastian seolah tak percaya.
“ya papa kandungku lah om.. itu si om alvin..”

“maksudmu apa sih om makin nggak ngerti dengan pembicaranmu.. apa kamu mau mengatakan kalau om alvin kamu itu selama ini adalah papa kamu?”
om sebastian masih saja bersikap seolah olah aku sedang bercanda.
“suami mama yang pertama itu om alvin dan ia adalah bapak kandungku om…!”

“astaga rio benarkah itu, kok kamu baru kasih tau om sekarang, memangnya sejak kapan kamu mengetahui tentang hal itu…?”
om sebastian sampai melotot saking kagetnya.
“makanya om aku mau cerita sama om sekarang, maaf aku tak cerita selama ini karena om kan sibuk, jadi kita jarang ketemu..”
lalu aku menceritakan semua pada om sebastian tanpa ada yang terlewati termasuk pertemuan om alvin dengan mama dirumah sakit, juga pertemuan tante lina dengan papa harlan di hotel. aku sendiri heran kenapa kau bisa berada di tempat kejadian.
om alvin cuma mangut mangut namun aku tau sebenarnya ia sedang berpikir keras.

“apa mungkin kalau itu cuma kecurigaanmu saja rio.. kan tak ada anehnya kalau masing masing dari orangtuamu masih menjalin silaturahmi dengan mantan mereka.. seperti kita juga, tak semerta merta harus bermusuhan karena om sudah menikah bukan..”
om alvin mengumpamakan hubungan kami dulu sebagai contoh. namun aku tetap pada kecurigaanku ini, entah kenapa aku merasakan ada gelagat yang aneh dan tak wajar.

“nanti om akan selidiki tentang ini.. om juga tak mau kalau sampai terjadi masalah dirumah ini.. apa nanti kata kak laras…”
aku merasa ada kekuatiran dari nada bicara om sebastian.
“iya om aku juga hanya bisa berharap kalau ini hanya rasa kuatir yang tak beralasan saja… oh ya om tadi kan belum bilang ada apa menungguku..?”
“nggak ada apa apa rio om cuma kangen aja udah lama nggak sama sama..”
“tante sukma gimana kabarnya om, dia sehat sehat aja kan om…”

“syukurlah tantemu sehat dan hasil USG mengatakan kalau anak kami nanti lelaki… om jadi tak sabar rasanya menunggu..”
om sebastian tersenyum penu semangat.
“aku berharap semuanya lancar, har ini om nggak kerja..?”
“om piket malam, karena tantemu lagi kerumah ibunya jadi om putuskan kesini.. om kangen sama kamu rio..”
“kok bisa om..?”
“entahlah, om selalu memikirkan kamu beberapa hari ini…”
aku hanya tertegun mendengar kalimat yang diucapkan om sebastian, apakah om tahu kalau aku juga sebenarnya kangen saat bersama dengannya dulu. andaikan waktu bisa diulang aku ingin semua kembali seperti dulu lagi, memang hanya om sebastian yang benar benar perhatian padaku.
“om sudah makan?”

“sudah yo.. eh kita main PS yuk..”
ajak om sebastian. aku mengangguk. lalu kami berdua bermain PS, game bertarung. om sebastian cukup lihai hingga aku harus ekstra konsen. berkali kali ia berteriak karena senang berhasil mengalahkanku.
tanpa sadar aku dan om sebastian bergeser semakin dekat hingga saat aku bergerak, tanganku menyentuh pinggang om sebastian. entah kenapa rasanya tubuhku bagaikan dialiri listrik bertegangan kuat, sentuhan tadi membuat aku tergetar. tidak…! aku sudah punya rian dan om sebastian juga sudah milk tante sukma, aku tak boleh gegabah. bagaimanapun kuatnya pesona om sebastian aku harus dapat mengabaikannya.

“rio…”
suara om sebastian jadi agak bergetar.

“ya om ada apa…”
aku berusaha menjaga suaraku agar tak terdengar aneh, jangan sampai om sebastian tau kalau aku masih merasakan getaran padanya.

“om kangen saat kita dulu masih bersama…”
entah karena memang bawaannya yang selalu berterus terang atau memang om sebastian sudah lama mau mengutarakan ini padaku ia jadi blak blakan.

“kenapa bisa begitu om.. ingat tante sukma dan calon bayi om yang ada di rahimnya..”
aku bergeser agak menjauh, namun om sebastian merangkul pinggangku dengan cepat.

“mau kemana kamu rio..”
suara om sebastian jadi makin dalam dan agak serak.

“om jangan main main.. aku tak mau kalau sampai om macam macam lagi.. lepaskan aku..”
aku mencoba untuk berontak. namun om sebastian malah semakin mengetatkan pelukannya hingga membuatku kesulitan bergerak.
“om masih sayang sama kamu rio.. beri om kesempatan untuk membuktikannya..”
“tidak om.. sadarlah, kita tak ada hak untuk melakukan ini.. aku tak mau mengkhianati rian,, tolong lepaskan aku…”
“kalau om tak mau kenapa emangnya..?”

“aku akan teriak biar semua orang dirumah ini tau…”
aku mengancam om sebastian.

“teriak saja lah biar semua orang tau, kalau itu bisa membawamu kembali menyayangi om..”
nampaknya om sebastian sudah nekat dan tak perduli apa apa lagi.

“aku mohon om… jangan gila seperti ini dong, aku hanya memikirkan tante sukma aku tak tega menghianati dia om..”
aku terus berusaha untuk lepas, dulu om sebastian pernah melakukan hal ini padaku dan membuatku jadi agak trauma aku tak mau ini terulang lagi.

“jangan berpikir yang tak perlu, om tau apa yang om lakukan… apa kamu kira om bisa tenang tenang saja melihat kamu dimiliki orang lain, nggak rio… sudah cukup om bersabar selama ini jadi sekarang kamu jangan menolak lagi.. kalau bukan karena cinta tak mungkin om mau melakukan ini…”
om sebastian merunduk ke arahku dan mencium leherku dengan ganas.

“om tolong hentikan semua ini.. jangan..!”
aku mencoba menolak namun sepertinya tubuhku melawan akal sehatku sekuat daya, aku di khianati oleh nafsuku sendiri.

“om yakin kalau kamu menginginkan semua ini kan… akui saja rio tak usah malu malu..”
nafas om sebastian memburu. dengan lidahnya ia menelusuri leherku dan naik hingga ke dagu lalu kupingku. aku mengeliat dengan tak niat lagi untuk memberontak, om sebastian telah hafal setiap titik kelemahanku.

“hentikan om…”
aku mengelinjang menahan geli dan nikmat yang menyergap di seluruh tubuhku, bukannya berhenti om sebastian makin intens merangsangku tepat di titik titik rawan yang membuat aku terjebak antara keinginan untuk merasakan lebih dan keraguan untuk menghentikan.

“kamu semakin memikat rio, om benar benar mencintai kamu… om tau kamu tak bahagia dengan rian… putuskan dia….. om berjanji akan menggantinya di hatimu, karena itu memang hanya om yang berhak untuk mengisinya..”
om sebastian mendesah sambil mengangkat tubuhku seolah aku hanyalah selembar bulu yang dengan mudah bisa dia bawa.
aku dibaringkan diatas tempat tidur dengan lembut seakan akan om sebastian menganggapku sebuah bejana kristal tipis yang mudah pecah kalau diperlakukan tanpa kehati hatian.
aku sudah pasrah sekarang, aku sudah tak perduli lagi dengan apapun. yang terjadi biarlah terjadi.
perlahan om sebastian membuka baju yang ku pakai dan meloloskannya lewat kepalaku lalu ia juga meloloskan kaus dalam yang aku pakai hingga aku tinggal mengenakan celana saja. aku tak lagi berusah amelawan karena aku tau kalau semua akan sia sia belaka.
om sebastian menjilati dadaku dengan rakus tak ketinggalan kedua putingku ia cucup dengan bibirnya. lidahnya dengan lincah memainkan ujung putingku hingga terasa begitu nyamannya.

aku mendesah bagaikan kepedasan karena makan saus cabe, tanganku menarik kepala om sebastian hingga lebih menempel ke tubuhku. perlahan tapi pasti aku mulai membalas serangan om sebastian.
dengan buas aku melepaskan satu persatu kancing pakaian dinasnya yang berwarna biru tua dan melepaskannya dengan sekali sentakan saja.
segera tubuh yang kencang padat dengan bahu yang bidang terpampang didepan mataku. tak ada yang berubah dengan tubuh itu, aku kesulitan untuk menemukan gumpalan lemak di segala area. dadanya membusung padat dengan puting yang melenting. pinggangnya ramping makin membesar makin keatas dengan lengan yang berotot pada porsi yang pas hingga tak mirip binaraga. kalau urusan tubuh om sebastian jauh lebih memegang daripada rian, tante sukma adalah wanita yang sangat beruntung
om sebastian menarik resleting dan menurunkan celanaku lalu meloloskannya melalui kedua kakiku setelah itu ia mencampakkannya begitu saja diatas lantai. aku berbaring membiarkan saja om sebastian melakukan apa yang ia inginkan terhadapku karena jujur akupun menginginkannya.

“kamu tak marah kan rio..?”
tanya om sebastian sambil mendongak menatapku sementara tangannya sibuk memainkan gundukan pada celana dalamku yang isinya sudah mengeras hampir melontar keluar lewat ban pinggang karet celana dalamku.

“aku menolak juga percuma kan om…”
jawabku sambil memejamkan mata karena jari jari om sebastian sudah meyusup ke dalam celana dalamku dan menyentuh kulit pada batangku.
perlahan om sebastian menyusuri kulit kemaluanku dengan sangat pelan memutar sampai pangkal lalu naik lagi ke batang berakhir di kepala hingga serasa di gelitik. itu membuat aku sesak menahan nafas. aku tak tahan lagi ingin yang lebih dari itu.

aku mengeliat dan mengejangkan tubuhku akibat sennsasi yang aku rasakan dari sentuhan om sebastian yang hampir membuatku gila. sepertinya om sebastian sadar benar akan hal itu. ia tersenyum dan menarik celana dalamku hingga merosot sebatas paha.
tubuh om sebastian mulai berkilap karena keringat. nafasnya agak menderu saat melihat tubuhku yang telah polos hanya ada secarik kain yang menutupi sebagian kecil pahaku.

“tubuhmu benar benar indah rio..”
bisik om sebastian parau, bagaikan seorang yang telah begitu lama merindukan benda yang sangat ia inginkan, om sebastian segera melumat daging keras satu jengkal yang terletak tepat di tengah tengah selangkanganku dengan rakusnya tanpa ada rasa jijik sedikitpun.
aku melenguh antara kaget dan nikmat, sapuan lidah om sebastian sangat lihai sekali baagaikan kuas yang menari diatas kanvas dari tangan seorang pelukis yang sudah begitu terlatih.


“omm… lebih dalam lagi…”
aku hampir seperti meratap karena nikmat yang benar benar tak tertahankan lagi, seluruh tubuhku bergetar hebat saat om sebastian menghisap dan mengulum tanpa henti dengan irama yang teratur. bibir om sebastian yang basah beradu dengan kulit kejantananku menimbulkan rasa yang tak dapat aku ungkapkan dengan kata kata.

mendengar permintanku itu malah membuat om sebastian makin beringas, ia memasukkan penisku dalam dalam ke mulutnya hingga bibirnya menyentuh pangkal batangku yang disemaki bulu tebal.
hingga beberapa menit kemudian aku merasakan ada sesuatu yang mau keluar dari dalam batangku, aku dorong kepala om sebastian perlahan hingga terlepas penisku dari mulutnya.

“ada apa rio..?”
tanya om sebastian agak heran.

“gantian om..”
jawabku langsung menegakkan badan lalu beringsut turun lebih kebawah hingga sejajar dengan pusar om sebastian. tanpa persetujuannya aku langsung membuka celananya dan menurunkan sekaligus dengan celana dalamnya secara bersamaan hingga penis om sebastian yang sudah tegang langsung mencuat keluar hampir mengenai hidungku, aku amati batang kekar berotot itu dengan nanar, batang kecoklatan yang bagaikan terong membusung dengan gagahnya seolah menantang untuk segera aku nikmati.
perlahan aku pegang, tersa hangat dan berdenyut di tanganku, batang yang berurat dan sangat indah bagiku itu tanpa ragu aku cium. aroma khas yang sangat enak langsung menyentuh pembuluh syraf di hidungku. tanpa ragu aku masukan batang kekar itu dalam mulutku perlahan hingga amblas seluruhnya.

“arrghh.. rioooo..”
om sebastian berdesis dan mengejangkan tubuhnya, aku tak perduli yang aku inginkan hanyalah merasakan setiap milimeter batang kemaluan om sebastian dalam mulutku, menikmati rasanya dan menghayati segenap perasaan yang timbul dalam hatiku. aku menginginkan semua ini lebih dari apapun.
sudah cukup selama ini aku tak bahagia menjalani hubunganku dengan rian. sekarang aku harus lebih ramah pada diri sendiri . aku memang menginginkan om sebastian, hanya dengannya lah aku merasakan dicintai, diperhatikan, diinginkan dengan sepenuh rasa, tak pernah ada kecurigaan, kasih sayang yang diberikan om sebastian padaku lebih dari cukup untuk aku bisa menyadari kalau hubungan itu bukan sekedar ego untuk memiliki namun juga di butuhkan pengertian dan kepercayaan.
aku memperlakukan om sebastian bagaikan raja yang sangat aku puja. bagaikan hamba sahaya yang setia aku melayani om sebastian penuh pengabdian. aku hanya ingin memuaskan terus menerus hingga om sebastian menyadari kalau akupun masih sangat menyayanginya. kalaupun aku harus mengakhiri hubunganku dengan rian karena ini aku rela.
aku memainkan lidahku menelusuri setiap lekuk kejantanan om sebastian, bulu bulu yang tebal dan ikal pada pangkal batangnya terkadang menggelitik hidungku namun memberikan sensasi maha dahsyat. terkadang aku menghisap sekuat kuatnya hingga seolah olah aku ingin menelan batang yang ku puja itu.
om sebastian kadang tersentak karena gerakan yang aku buat demi memberikan kepuasan pada dirinya. dengan penuh nafsu aku telan cairan yang keluar dari lobang kencingnya, seolah tak ada habisnya cairan bening agak asin itu menetes sedikit demi sedikit bagaikan obat kuaat yang menambah kekuatan bagiku untuk meneruskan talentaku dalam memuaskan om sebastian tanpa lelah.
om sebastian mencengkeram bahu ku dengan keras, entah sengaja atu tidak tapi aku yang sudah melayang diterbangkan nafsu tak merasakan sakit sedikitpun. malahan aku merasa makin terangsang hebat.
om sebastian mendorongku perlahan lalu ia berdiri. aku duduk diatas tempat tidur menunggu apa yang hendak ia lakukan. om sebastian turun dari tempat tidur dan berjalan menuju kamar mandi tak lama kemudian ia keluar dengan membawa sebotol loton dan kembali menghampiriku.

“aku ingin menyatukan tubuh kita agar om bisa merasakan kalau kamu adalah milik om seutuhnya…”
bisik om sebastian sambil menggigit daun telingaku pelan.
aku tak menjawab hanya tersenyum mengisyaratkan pada om sebastian kalau aku tak keberatan. aku berbaring mencari posisi yang paling nyaman agar om sebastian dapat melakukannya dengan leluasa. om sebastian naik ke atas tempat tidur lalu berlutut menghadapku. ia membuka tutup botol lotion lalu mengeluarkan isinya pada telapak tangannya. kemudian om sebastian melumuri kejantanannya yang masih teracung mengeras dengan lotion itu. aku berbaring diam mengamati om sebastian.
setelah meletakkan botol itu di sisi tempat tidur, om sebastian merapat padaku. ia merengangkan pahaku hingga terbuka lalu meraba kejantananku. tangannya terus menelusuri area itu hingga berakhir tepat di lubang anusku.
aku menahan nafas saat jari telunjuk om sebastian menyingkap celah dinding anusku dan memasukan jarinya itu dengan perlahan-lahan. karena jarinya sudah licin dengan lotion, tanpa harus bersusah payah jari itu menerobos masuk lubang anusku hingga habis tertelan hingga ke pangkalnya, tak puas hanya dengan satu jari, om sebastian menyelipkan lagi jari tengahnya untuk ikut masuk dalam anusku.
aku mulai merasakan anusku agak tersumpal, sedikit perih karena kuku om sebastian yang keras terasa menggores dinding dalam anusku. om sebastian memutar mutar jarinya seolah ingin meratakan mentega pada selembar roti tawar.
aku hanya bisa mengerang saat perlahan om sebastian menyatukan tubuhnya dengan tubuhku menjadi satu. aku hanya bisa merasakan seolah semua hanya terasa indah tak ada duanya. aku menyerahkan diriku utuh.
saat itulah bencana dimulai……………
entah angin apa yang membawa papa harlan masuk ke dalam kamarku, padahal biasanya ia tak pernah masuk kamarku tanpa mengetuk pintu. aku dan om sebastian hanya bisa melongo saat mendengar suara teriakan papa.
serasa kiamat duniaku detik itu juga. om sebastian mendorong tubuhku dengan kelabakan lalu menarik selimut dengan serampangan untuk menutupi tubuhnya yang bugil. aku tak dapat berkata apa apa hanya bengong seolah saat ini tak nyata, aku merasa bagai sedang bermimpi. mimpi paling buruk yang pernah datang dalam hidupku.
“APA YANG KALIAN BERDUA LAKUKAN…….!!!!!!!!”
suara papa menggelegar bagaikan mau merobek kupingku. bagaikan bisu aku dan om sebastian tak dapat menjawab, tubuhku gemetaran bagai terkena guyur air es. om sebastian menunduk namun ia masih sempat menarik tubuhku yang telanjang dan menutupinya dengan selimut.
“kalian berdua memang terkutuk, apa yang kalian lakukan dirumahku ini.. iblis kalian berdua…!”
suara papa bergetar karena kemarahan. aku mengutuk dalam hati kenapa aku bisa begini ceroboh hingga bisa lupa mengunci pintu kamar. sekarang perbuatanku dan om sebastian terbongkar hanya karena kelalaianku itu.

“ada apa pa… kok teriak teriak kayak gitu, nanti wenny bangun..”
kata kata mama terputus saat menoleh padaku dan om sebastian. mama membekap mulutnya dengan tangan menahan teriakan yang nyaris keluar.
tubuhku jadi makin lemas, aku menoleh sedikit takut pada om sebastiamn namun om sebastian tak kalah pucatnya dengan aku. kami berdua bagaikan orang yang kehilangan daya saat ini. tak ada satu katapun yang terlintas untuk membela diri. bagaikan terdakwa yang menunggu vonis kami hanya bisa menunduk dalam kebisuan.
aku mau memakai kembali bajuku namun masih ada papa dan mama sedangkan baju ku berserakan diatas lantai, kalau aku turun otomatis selimut harus aku bawa untuk menutupi tubuhku. sedangkan aku dan om sebastian berbagi selimut. aku jadi semakin seperti orang bodoh.
mama mengelengkan kepalanya seolah tak percaya. sedang papa dengan wajah memerah menatap aku dan om sebastian penuh kemurkaan. beberapa saat papa seperti hendak berbicara namun tiba tiba ia memegang dadanya, mata papa terbeliak seolah ada yang menikam dadanya dengan belati. papa menarik nafas tersengal sengal suaranya yang keluar bagaikan tercekik beberapa detik kemudian papa roboh di lantai. selanjutnya yang terdengar hanyalah jeritan mama.
aku dan om sebastian masih saja kebingungan tak tau harus bagaimana lagi. situasi kami saat itu bagaikan duduk diatas bara, mau berdiri tapi tubuh kami masih bugil, mau berpakaian tapi pakaian tergeletak jauh diatas lantai. mama masih disini membungkuk sambil menangis melihat papa pingsan.
kak fairuz dan amalia masuk kekamar seperti habis berlari.
“ada apa ma…?”
tanya amalia langsung berlutut disamping mama, ia sangat terkejut melihat papa tergeletak di lantai.
kak fairuz tak bicara ia menatapku tajam dan mengangguk. ia tahu apa yang terjadi.

“amel tolong kamu ajak mama keluar dari sini, biar aku yang mengurusi papa..jangan lupa kamu telpon ambulan”
suara kak fairuz bernada perintah.
tanpa banyak bertanya lagi amalia menarik mama perlahan agar berdiri, lalu membawa mama keluar dari kamarku.
kak fairuz menutup pintu lalu berjongkok di samping papa.
“kenakan baju kalian, tak ada waktu untuk bengong, sebentar lagi dokter datang, jangan sampai banyak yang tau perbuatan kalian.”
kak fairuz bicara tanpa melihatku.
tanpa membuang banyak waktu aku turun dari tempat tidur memunguti baju dan celanaku lalu memakainya terburu buru demikian juga om sebastian. kak fairuz mengamatiku dan om sebastian sambil mengeleng gelengkan kepalanya dengan prihatin.

“bantu aku mengangkat papa…”
ujar kak fairuz setelah melihatku selesai memakai baju.
tanpa banyak bicara aku membantu kak fairuz mengangkat papa lalu membawanya ke ruang tengah dan membaringkannya diatas sofa.

ada mama duduk bersama amalia namun aku tak punya keberanian untuk mengangkat dagu sedikitpun, aku malu terhadap mama.
amalia pun sepertinya telah tau apa yang terjadi namun ia seperti kak fairuz juga tak mengatakan apa apa. mungkin amalia tak mau menambah keruh masalah.
tak menunggu lagi setelah aku membaringkan papa, aku kembali kekamar.

“apa yang harus kita lakukan rio..”
tanya om sebastian dengan panik.
“seharusnya aku yang bertanya sama om apa yang harus aku lakukan… ini salah kita, bagaimanapun sekarang sudah terlambat untuk memperbaikinya…. aku hancur sekarang..”
ujarku lemah, langkahku gontai menghampiri om sebastian
“maafkan om rio, telah membawa kamu dalam kesulitan, andai tadi om dapat menahan mungkin semua ini tak akan terjadi”.
Om sebastian terdengar begitu menyesal, aku hanya dapat menarik nafas dalam. Hal ini sangat memalukan. Entah bagaimana aku dapat menghadapi hari hari ke depan dirumah ini, aku telah membuat aib bagi diriku sendiri.
Aku juga tak dapat menyalahkan om sebastian karena ini bukan salah dia sepenuhnya, andai tadi aku tak mau bisa saj aku menolaknya. Mungkin ini adalah hukuman karena aku menghianati rian.

Untuk saat ini masalah ini belum akan dibahas karena seisi rumah lagi panik mengurusi papa. Tapi setelah papa pulih aku bisa membayangkan hidupku tak akan pernah tenang lagi, aku sadar papa pasti sangat shock dengan kejadian ini. Yang satu adik kandungnya dan yang satu anak tirinya. Kami berdua sudah berbuat yang tak senonoh dirumah papa.
Kalau sampai terjadi apa apa dengan papa yang akan merasa paling bersalah tentu saja aku dan om sebastian. Kami berdua harus bersiap siap untuk mempertanggung jawabkan perbuatan kami ini.

Kalaupun nantinya papa mengusir aku dari rumah aku akan terima karena memang ini salahku sendiri.
Aku malu sekali bertemu mama, tadi saja aku tak mampu memandang wajah mama. Aku hanya membuat ia kecewa saja.
Apa yang nanti harus aku jelaskan padanya. Pada seluruh keluarga, pada tante sukma dan pada tante laras. Aku benar benar buntu. Andaikan saat ini lantai yang aku injak terbelah, mungkin aku akan masuk ke dalamnya tanpa ragu ragu.
Sekarang aku hanya bisa menunggu dan menunggu. Aku berjalan menuju jendela karena ku dengar ada suara mobil diluar. Ternyata ambulan yang akan membawa papa ke rumah sakit. Detik detik berjalan seolah makin lama. Aku takut… benar benar takut.
********************
“jadi selama ini kamu pulang ke bangka ya, kok kamu nggak kasih tau aku sih…”
Protesku pada rian saat aku sedang berada di rumahnya, tadi aku diam diam pergi kerumah sakit, beberapa hari ini aku tak pulang ke rumah untuk menghindari mama dan kak fairuz, gara gara masalah tiga hari yang lalu membuat kak fairuz dan amalia jadi batal pindah.
Mama meminta mereka menunda kepindahannya karena mama kerepotan harus mengurusi wenny, kerja dan harus menemani papa di rumah sakit.

“papaku sakit parah rio, aku tak sempat lagi mengabarkan kamu.. di bangka juga aku bukan berlibur..”
Jelas rian sambil mengaduk kopi dengan sendok lalu memberikan padaku.
“ada yang mau aku jelaskan padamu rian..”

“jelaskan apa sayang, nanti saja aku masih capek.. baru tiba aku kan langsung sms kamu soalnya aku kangen banget sama kamu….”
Ujar rian dengan mesra. Ia memelukku namun aku mundur menghindarinya.

“loh ada apa rio.. kenapa kamu menghindar..?”
Tanya rian heran. Nampaknya ia agak kaget juga tak menyangka kalau reaksiku akan begitu.
Sebenarnya aku bukan mau menghindar, namun aku merasa tak ada lagi hak untuk ia sayangi.. aku telah menghianatinya, aku tak mau membohongi rian, aku akan menyelesaikan semuanya hari ini juga. Aku akan ceritakan apa adanya pada rian.

“kamu ada yang baru ya…?”
Tanya rian agak gelisah. Nampaknya ia seperti bisa menebak apa yang aku pikirkan. Aku tak jadi ragu untuk menjelaskan karena melihat ekspresinya yang kesal.

“aku akan jelaskan nanti rian, aku minta maaf kalau suah membuat kamu kecewa, tapi hal ini sudah lama aku pikirkan.. sepertinya kita sudah bisa jalan bersama lagi, aku merasa kita sudah tak sejalan…”
Aku mencoba mencari kata kata yang tepat agar apa yang aku ingin jelaskan padanya bisa ia terima dengan baik.

“tapi ada alasannya kan.. aku sudah banyak berpikir juga rio.. aku tau aku telah membuat kamu merasa tak nyaman selama ini dan aku berjanji untuk lebih mengerti kamu..”
Rian agak memohon.
“sepertinya semua sudah terlambat yan, seharusnya dari dulu kamu berikan perasaan tentram padaku aku merasa dari beberapa tahun menjalani bersamamu aku sering gelisah, ketakutan akan sikapmu, kecemburuanmu dan kecurigaan yang berlebihan… aku ingin kita mengakhiri hubungan ini..”
Aku nyaris menangis saat menjelaskannya. Aku tak berani menatap rian karena perasaan bersalahku padanya menggerogoti hatiku sendiri. Aku tau hidupku sudah hancur sekarang dan aku tak mau menyeret rian dalam kesusahan bersamaku.

“kalau hanya itu alasanmu aku janji akan berubah rio aku janji…!”
Rian jadi makin panik.
“tidak rian… aku lelah aku hanya ingin kita berteman saja sekarang, aku harap kamu dapat mengerti keputusanku ini, aku hanya minta kamu mau mengerti dan tak banyak tanya.. aku lagi bermasalah sekarang..”

“apa masalah kamu tolong ceritakan, aku akan berusaha membantumu, kita bukan orang asing lagi rio… kamu bisa percaya padaku..!”
Rian mencoba merengkuh tubuhku namun aku tepiskan tangannya sebelum sempat menentuhku. Rian benar benar kaget sekarang.

“aku hanya minta satu hal terakhir dari kamu rian.. tolong jangan kamu hubungi aku untuk waktu dekat ini, aku butuh sendiri..”
“kamu aneh rio.. kamu tak bisa membuat keputusan sepihak, aku juga berhak untuk mempertahankan hubungan kita.. kamu sudah masuk dalam hatiku, kamu tak bisa memutuskan aku begitu saja..!”
Rian tetep memaksa.

“kamu mau tau apa alasan lainnya, aku sudah punya penggantimu..!”
Sesaat rian terdiam, ia menatapku dalam dalam seolah mau mencari kebenaran dari ucapanku. Namun saat melihat aku menunduk dengan air mata yang bergulir jatuh dari kedua mataku sepertinya rian mengerti kalau aku tidak berdusta.
“kamu tega rio…”

Rian berbisik dengan suara bergetar. Air matanya langsung keluar.
Aku berbalik meninggalkan rian tanpa bicara apa apa lagi. Rian pun tak lagi berusaha untuk menahanku agar tinggal lebih lama disitu.

Selamat tinggal rian, sekarang kamu tak perlu lagi memikirkan aku karena aku bukan orang yang baik untuk kamu. Aku hanyalah mimpi buruk bagimu, hubungan kita selama ini terlalu dipaksakan. Kamu dan aku bukan pasangan kekasih yang baik. Kalau kita meneruskan hubungan ini yang ada malah hanya akan membuat salah satu dari kita tersiksa.
Kamu bisa temukan pengganti yang jauh lebih baik dari aku, apapun yang teklah terjadi diantara kita biarlah hanya tinggal kenangan saja.
Mungkin aku juga akan pergi dari sini, pergi kembali ke tempat yang lebih pantas untukku, aku tak punya muka lagi bertemu dengan keluargaku. Aku sudah mencoreng kening mereka dengan aib. Aku pantas menerimanya .
Mungkin ini juga hukuman dari tuhan karena aku sudah banyak lalai.
***************
Aku bersimpuh disamping papa yang sedang terbaring dalam kamar dirumah sakit. Papa masih belum sadar mungkin karena pengaruh obat tidur. Gara gara aku papa jadi kena serangan jantung. Pasti papa sangat shock melihat apa yang aku dan om sebastian lakukan waktu itu.
Mama yang sedang menunggui papa hanya menyandar di dinding dengan kalut. Ia tak menjawab waktu tadi aku menyapanya, hanya amalia dan kak fairuz yang masih bersikap netral.

“muka kamu pucat rio, kamu belum makan ya”
Tanya amalia yang berdiri disampingku bersama kak fairuz.

“sudah mel, terimakasih kamu masih mau memberikan perhatian kamu…”
Jawabku tanpa mengalihkan wajahku padanya. Aku menatap papa yang sedang terpejam. Kasihan papa untuk bernafaspun ia dibantu selang oksigen.
“puas kamu sekarang… puas kamu melihat papamu sakit karenamu.. padahal dia sudah baik padamu selama ini… namun kamu membuat dia kecewa.. kamu sadar dengan perbuatan kamu…..?”
Suara mama begitu dingin, rasanya aku bagaikan mendengar suara orang asing. Mama pasti beni denganku sekarang, aku tak dapat berbuat apa apa untuk merubahnya karena aku memang tak ada hak untuk membela diri. Mama adalah orang yang paling kecewa dengan perbuatanku ini. Aku jadi bertanya dalam hati siapa saja yang sudah tau mengenai kejadian ini.
Sebenarnya keluarga papa sudah banyak yang datang menjenguk papa namun mereka diminta mama untuk menunggu di luar waktu mama melihat aku datang. Mungkin mama takut papa tiba tiba terbangun dan melihat ada aku malah semua keluarga akan tau apa yang menyebabkan papa hingga jadi begini.

“maafkan aku ma, aku tau aku salah.. aku telah membuat kalian semua kecewa….”
Jawabku dengan suara bergetar. Ingin rasanya aku bersimpuh di kaki mama agar aku bisa mendengar kata maaf keluar dari bibirnya.
“apa kamu pikir hanya dengan kata maaf semua bisa terlupakan begitu saja, tega kamu rio.. apa salah mama hingga kamu menyakiti hati mama sebegini besarnya, apa yang kurang mama lakukan untukmu selama ini.. apa yang mama lakukan hingga ini balasan yang mama terima darimu,, puas kamu sekarang membuat mama kecewa?”
Lidahku kelu tak tau harus mengatakan apa pada mama, aku bingung karena apapun juga yang aku katakan tak akan mengubah keadaan. Papa sudah melihat jelas semuanya. apa yang terlihat itulah kenyataannya. Aku tak bisa membela diri lagi sudah jelas kesalahanku dimata mereka.
“sudah lah tante, jangan terlalu menyudutkan rio.. saya yakin dia juga tak mau membuat tante juga papa kecewa, jadi tante jangan terlalu menyudutkan rio…..”
Kak fairuz mencoba membelaku, dan itu hanya semakin membuat aku jadi semakin merasa bersalah. Aku tak pantas untuk dibela. Andaikan bagi mereka itu adalah kesalahan yang besar aku hanya bisa menerimanya.
“tidak fairuz kamu bukan siapa siapanya rio, jadi kamu tak tau apa yang tante rasakan… dia itu anak tante, begitu banyak yang tante harapkan dari dia nantinya, apa kamu perduli padanya… bukannya kamu membenci tante kan.. jadi apa perduli kamu..”
Ujar mama ketus. Muka kak fairuz langsung masam mendengarnya.
“aku memang membenci tante tapi bukan berarti aku membenci rio… jadi aku tak akan menambah beban pikirannya saat ini, kalau memang tante menyayangi dia sebagai anak,.. tante kan bisa bicarakan masalah ini dengan baik baik bukan dengan cara seolah olah tante membencinya…”
Balas kak fairuz tak perduli. Aku yakin kata katanya itu begitu mengena bagi mama namun sepertinya kemarahan mama bukan jadi surut malah semakin berkobar.
“jangan mengajari tante, apa yang mau tante lakukan itu urusan tante.. kamu tak ada hak mengatur atur tante..”
“kalau saja bukan memikirkan nasib papa, tak akan mau aku berlama lama tinggal disini… pegang ucapan tante, aku memang bukan siapa siapa..!”
Jawab kak fairuz ketus. Kemudian ia menarik tangan amalia lalu mengajak amalia keluar. Amalia seperti agak ragu. Mungkin ia kebingungan juga menghadapi situasi seperti ini. Mama mertua dan suaminya perang mulut, siapa yang harus ia utamakan membuat ia jadi serba salah.
Aku jadi makin merasa bersalah telah membuat kadaan jadi tegang seperti ini, baru saja kebahagiaan datang karena pernikahan kak fairuz namun tak bertahan lama gara gara masalah yang aku buat.
“aku pergi dulu ma, maafkan aku sekali lagi..memang kesalahanku terlalu besar dimata mama, bukannya aku tak menyesal.. tapi kalau mama memang tak dapat menerima aku bisa mengerti kok,,aku memang bukan anak yang mam a harapkan…”
Aku berbalik meninggalkan mama, tak ada jawaban. Mama masih membeku dan bertahan pada sikapnya.
Baru saja aku menutup pintu aku berpapasan dengan tante sukma, ia menatapku dengan dingin.
“kamu mau kemana rio…?”
Tanya tante sukma datar tanpa ekspresi, nampaknya ia sudah tau semua. Darimana ia tahu aku juga bingung apakah mama menceritakan kejadian itu sama tante sukma, lalu apa tujuan mama.
“rio mau pulang tante…”
Aku menjawab sambil berusaha sedapat mungkin menghindari bertatapan mata dengannya. Aku tak tau harus memberikan penjelasan apa seandainya ia nanti bertanya. Aku sadar cepat atau lambat tante akan tau juga mengenai ini semua.

“tante mau bicara sama kamu, tante harap kamu tak menolak…”
Kata tante sukma tanpa ekpresi, aku hanya bisa mengangguk walaupun sebenarnya aku takut sekali, aku bingung bagaimana caranya aku menjelaskan pada tante kalau ia bertanya tentang masalah yang terjadi antara aku dan om sebastian. Namun aku menyadari sekali kalau cepat atau lambat tante sukma akan menanyakan ini.
“Iya tante…”
Aku menjawab singkat, kerongkonganku terasa agak tercekat. Aku bagaikan seorang terdakwa yang akan menghadapi runtutan sidang yang melelahkan dimana investigasinya sudah di mulai.
Tante mengajakku ke mobilnya, aku tadi mengira ia akan mengajakku ke kafetaria atau apalah, namun aku salah ternyata ia mengajakku kerumahnya dan itu membuat aku makin tak enak hati, setelah aku terbongkar selingkuh dengan suaminya rasanya jadi berat untuk menginjak rumahnya.

“silahkan masuk, tak perlu canggung…”
Sepertinya tante sukma dapat membaca apa yang aku pikirkan saat ini.
Aku masuk juga walaupun aku agak ragu, tak ada gunanya menghindari semuanya. Aku tak menyangka ternyata om sebastian berada dirumah juga. Tadinya aku mengira om sebastian sedang dinas.
Tante sukma mempersilahkan aku duduk. Aku memilih duduk agak jauh dari om sebastian yang sedang menunduk sambil memain mainkan rumbai di tepi sofa dengan gelisah.
“sebelum kami bercerai aku mau mendengar semuanya dari mulutmu sendiri.. tadi pagi sebastian sudah mengakui semuanya. Tante hanya ingin kamu jujur tanpa ada lagi kebohongan yang kalian lakukan seperti selama ini..”
Kata tante sukma sambil duduk diantara aku dan om sebastian, wajahnya masih datar saja seolah tak ada masalah namun aku tau hatinya pasti sangat hancur sekali dua orang yang dekat dengannya berselingkuh di belakangnya.
“aku… aku.. tak tau harus jelaskan apa lagi, aku bingung dengan keadaan ini tante..”
Ujarku terbata bata. Aku bingung harus memulai dari mana, jantungku berdegup keras seolah menulikan mata batinku.
“cukup dengan jujur mengatakan apa yang terjadi antara kamu dan suamiku, tante tak meminta banyak kok rio, hanya itu saja.”
Tante sukma memohon dengan suara yang mirip bagai isakan. Aku menunduk karena aku tak tega menatap mata tante sukma, kenapa om sebastian harus menyakiti isterinya dengan cara seperti ini.
Kenapa ia tak bungkam saja, aku yakin mama tak akan menceritakan tentang perselingkuhan antara aku dan om sebastian, namun entah kenapa om sebastian malah bunuh diri seperti itu.
Mau tak mau aku terpaksa jujur menceritakan semua yang aku dan om sebastian jalani selama ini, aku katakan kalau aku dan on sebastian sudah berhubungan jauh sebelum om sebastian menikahi tante sukma, bagaimana kami sempat putus dan aku mengikhlaskan om sebastian untuk menikah, tante sukma diam mendengarkan tanpa sedikitpun menyela.
Namun airmatanya mengalir semakin deras. Aku sendiri heran setelah mulai bercerita aku bisa menceritakan dengan lancar, aku meminta maaf sma tante sukma. Aku memohon agar dia dan om sebastian tak sampai bercerai karena jika itu terjadi aku yang merasa paling bersalah.
Aku tak akan punya kesempatan lagi untuk memperbaiki semua yang terjadi.
“tega kamu lakukan itu sama tante rio, kamu tau om dan tante sudah menikah kenapa kamu masih saja mau menggganggu om kamu sendiri, apa kamu tak punya perasaan sedikitpun seandainya ayuk kamu yang di bangka yang diperlakukan seperti ini sama suaminya apa kamu akan ikhlas begitu saja….?”
Tanya tante sukma sambil menahan tangisannya. Aku diam… apa yang dikatakan tante sukma benar, seandainya itu terjadi pada ayukku, pasti aku akan sangat marah sekali. Siapa sih yang mau keluarganya disakiti, aku menunduk semakin dalam.
“kenapa kamu diam, apa kamu menyadari kalau apa yang tante katakan ini benar..?”
Desak tante sukma sambil menatapku tajam, aku menarik nafas panjang. Dadaku mendadak sesak hingga rasanya aku kesulitan bernafas. Keinginan untuk hidup makin surut dalam diriku.
Namun semua sudah terlanjur terjadi, apa yang bisa dilakukan untuk mengembalikan sesuatu yang sudah terlanjur retak, bagaimanapun kerasnya berusaha akan tetap meninggalkan bekas.
“aku mohon tante maafkan aku, aku sadar aku membuat kesalahan yang sangat besar bagi tante dan keluargaku, namun demi allah aku sangat menyesal… katakan apa yang bisa aku lakukan agar tante bisa memaafkan aku… aku akan turuti apa yang tante mau.. walaupun harus menghilang dari tante untuk selamanya…”
Aku menyusut air mataku yang sudah mengalir dengan deras sedari tadi. Kalau menuruti hati ingin sekali aku lari dari sini menghindari tante sukma, sku tak tega melihat kesedihannya karena ulahku, tante sukma sangat menderita karenku. Aku adalah orang yang tak pantas untuk ia maafkan karena aku sudah menghancurkan kebahagiaannya.
Om sebastian dari tadi hanya diam tak berkata apa apa, entah apa yang ia pikirkan, mungkin juga karena ia juga merasa sangat bersalah, Cuma aku tak habis mengerti apa yang jadi motifasinya menceritakan hal ini pada tante sukma.
Apa om sebastian takut kalau tante mendengar hal ini dari orang lain. Kalau itu yang jadi kekuatirannya aku bisa mengerti, saat ini masalah ini juga belum jelas akan bermuara dimana. Aku hanya bisa berdoa ada keajaiban yang akan membuat masalah ini jadi tenggelam dengan sendirinya dan bisa diselesaikan dengan baik.
“kamu tau bagaimana selama ini tante dangat menyayangimu rio, tante selalu perduli denganmu, rasanya tante sudah menganggap kamu bagaikan adik tante sendiri, tante tau mungkin tante juga bukan orang yang terlalu baik bagi om kamu, namun tante juga sudah berusaha melakukan yang terbaik yang tante bisa lakukan agar suami tante bahagia bersama tante… namun kenapa kamu tak bisa biarkan tante melakukan itu dengan mudah, tante sudah merasakan sesuatu yang janggal dengan suami tante selama ini, namun tante kira ada wanita lain, yang membuat tante kaget ternyata itu bukan wanita, tapi kamu rio… tante sering bertanya pada diri sendiri apa kurangnya tante, selalu tante coba intropeksi diri, tante tetap melakukan yang terbaik yang bisa tante lakukan namun tante tak berdaya, sepertinya tante sudah menikahi pria yang salah…”
Tante sukma menyeka air matanya dengan jilbab yang ia pakai, tubuhnya gemetaran terlihat jelas. Bercak bercak maskara yang hitam menodai jilbab chiffon hijau pupus yang ia kenakan saat ini. Andaikan om sebastian adalah pria yang normal mustahil tak bisa menyayangi perempuan secantik itu, yang paling aku kuatirkan saat ini tante sukma sedang hamil tua, bagaimana mereka bisa bercerai. Itu hanya akan membuat keluarga semakin malu, aku yang akan disalahkan paling besar kalau sampai itu terjadi.
“aku akan pergi kalau itu bisa membayar segala kesalahanku tante, aku akan menghilang dari kehidupan kalian, aku hanya minta tante dan om jangan sampai bercerai… aku mohon tante..”
“kamu pikir tante mau bercerai, apa kamu pikir tante mau melakukan itu… tanya sama om kamu kenapa ia sampai mau menceraikan tante, padahal tante sudah bilang padanya kalau tante sudah memaafkan kesalahannya.. tanya sama om yang kamu cintai itu,…!”
Suara tante sukma menjadi tinggi antara kemarahan dan kesal. Aku langsung tersentak karena terkejut. Jadi om sebastian yang mau bercerai, tapi kenapa… apa tujuannya ingin bercerai, aku tak menyangka kalau om sebastian akan melakukan tindakan bodoh lagi, tak cukupkah masalah yang ia buat hingga ia ingin menambah masalah baru lagi, entah apa yang ada di pikirannya itu aku sama sekali tak mengerti.

“benar itu om..?”
Tanyaku sambil menatap om sebastian dengan tajam.
“iya rio…”
Om sebastian perlahan mengangkat kepalanya dan menatapku ragu. Aku membuang muka, aku tak mau sampai om sebastian membaca hatiku, aku tak mau lagi sampai ia tau kalau aku masih menyayanginya karena kalau ia tau itu maka om akan bertindak bodoh.

“aku mohon jangan om ceraikan tante sukma om..”
aku berusaha agar terdengar tegas.
“tapi om bingung rio, om merasa om tak pantas lagi untuknya, om telah menyakiti hatinya..”
Om sebastian masih mempertahankan keinginannya. Ia duduk dengan gelisah bagaikan ada jarum yang menempel di kursi yang ia duduki itu.
“kalau sampai om lakukan itu aku tak akan pernah memaafkan om seumur hidupku…”
Aku berdiri dengan kesal lalu berbalik hendak meninggalkan om sebastian dan tante sukma.

“kamu mau kemana rio, kita belum selesai..”
Tante sukma memanggilku.
Aku berhenti, lalu melihat pada tante sukma.
“aku memang bersalah tante, namun aku juga manusia biasa… kalau om sebastian masih seperti ini aku tak tau harus berbuat apa, tapi aku jamin aku tak akan lagi menemui suami tante lagi, tante bisa mempertahankan om sebastian, aku harus pergi sekarang.. tante harus tau kalau aku menyesal, aku tak pantas dimaafkan, namun aku juga kecewa sama om sebastian.. aku akan meninggalkan palembang secepatnya, mohon maafkan aku….. lupakan segalanya walaupun sulit… hanya itu yang dapat aku lakukan.. selamat tinggal semuanya…!”
Aku bergegas pergi, om sebastian berangkat dari duduknya mengejarku dengan cepat ia berusaha menangkap tanganku namun dengan kasar aku menepisnya.

“lepaskan aku om, jangan buat aku jadi membenci om…!”
Aku memelototi om sebastian dengan nyalang, rasanya aku juga seperti tante sukma yang merasa mencintai lelaki yang salah.
“kamu mau kemana, om tak akan mengijinkan kamu pergi begitu saja, apapun akan om hadapi selama kita tetap bersama, om mohon rio jangan tinggalkan om… kalau itu sampai terjadi om akan mati..”
Ratap om sebastian meminta aku tak meninggalkannya, aku hanya melengos, cukup sudah aku melakukan kesalahan… hanya orang yang bodoh yang mau melakukan kesalahan yang sam untuk kedua kalinya.
Seharusnya om sebastian bisa bertindak lebih masuk akal. Apa yangbisa ia harapkan dari hubungan yang tak ada masa depannya ini. Ia telah menikahi tante sukma.. aku tak pernah memaksanya melakukan itu, dan kalau sekarang ia baru menyesalinya sudah sangat terlambat. Tante sukma tak pantas dijadikan korban. Seorang perempuan yang telah dengan tulus menyayanginya.
“cukup om… cukup.. aku tak mau mendengar apa apa lagi dari om, jangan coba coba menemuiku lagi, jangan pernah mengorbankan orang lain untuk memuaskan keinginan om itu, aku tak akan pernah mengijinkan om melakukan itu…!”
“tapi om sangat mencintaimu…”
Om sebastian menangis juga akhirnya. Namun hatiku sudah beku untuknya, tangisan bahkan lebih dari itu tak akan ada gunanya lagi aku telah kecewa padanya, bisa bisanya dia membuat keputusan sepihak yang hanya memikirkan kebahagiaannya sendiri, dia yang telah memulai semuanya dan aku harus yakin untuk mengakhirinya.
“kamu tega membuat om begini rio, setelah om berkorban.. kamu sama saja dengan kekasih om yang dulu meninggalkan om, kali ini om tak akan membiarkan kekasih om meninggalkan om untuk kedua kalinya, cukup om merasakan penderitaan bertahun tahun karna itu.. kamu harus bertanggung jawab telah masuk dalam kehidupan om, tak bisa seenaknya kamu rengut begitu saja…”
Om sebastian keras hati, ia telah kehilangan akal sehatnya ternyata. Dulu ia yang memulai semua ini dengan pemaksaan hingga aku tak bisa menolak, tak sedikitpun ia mau menimbang rasa. Apa dia kira dia bisa berbuat apapun yang ia mau tanpa memikirkan orang lain, disaat keadaan masih begini runyamnya masih saja ia sempat memikirkan diri sendiri, apakah om sebastian tak tau kesulitan yang aku alami dari keegoisannya itu.
“jangan membuat aku membenci om seumur hidupku, tolonglah mengerti… kita tak bisa memikirkan diri sendiri, om yang membuat masalah bagi kita berdua.. dan sekarang kalau om bisa berpikir, coba om ingat kembali ada berapa orang yang tersakiti karena kita… masihkah om tega.. aku malu pada diriku sendiri.. tapi aku lebih malu lagi dengan kelakuan om itu.. ingatlah sebentar lagi om akan segera pumya anak dari tante sukma… kalau om menyayangiku tolong bahagiakan isteri om itu..”
Aku melepaskan tangan om sebastian dan meninggalkannya yang hanya bisa bengong melihat aku pergi.
*******************
Suara HP ku berdering, nama rian terpampang pada layar. Entah apalagi yang diinginkan olehnya, bukannya kemarin aku sudah sangat jelas mengatakan padanya kalau aku tak lagi mencintainya, untuk apa lagi ia menelponku. Dengan terpaksa aku angkat juga.

“halo rian ada apa..?”
aku bertanya dengan pelan karena aku tau rian pasti sedang kesal padaku sekarang.

“aku mau bertemu denganmu rio, apa kamu ada waktu?”
Tanya rian dengan suara yang terdengar wajar.
“aku capek yan, lagian sekarang sudah hampir jam duabelas malam aku tak enak sama rizal..”
“jadi kamu menginap dirumah rizal ya, akhirnya jadian juga kamu sama adiknya itu, selamat ya rio…”
Ujar rian sambil tertawa, terdengar sekali tawa yang sangat terpaksa.
“terserah lah apapun yang kamu pikirkan rian, aku sekarang sedang banyak pikiran, jangan lagi kamu tambah masalahku dengan tuduhan yang tak penting seperti itu. Kalau kamu sudah selesai aku mau tidur dulu..!”
Jawabku ketus, aku paling tak suka kebiasaan rian yang selalu menyudutkan aku seperti itu. Dia belum berubah juga, mungkin ia masih belum menyadari juga kalau aku sampai meninggalkannya dan selingkuh dengan om sebastian adalah karena sikapnya selama ini, entah kapan ia akan mengerti.

“tunggu dulu rio, jangan kamu tutup dulu telponnya, aku lagi butuh sekali sama kamu sekarang..aku mohon rio, walaupun saat ini kita sudah tak ada hubungan lagi tapi kita masih bersahabat kan rio…”
Ujar rian cepat.

“emangnya ada apa yan..?”
Tanyaku heran, kalau sampai ia butuh aku jam segini pastinya begitu pentingnya, soalnya rian sangat jarang menelpon kalau memang tak benar benar ada keperluan mendesak malam malam begini.
“kalau begitu aku akan coba untuk bangunkan rizal, kamu tunggu saja dirumah, aku akan kesana secepatnya..”

“baik rio aku tunggu ya..”
Jawab rian sambil mengakhiri pembicaraan dan menutup telponnya.
Untung saja rizal mau juga bangun, ia agak heran juga karena aku mau keluar jam segini, aku bikin alasan yang tepat agar ia tak curiga, aku sudah empat hari menginap dirumahnya sejak kejadian papa memergokiku.

“kamu mau balik jam berapa rio..?”
Tanya rizal sambil membuka pintu ruang tamunya, ia menguap berkali kali, aku jadi tak enak hati karena telah mengganggu tidurnya.
“entahlah zal, maaf ya bikin repot saja…”

“nggak apa apa rio, kalau kamu mau pulang tinggal telpon aku aja ya..”
Makasih zal, aku pergi dulu ya..”
Rizal menutup pintu, aku mengambil mobil di garasi lalu pergi kerumah rian.
Sampai dirumah rian keadaan sangat sepi, tapi rian sedang duduk menungguku di depan teras rumahnya.
“ada apa yan, kamu lagi ada masalah ya?”

“iya rio.. aku mau minta tolong antarkan aku ke jaka baring..”
Kata rian sambil berdiri.
“mau ngapain malam malam seperti ini kesana yan, kan daerah itu rawan…”

“kamu mau apa nggak, kalau nggak mau katakan saja,, aku bisa pergi sendiri jalan kaki..”
Rian merajuk seperti biasanya.

“oke aku antar, Cuma heran aja mau apa kamu ke tempat itu yan..”
Aku kembali ke mobil, rian mengikutiku setelah mengunci pintu rumahnya, aku dan rian tak banyak bicara sepanjang perjalanan menuju jaka baring.
Sepi sekali suasana di tambah gelap membuat aku merasa agak cemas, kenapa rian mengajak aku kesini, ada keperluan apa dia sebenarnya.

“kamu mau diantar ke sebelah mana yan, apa kamu yakin..?”
Aku menoleh pada rian yang duduk di sampingku, ia tak menjawab hanya menunjuk pada arah depan yang ada pembangunan stadion yang belum selesai. Aku menyetir kearah yang di tunjuk oleh rian tadi.

“stop disini rio..”
Ujar rian tiba tiba.
“kamu yakin rian?”

“iya disini…”
Jawab rian singkat. Aku menghentikan mobil lalu mematikan mesin.

“turun rio..”
Perintah rian. Aku menatap rian bengong.
”kamu mau ngapain sih rian, jangan aneh aneh ah.. bikin aku takut aja..”
“kataku turun sekarang, aku mau bicara sama kamu”

“kalau Cuma mau bicara kan bisa dirumah saja rian nggak perlu disini, terlalu berbahaya..”
Aku coba protes namun tiba tiba saja rian menarikku dengan paksa hingga aku keluar dari mobil.
“apa apaan kamu ini rian, kok kasar banget..!”

“aku bukan Cuma mau bicara, tapi aku mau buat perhitungan juga sama kamu rio…”
Suara rian dingin seolah bukan ia yang sedang berbicara, tengkukku tiba tiba merinding saat melihat sorot mata rian yang beku seakan sorot mata orang gila yang biasa aku lihat di jalan, tatapan yang tanpa jiwa sama sekali.

“rian kamu jangan macam macam, aku tak suka..!”
Ujarku agak keras.
“silahkan kalau kamu mau teriak, takkan ada juga yang mendengarnya disini… aku akan membuat semuanya jadi jernih hari ini..”
Suara rian makin aneh. Jantungku berdebar debar kencang. Aku takut sekali rian akan melakukan sesuatu yang bodoh.

“kamu jangan gila..”
Aku menatap rian penuh ketakutan, apalagi saat ia mengambil sesuatu yang ia sembunyikan di pinggangnya sebuah pisau belati yang berkilat kilat terkena cahaya bulan yang redup.

“kamu yang memaksa aku melakukan semua ini rio.. kamu akan rasakan akibatnya sekarang.. kamu rasakan bagaimana sakitnya hatiku..”
Rian mendekatiku dengan cepat, aku mencoba mundur, namun pasak kayu yang jadi pancang fondasi stadion membuat aku tersandung dan jatuh.
“kamu akan mati rio.. malam ini kamu akan membayar semuanya…!”

“jangan rian aku mohon… jangan lakukan itu, aku mohon padamu jangan….!”
aku kemarin sempat berdoa biar aku mati saja karena aku tak sanggup menahan beban masalah yang aku alami. Namun saat itu ada di depan mata rasa takut akan kematian membuat aku mengeluarkan keringat dingin, aku tau rian tak main main.. ia tak pernah berbohong, kalau ia bilang akan membunuhku itu artinya dia memang mau melihat aku mati.

Aku tak menyangka kalau riwayatku akan berakhir malam ini ditangan seseorang yang pernah aku sayangi dan masih aku sayangi hingga detik ini.
Tiba tiba rian menghujamkan belati itu dengan kecepatan yang luar bisa kearah dadaku, aku mencoba menghindar namun masih tetap mengenaiku meskipun hanya menggores bahuku tak pelak benda dingin itu menyayat bahuku cukup dalam hingga menimbulkan luka yang menganga, aku hampir tak merasakan sayatannya saking tajamnya.
“ampun yan.. jangan bunuh aku..”
aku meratap pada rian namun tak ia perdulikan, ia terus berusaha menikamku dengan membabi buta, aku menendang rian hingga ia terjungkal terjatuh, rian jadi makin beringas. mumpung ada sedikit celah untuk lolos aku langsung berdiri dan berlari menuju ke mobil namun baru saja aku mau membuka pintunya rian sudah menyusulku dengan belati yang teracung diatas kepalanya.
dengan panik aku merogoh saku untuk mencari kuncinya namun tak aku temukan mungkin terjatuh di tempat tadi rian mau menikamku, sambil memegang bahuku yang perih dan mengeluarkan darah yang seolah tak mau berhenti, aku berlari menjauhi rian. ia mengejarku.
aku bersembunyi di pagar seng lokasi pembangunan stadion, jantungku berdegup dengan keras hingga aku takut rian dapat mendengarnya, belum pernah seumur hidupku ketakutan luarbiasa seperti ini.
aku dapat mendengar langkah kaki rian yang mendekat, aku menahan nafas takut rian mendengar nafasku yang memburu karena rasa panik.
“keluarlah rio, jangan mempersulit keadaan… aku hanya ingin melihat kamu mati dengan cepat, jangan sampai aku membuatmu menderita dengan membunuhmu pelan pelan… ayo keluarlah sayang.. biar aku bisa memastikan tak ada yang dapat memilikimu selain aku…!”
rian memanggilku dengan nada seolah ia sedang bernyanyi lagu yang riang, apakah rian memang sudah gila aku tak tau pasti, yang aku pikirkan saat ini hanyalah cara untuk menyelamatkan diri.
“ayo sayang.. keluarlah, atau kamu mau aku mengajakmu main petak umpet…”

rian terus meyuruhku keluar, ia sudah dekat denganku sekarang, aku bisa melihat pantulan cahaya belatinya di atas tanah.
oh tuhan aku tak mau mati dan aku juga tak mau rian menjadi pembunuh, aku telah membuat banyak kekacauan dan dosa ijinkan aku untuk memperbaiki semuanya, aku tak mau mati dengan meninggalkan banyak dosa. aku ingin bertemu emak, aku tak bisa membayangkan bagaimana reaksi emak kalau ia sampai mendengar aku mati karena di bunuh. diam diam aku menangis.
“jangan sampai kesabaranku habis rio, kamu mau keluar sekarang atau aku akan semakin marah padamu…”

suara rian jadi makin marah, langkahnya makin cepat menimbulkan suara berkeresekan kerikil beradu dengan sandal. angin dingin yang bertiup membuat aku menggigil, rasa perih pada bahuku makin terasa.
semogqa saja rian tak melihat tetesan darahku yang tadi jatuh ke tanah hingga meninggalkan bekas jejak.
namun tuhan sepertinya tak mendengarkan doaku, atau mungkin memang sudah garisku harus mati dengan cara seperti ini, rian akhirnya menyadari ada bercak darah membekas di tanah. ia mengikuti tetesan darah itu hingga menuju ke arahku.

“kamu kira kamu lebih pintar dari aku rio, lihat saja aku pasti menemukanmu..!”
rian terkekeh sambil mengikuti jejak darahku.
habis sudah aku sekarang. aku memejamkan mata sambil terus berdoa dan menahan nafas sebisaku.
“hei… kenapa meringkuk di situ sayang,… kamu takut ya..?”

tiba tiba rian sudah berada di depanku dengan kaki terkangkang.
aku membuka mata dengan sontak, jantungku rasanya mau meloncat melihat tubuh yang menjulang tinggi sambil tertawa bengis di depanku.
“aku sudah bilang pasti menemukanmu ya pasti ketemu… jadi tak usah repot repot sembunyi, bagaimanapun juga niatku kamu mati hari ini kamu pasti tetap akan mati..”
ujar rian ringan seolah nyawa tak ada harga sama sekali baginya.
aku beringsut mencoba menjauh darinya namun rian mengikutiku sambil menatapku nyalang.
“kamu yang memilih mau seperti ini, aku sudah menawarkan kasih sayang namun itu tak cukup bagimu, jadi kamu rasakan sendiri akibatnya rio… kamu rasakan bagaimana pedihnya pisau ini melukai tubuhmu.. seperti itulah rasa sakit dalam hatiku yang telah kamu buat, kalau kamu masih enak, cuma pedih sebentar setelah itu kamu mati dan tenang sedangkan aku harus menanggung ini seumur hidupku, jadi kita impas..”
rian membungkuk dan menghujamkan kembali pisaunya ke arahku. aku terus beringsut mundur, hingga tiba tiba aku merasa menyentuh sesuatu seperti kayu, dengan cepat aku raih lalu aku pukul ke arah rian, telak mengenai tangannya hingga belatinya terlepas.
rian jadi semakin marah berusaha merebut kayu yang ada ditanganku. aku berkeras berusaha jangan sampai rian berhasil mengambil satu satunya senjataku untuk bertahan hidup, namun karena bahuku yang luka hingga membuat aku tak bisa mengimbangi kekuatan rian. aku terjerembab lagi di depannya setelah ia berhasil merebut kayu itu dari tanganku.saat itulah aku berhasil meraih belati yang tercampakan diatas tanah, aku menyebunyikannya di balik punggungku.
“kamu pikir kamu lebih kuat dariku rio… hahaha kamu hanyalah seorang banci yang manja, kamu tak punya kekuatan apa apa selain uang, saat ini tak ada gunanya.. uangmu tak akan menyelamatkanmu dari kematian…!!”
rian menarik tanganku lalu menyentaknya hingga aku berdiri, aku menggenggam pisau di belakang punggungku dengan erat.
“kamu yang banci rian, kamu cemen.. tau nya cuma minta di turuti saja keinginanmu tanpa pernah mau mengerti perasaan orang lain, menyesal aku pernah menyayangimu…!”
aku membalas kata kata rian karena bagiku sudah sangat menyakitkan hati mendengarnya.
“jangan pernah kamu katakan hal itu lagi,.. Aku tak suka.”
rian mencekal tanganku dengan kasar. Rasanya seperti terkilir.
“maaf yan, aku tak bermaksud begitu, aku tadi tak sengaja.” entah kenapa bulu kudukku jadi berdiri melihat ekspresi rian yang bengis, seolah rian yang sesungguhnya telah dirasuki oleh iblis.
“kamu memang tak bisa dimaafkan lagi, sekarang kamu rasakan bagaimana rasanya disakiti..!”
bisik rian tepat ditelingaku dengan suara berdesis. Jantungku terasa mau ambruk rasanya. Aku takut hingga terasa ingin kencing. Aku coba melawan namun sia sia seolah tenaga rian mendadak bertambah berkali kali lipat. Ia menyeretku dengan paksa.
Aku berusaha bertahan tapi itu malah membuat rian bertambah gusar, tanpa rasa kasihan ia memukul kepalaku dengan patahan dahan yang tadi sempat ia pungut. Karena tak siap aku langsung terjungkal menghantam tanah. gemerisik dedaunan kering yang memenuhi tanah berbunyi seiring gerakan tubuhku yang berusaha merayap menghindari pukulan rian namun sia sia, bertubi tubi tubuhku terpecut tanpa ampun.
Teriakan teriakan minta ampun dari mulutku seolah energi bagi rian untuk terus memukul. Sepertinya ia tak akan berhenti sebelum aku mati.
entah dapat kekuatan dari mana aku mengibaskan belati yang aku pegang ke arah rian hingga mengenai pahanya bagian tengah tepat pada kemaluannya hingga celananya robek dan percikan darah mengenai wajahku, rian menjerit sangat keras
TAK ADA YANG ABADI
Aku tersentak kaget tak menyangka kalau aku bakalan mengenai bagian itunya rian, mungkin karena rasa kesakitan yang terlalu, rian langsung tersungkur hingga jatuh sambil mengaduh aduh. Aku mendekati rian dengan panik, aku sekarang malah jadi kuatir sama rian, aku tak mau kalau ia sampai mati karena aku. Jangan sampai itu terjadi karena aku belum siap kalau sampai kena penjara karena membunuh.

“rian kamu tak apa apa..?”
Aku membungkuk sambil memegangi rian.

“tak apa apa kepalamu..!”
Rian masih saja ketus walaupun saat ini dia sedang kesakitan.

“maaf yan, bukan maksudku membuatmu jadi begini…”
Dengan gemetaran dan sisa keberanian yang aku miliki aku mencoba memeriksa luka pada bagian yang tadi aku hujam. Namun rian dengan kasar menepis tanganku.
“pergi atau aku bunuh kamu sekarang rio.. pergi..!!!”

Rian membentakku setelah itu meringis lagi. Aku bisa saja pergi sekarang, namun darah yang keluar dari rian sangat banyak, aku takut ia bakalan mati kehabisan darah.
Dengan hati hati aku menyentuh lagi luka rian, kali ini ia tak melawan, namun mukanya benar benar pucat sekarang, rian juga terlihat makin lemas karena darah yang tak berhenti juga mengalir dari tadi.
“aku minta maaf rian… aku tak bermaksud menyakitimu… aku tak sengaja..”
“kamu jahat rio… kamu menghianatiku…”

Suara rian berubah sengau. Ia menggigit bibir menahan kesakitan, aku berdoa dalam hati semoga tak terlalu parah lukanya, meskipun aku juga sedang terluka namun aku tak hiraukan lagi, aku hanya memikirkan nasib rian.
Aku mengangkat tubuh rian dan memapahnya ke mobil. Aku baru ingat tadi kuncinya terjatuh .

“rian kamu jangan mati dulu.. aku mau cari kunci sebentar, kita harus kerumah sakit
sebelum kamu kehabisan banyak darah.”
“kuncinya ada di saku bajuku rio… tadi aku pungut sewaktu jatuh,..”

Rian terduduk disisi mobil. Tanpa menunggu lagi aku merogoh saku kemeja rian dan menemukan kunci yang aku mau. Bergegas aku membuka pintunya lalu menolong rian masuk. Aku menyalakan mesin lalu meninggalkan tempat terkutuk ini. Kejadian ini tak akan pernah aku lupakan seumur hidupku.
Sambil menyetir sesekali aku melihat ke rian, darah masih merembes lewat celana katun yang ia pakai. Sekilas dari celana yang robek terkena pisau aku melihat luka yang cukup membuat aku nyaris bergidik, kemaluan rian nyaris terpotong setengah, aku tadi memang benar benar panik, waktu mengibaskan pisau, aku memejamkan mata. Jadi aku tak mengira kalau yang kena bagian yang paling vital darinya.
“kenapa kamu melihatku seperti itu, kamu sudah puas kan sekarang…”
Rian berdesis sambil melirikku setengah terpejam.

“kenapa kamu mau membunuhku, kenapa rian..?”
aku menangis karena sedih yang aku rasakan, orang yang selama ini begitu aku sayangi tega mau menghabisi nyawaku. Padahal aku telah banyak berkorban demi dirinya, apakah semua itu tak ada artinya bagi rian.
“aku sangat mencintaimu rio… kamu tak tau itu.. kamu tak tau..”
“aku juga sangat mencintaimu, kalau kamu mencintaiku kenapa kamu mau aku mati..?”
“aku lelah, aku tak mau melihat kamu dengan orang lain.. kamu tak menimbang perasaanku, kamu lupakan janji kita.. kamu dua kali menghianatiku..”
Setelah mengatakan itu rian langsung pingsan. Untung saja aku telah dekat dari rumah sakit, tanpa berpikir lagi aku melajukan mobil lebih cepat dan memasuki pagar rumah sakit. untung saja ada beberapa perawat yang sigap membantuku saat melihat aku kesulitan membopong rian turun dari mobil.
rian segera dibawa ke UGD dan aku juga ikut dirawat untuk mengobati luka pada bahuku.
aku menunggui rian dengan cemas, aku tak berhenti berdoa untuknya. aku benar benar kalut sekarang, tak ada yang dapat menggambarkan perasaan yang aku rasakan saat ini, betapa banyak beban masalah yang harus aku tanggung tak henti hentinya, mungkin memang aku sudah tak ada alasan untuk tinggal lebih lama lagi disini, aku tak dapat lagi bertahan kalau begini caranya.
mungkin sudah saatnya aku kembali ke asalku dimana tempat yang lebih damai yang memberikan perasaan damai dan tenang, aku harus membuat keputusan bagi diriku sendiri. ternyata hidup dengan ibu kandung tak selamanya lebih tenteram. aku merindukan saat saat yang bahagia dulu semasih bersama emak.
kalau semua ini sudah selesai aku tak akan menunggu lama lagi disini, aku akan kembali ke bangka. aku akan mencari emakku dan bersimpuh dikakinya.
sudah bermenit menit hingga berganti jam aku menunggu rian dengan cemas. aku tak punya cukup uang untuk membayar biaya rumah sakit ini, meminta sama mama tak mungkin untuk saat ini, aku tak tau harus cari uang kemana.
pinjam sama teman juga hampir tak ada gunanya, otakku benar benar buntu. bahuku terasa nyeri, sekarang baru terasa sakitnya. tiba tiba aku teringat dengan papaalvin. kenapa aku sampai lupa padanya, aku bisa minta tolong padanya, bukannya papa pernah berkata akan memberikan apa saja yang aku minta selama ia mampu.
aku harus telpon dia sekarang, aku yakin ia punya uang. tapi aku juga tak mau kalau ia sampai tau dengan kejadian ini. apa alasan yang harus aku berikan padanya agar ia tak curiga.
aku akan kerumah papa sekarang, semoga saja ia ada dirumah, karena hanya dialah yang dapat aku harapkan sekarang ini, semoga saja ia ada di rumah. tapi sekarang masih jam tiga pagi. aku juga tak enak kalau mengganggu papa sepagi ini, itu hanya akan membuat ia jadi curiga, terpaksa aku harus menunggu sampai besok.
kalau papa menanyakan tentang bahuku yang di perban aku juga harus mencari alasan untuk itu.
suster menghampiriku untuk konfirmasi operasi untuk rian, lukanya ternyata cukup parah, tanpa berpikir panjang lagi aku menyetujui agar dilakukan operasi secepatnya bagi rian. aku tak mau terjadi apa apa sama dia, semua adalah salahku juga hingga rian jadi begini. kalau bukan karena sakit hatinya padaku tak mungkin ia akann berbuat nekat seperti itu. aku yang bertanggung jawab atas semuanya yang terjadi. aku sudah dapat pelajaran berharga dari sikapku. aku tak membenci rian sedikitpun. saat ini aku hanya mau menyelesaikan masalahku satu persatu.
aku menandatangani segala berkas yang harus aku tandatangani agar operasi dapat segera di laksanakan. aku tak memikirkan lagi dompet yang sudah tiris, itu bisa di pikirkan nanti.
aku menunggu lagi dengan gelisah, aku mau bertemu rian dan memastikan kalau keadaannya baik baik saja. aku hanya berdoa dan berharap yang terburuk pergi jauh jauh, sudah cukup masalahku, aku tak sanggup lagi kalau harus bertambah lagi.
“rio lagi ngapain kamu..?”
suara kak fairuz mengagetkanku, aku baru sadar kalau aku telah membawa rian kerumah sakit yang sama dengan tempat papa dirawat, aku jadi kelabakan. bagaimana aku harus menjelaskan sama kak fairuz, kenapa aku jadi begini bodohnya karena panik.
“a… aku.. menunggui teman.. iya,.. aku menunggui teman..!”
jawabku asal karena bingung bagaimana harus bohong, aku takkan bisa terus berbohong karena kak fairuz akan segera tau karena ia tiap hari disini menunggui papa. ia akan sering bertemu denganku.
“kenapa kamu tak pulang kerumah dek.. siapa yang kamu tunggui..?”
kak fairuz ingin tau.ia menatapku tajam seolah curiga karena tadi aku menjawab dengan gugup.
“aku belum berani pulang kak, aku malu sama mama dan keluarga yang lain,..”
aku menunduk menghindari mata kak fairuz yang seolah ingin mengulitiku.
“terus kamu jaga siapa disini..?”
“rian kak..”
“kenapa dia, sakit apa..?”
desak kak faruz keheranan.
“dia lagi di operasi.. dia..”
“kenapa dia rio, apa yang terjadi.. apa kalian kecelakaan, tuh tangan kamu kenapa pula sampai kena perban seperti itu.. benar ya kalian kecelakaan?”
tanya kak fairuz jadi panik, aku tau walaupun dia bukan kakak kandungku sama juga seperti kak faisal, namun kak fairuz menyayangiku seperti juga kak faisal dulunya.
“bukan kak…”
aku menahan lagi airmataku agar jangan sampai turun, aku harus kuat, aku akan jujur pada kak fairuz sekarang, aku akan ceritakan semuanya pada dia.
“kenapa dek, katakan pada kakak ada apa, apa yang terjadi sama kamu dan rian, kakak tau pasti ada yang kamu sembunyikan, ceritakan saja sama kakak,.. kamu tau kakak bisa dipercaya, jangan menyimpan sendiri segala beban kamu..”
kak fairuz menentuh pundakku lalu duduk disampingku, akhirnya aku tak dapat lagi menahan sesak yang aku tahan dari tadi. seiring airmataku tumpah, tumpah pulalah pengakuanku, aku menceritakan segala detil kejadian yang barusan aku alami, bagaimana aku bertahan hingga saat ini aku masih hidup dan akhirnya rian yang jadi korbannya.
kak fairuz diam mendengar aku bercerita dengan serius, sesekali ia mengusap mukanya.
“kamu masih mau membantu dia sementara tadi dia mau membunuhmu, makanya dari awal kakak sudah peringatkan kamu, jangan berhubungan sama rian, dia itu tak baik.. kamu masih ungat kan kalau kakak bilang ada yang lain dari anak itu, sekarang kamu yang kena sendiri akibatnya..!”
kak fairuz nampaknya sangat kesal sekali.
“memang kak, tapi akulah yang menyebabkan dia melakukan ini kak, aku juga tak bisa cuci tangan, sekarang aku telah dapat pelajaran dari semuanya…”
aku memandang wajah kak fairuz sekilas lalu menunduk lagi.
“kalau sampai dia tadi membunuhmu, kakak bersumpah akan membunuhnya dengan tangan kakak sendiri…!”
ujar kak fairuz berapi api.
“sekarang apa yang akan kamu lakukan dek, mama kamu marah sekali sama kamu, kakak sudah cerita semua sama mama kakak, beliau menanyai kamu terus.. mama kuatir memikirkan kamu dek..”
“kakak cerita sama mama kakak, kenapa kak… aku malu sama tante lina..”
“tak apa apa dek, kakak kenal siapa mama.. orangnya cukup demokratis kok.. ia malahan marah sekali setelah tau reaksi mama kamu, mama suruh kakak kasih tau kamu kalau mama menyuruh kamu menemuinya di hotel, mama mau bicara sama kamu..”
kak faruz tersenyum padaku seolah dengan itu ia ingin mengatakan kalau aku tak perlu terlalu kuatir.
“nanti kak kalau rian udah bisa ditangani aku akan ke hotel.”
aku berusaha tersenyum meski terasa begitu beratnya.
“oh ya, pasti adek butuh uang sekarang, kakak tau adek pasti tak pegang uang.. tunggu kakak mau ngambil uang dulu ke ATM..”
kak fairuz berdiri.
“nggak usah kak, aku sudah terlalu merepotkan kakak, lagipula kakak pasti lebih membutuhkan uang itu, kakak kan baru menikah pasti butuh banyak uang.
aku menolak karena merasa tak enak hati.
“tak apa apa dek, itulah gunanya seorang kakak….dari pernikahan kemarin kan kakak lumayan dapat banyak uang, lagipula kakak juga nggak bisa kasih terlalu banyak juga, kalau masalah uang untuk biaya operasi rian nanti kakak cari cara bagaimana mendapatkannya.”
kak fairuz meninggalkanku tanpa menunggu aku menjawab. aku memandangi kak fairuz hingga ia keluar dari lorong rumah sakit menuju ke mesin ATM.
tak lama kemudian kak fairuz kembali dan memberikan sejumlah uang padaku, aku tak menghitungnya lagi karena aku bisa melihat jumlahnya lumayan lah untuk aku bertahan selama tak tinggal dirumah.
“makasih kak, aku janji akan ganti semuanya nanti..”
kataku sambil mengambil dompet di kantong lalu memasukan uang itu dalam dompet.
“jangan dipikirkan dulu, kamu juga jangan lupa jenguk papa.. tadi papa sudah agak mendingan…”
“aku malu sama papa kak, aku takut kalau ia melihatku malah sakit jantungnya kumat lagi, aku ingin menunggu semua lebih tenang, daripada akan terjadi hal yang fatal dan aku semakin dibenci mama..”
aku mendesah, aku kenal sekali dengan mama… ia bukan tipe pemaaf, aku sudah membuat dia kecewa, entah apa yang akan ia lakukan setelah papa sembuh.
“papa pasti memaafkan kamu dek, mungkin saat itu papa lagi shock aja, siapa gak kaget dek liat hal yang gituan, jangan kan adek sama om sebastian, sama cewek juga mungkin papa jantungan…”
kak fairuz berasumsi sendiri, namun aku sendiri tak yakin apa mungkin papa akan memaafkan aku, sedangkan kesalahan yang aku buat sudah sangat besarnya. apalah kekuatanku hanya sebagai anak tiri papa harlan tak mungkin ia akan melupakan begitu saja.
“semoga kak, kalau begitu aku mau melihat kondisi rian dulu kak, aku juga belum mengabarkan keluarganya karena ku bingung bagaimana cara menjelaskan semua kejadian ini.. kakak bantu aku berdoa semoga semuanya akan baik baik saja…”
“iya dek, kakak pasti berdoa… satu pesan kakak, jauhi dia setelah ini dek, jangan uat masalah lagi… demilian juga dengan om sebastian, sekarang adek harus tau rumah tangganya sedang kacau, kakak dengar ia dan tante sukma mau bercerai…”
ternyata kak fairuz juga sudah tau mengenai masalah itu, aku yakin tak lama lagi tante laras dan kerabat yang lain juga akan tau, mengapa harus begini jadinya. aku benar benar telah merusak segalanya. memang tak ada lagi alasan bagiku untuk tetap tinggal, aku akan pergi. meskipun kuliahku belum selesai, aku hanya bisa merencanakan sesuatu, pada akhirnya hanya tuhan yang berkuasa menentukan, aku hanya akan kembali sebagai rio yang dulu yang tak bisa di andalkan apa apa.
“katanya mau lihat rian, tapi kok malah melamun..”
kak fairuz menegurku.
“iya kak, aku tinggal dulu ya..”
aku pamit pada kak fairuz. ia tersenyum dan mengangguk.
ternyata rian sudah di pindahkan di kamar perawatan, operasinya sudah selesai. menurut dokter segalanya sudah bisa diatasi, hanya kemungkinan buruk yang dapat terjadi adalah rian mungkin saja bisa impoten setelah ia pulih nanti.
aku tak dapat membayangkan sampai itu terjadi, aku akan menyesal seumur hidupku, walaupun aku menyaayanginya, aku masih berpikir pada waktunya nanti ia akan menikah dan punya anak, kalau ia sampai impoten hal itu tak akan pernah terwujud, rian telah kehilangan masa depannya.
aku masuk ke kamar rian setelah dapat ijin dari dokter, rian masih terbaring dan terlihat pucat. aku menghampirinya perlahan.
“kenapa kamu selamatkan aku..seharusnya kamu biarkan aku mati..”
ujar rian dingin tanpa melihatku, matanya terpaku menatap langit langit.
“aku mminta maaf yan, aku tak mungkin membiarkanmu…”
“kamu puas kan sekarang, kamu bisa mentertawakanku…”
“jangan bicara seperti itu yan, aku tak sedikitpun terlintas untuk mentertawakanmu..”
aku mendesah, batinku terasa sakit melihat keadaan rian yang seperti ini, sekarang ia terbaring tanpa daya, itu semua karena kebodohanku. tak henti hentinya aku menyesali.
aku mendekat ke rian sambil menarik kursi dan duduk dekatnya, rian menoleh ke arah lain menghindariku.
“aku tau kamu marah sekali padaku, kesalahanku tak mungkin kamu maafkan, apa yang harus aku lakukan agar kamu bisa membayar semua ini…”
aku bertanya dengan menguatkan hati. airmataku jatuh bergulir tanpa kusadari.
“kamu boleh saja minta maaf, tapi hatiku telah kamu sakiti seperti ini rio, kamu yang aku sayangi, tapi kamu juga yang membuat aku menderita, kamu tak sedikitpun menghargai aku, kamu seenaknya mempermainkan aku..”
jawab rian masih terus melihat kearah dinding. ia tak mau melihatku. ingin rasanya aku menyentuhnya, namun aku merasa tak pantas lagi. aku memang mimpi buruk baginya.
“masih sakit yan,,?”
“rasa sakit ini tak seberapa dengan sakit hatiku rio… kapan kamu dapat menghargai aku, kamu hanya memikirkan diri sendiri..”
suara rian jadi makin serak. aku tau rian pasti sedang menangis. aku memberanikan diri menyentuh pundaknya. rian tak bergeming, tak juga menepisnya.
“aku hanya mau memastikan kalau kamu baik baik saja rian..”
mendadak rian menoleh dan menatapku dengan sangar.
“aku tak akan pernah baik baik saja setelah ini, aku yakin kamu pasti tau… atau kamu memang sengaja tak mau tau…apa yang telah kamu lakukan padaku tak akan aku lupakan rio… aku tak akan pernah lupakan sampai mati…”
“kamu mau membunuhku lagi, kamu mau melakukannya lagi, apakah kamu yakin akan puas kalau aku sudah mati.. kamu akan menikmati saat kamu membunuhku, apakah itu yang dinamakan cinta..kamu bukan cinta rian, tapi kamu hanya mau menguasaiku, kalau kamu sadar selama ini mungkin aku takkan pernah meninggalkanmu, kamu ingat kembali, kapan kamu membuat aku merasa benar benar nyaman bersamamu… tiada hari yang kita lalui tanpa bertengkar, kamu hanya ramah kalau lagi diatas ranjang saja, apakah yang kamu mau aku terus terusan diatas ranjang bersamamu agar aku bisa merasakan kasih sayangmu setiap saat, apa artinya itu semua… itukah cinta menurutmu..?”
kata kata itu meluncur begitu saja tanpa dapat aku kendalikan. aku tak perduli lagi andaikan rian mau marah sekalipun, aku sudah tak dapat lagi memendamnya lebih lama, rian tak sadar juga apa kesalahannya. ia hanya bisa menyalahkan aku, apa ia tak tau kalau saja ia dapat memberikan rasa nyaman padaku mana mungkin aku bisa meninggalkannya. rian tak juga berubah.
“kamu tak pernah mengatakannya selama ini, aku sudah berusaha memberikan yang terbaik, tapi kamu juga sering membuat aku cemburu..”
rian sudah agak melunak.
“apakah aku bersalah kalau ada yang menyukaiku, tapi aku tak lantas membalasnya kan, begitupun yang aku rasakan kalau ada yang mencoba mendekati kamu yan, tapi aku tahan… aku mempercayaimu, aku yakin kamu tak akan membuatku kecewa… tapi rasa cinta tak cukup yan, kamu juga harus memberikan pengertianmu, bukan hanya ingin aku memperhatikanmu tiap waktu, aku manusia yang butuh bergaul, aku tak bisa hanya bersamamu terus, kadang ada masalah keluarga yang tak dapat aku ceritakan padamu, aku tau kamu sedang banyak masalah dan aku tak mau menambah beban pikiranmu..”
rian diam seribu bahasa ta menjawab, sesekali ia meringis. sepertinya pengaruh obat bius sudah hampir hilang. aku mencoba memeriksa bagian tubuh rian yang tadi di operasi. rian tak menolak. aku menyingkap kain yang menutuoi tubuhnya sebatas pinggang. rian tak memakai apa apa dibalik baju rumah sakit itu. bagaikan seorang anak yang habis di khitan kemaluannya terbungkus perban dan pelontos. aku menyentuhnya dengan hati hati.
“rio.. jangan tinggalkan aku..”
rian mendesah.
“apakah kamu bisa merasakan aku memegangnya?”
tanyaku ingin tau.
“tentu saja, lebih lama lagi kamu pegang, aku jamin kalau lukanya akan kembali terbuka yo..”
rian masih saja bisa melucu disaat seperti ini. aku tersenyum dan menjauhkan tanganku dari area yang begitu akrab denganku selama ini.
“aku sudah berjanji itu hanya untukmu rio, tapi kamu merusaknya.. kamu tak perlu lagi itu kan.. kamu sudah ada yang baru..”
ujar rian dengan nada getir.
“jangan bicarakan itu dulu, yang penting sekarang kamu harus sembuh..”
aku mengusap rambut rian dengan sabar, aku tak perlu meladeninya untuk bertengkar, saat ini hanyalah kesehatan rian yang paling penting. aku berdiri bersiap untuk pergi.
“kamu mau kemana rio, jangan tinggalkan aku, tak ada yang menemaniku disini…”
rian beringsut. aku segera menahannya.
“kamu jangan terlalu banyak gerak yan, nanti luka bekas operasinya terbuka lagi, apa kamu mau dioperasi ulang, nanti punya kamu beneran putus loh kalau dokter kesal…!”
“biarin aja… kamu sudah tak perduli juga padaku, mana janjimu dulu tak akan meninggalkan aku…?”
tuntut rian gelisah.
“aku hanya mau menemui papa yan, aku mau pinjam uang sama papa untuk biaya pengobatan kita…”
“aku lagi lagi menyusahkan kamu rio, kenapa tak kau biarkan saja aku mati, jadi kamu tak perlu pusing, aku juga lebih tenang..”
ujar rian asal.
“siapa bilang kalau mati kamu akan tenang, apa kamu tak tau apa hukuman mati bunuh diri setelah berusaha membunuh orang lain.. kau pikir kau akan disambut malaikat dengan penuh sukacita di surga dan kamu bisa duduk tenang sambil ngopi meljhat aku disini… kalau kamu masih hidup artinya tuhan masih punya rencana lain untuk kamu, jadi sukurilah keadaan.. uang bisa diusahakan.. nyawa tak ada gantinya…”
aku menasehati rian, ia tak menjawab lagi.
“dan tolong jangan buat hal gila lagi, aku yakin kamu sudah dapat pelajaran berharga dari semua ini.. tunggu aku sebentar saja, aku pasti kesini lagi.. jangan bandel, turuti apa yang perawat sarankan..”
aku mengultimatum rian sebelum meninggalkannya.
“iya tapi jangan lama lama ya..”
rian merengek bagai anak kecil. aku hanya tersenyum melihatnya.
*******
“kenapa tanganmu bisa luka aeperti itu rio..?”
teriak papa agak panik saat melihat aku datang. sepertinya papa baru mau berangkat kerja, bajunya sudah rapi.
“aku harus cepat pa, tak ada waktu jelaskan sekarang.. aku butuh bantuan papa,,”
aku langsung ke intinya.
“iya sih papa juga sedang ditunngu klien di kantor.. ada pa memangnya nak, apa bantuan yang kamu inginkan dari papa..?”
sepertinya papa senang mendengar aku butuh bantuannya.
“Aku butuh bantuan papa, aku butuh uang, kalau ada papa bisa pinjamkan?”
sebetulnya aku agak malu juga, karena baru beberapa hari yang lalu aku menolak bantuan papa, hari ini aku malah menjilati ludahku sendiri.
“berapa banyak, kamu mau beli mobil baru?”
tanya papa tanpa bercanda.
“bukan pa, aku butuh uang, aku mau bayar biaya rumah sakit, aku dan temanku kecelakaan, jadi aku yang bertanggung jawab.. aku tak mau kalau sampai masalah ini jatuh ke tangan polisi..”
aku terpaksa membohongi papa demi kebaikan bersama.
“papa tak pegang uang cash banyak, paling ada beberapa juta saja.. kamu pakai aja kartu debit papa..”
sambil merogoh kantong celananya papa mengambil dompet, membukanya lalu mengambil selembar kartu debet dan mengulurkan padaku.
“tapi nanti papa memerlukannya..”
aku ragu mengambilnya.
“sebetulnya kartu ini memang sudah papa persiapkan untuk kamu, tapi papa mau kasih nanti minggu depan tepat usia kamu 22..kebetulan kamu sudah butuh, jadi tak ada salahnya kalau papa kasih sekarang..”
jawab papa ringan. aku hanya bengong karena kaget. ternyata papa selalu banyak dengan kejutan. akhirnya aku terima juga kartu itu karena memang aku sangat butuh sekali.
“pergunakan dengan bijaksana ya nak, papa percaya sama kamu..”
papa mengusap rambutku dengan sayang, aku balas memeluk papa.
“kamu kok aneh, nggak biasanya mau peluk papa..”
papa balas memelukku dengan terharu.
“makasih banyak pa, aku janji akan pergunakan dengan bijak, papa jangan kuatir..sekarang aku mau balik ke rumah sakit dulu ya pa, udah ditungguin ma temen..”
“oh ya rio mama kamu sehat kan?”
“sehat pa, cuma papa harlan sekarang lagi dirawat di rumah sakit karena jantung..”
jawabku jujur.
“begitu ya?”
papa mengangguk, entah kenapa aku seperti melihat papa menyeringai namun tak lama setelah itu papa memasang tampang prihatin. ah masa bodoh lah aku sudah tak perduli lagi sekarang, lagipula aku tak bakalan lama lagi akan meninggalkan mereka semua.
“ya sudah papa mau berangkat ke kantor dulu, jangan lupa sering sering kemari.. meskipun papa nggak ada dirumah tak ada masalah..”
aku dan papa keluar bersama lalu berpisah di pekarangan, aku pergi lebih dulu, aku sudah agak tenang sekarang dengan kartu yang ada di tanganku ini satu kesulitanku teratasi. papa memang sangat pengertian, aku akan menginap dirumah papa beberapa hari sebelum aku pulang ke bangka.
*****
“cepat amat kamu balik, udah kelar ya..?”
tanya rian agak heran ketika melihat aku masuk.
“iya rian, tadi papa kasih aku kartu debet, jadi aku bisa bayar biaya kita.. kamu udah sarapan belum..?”
“kan aku baru di operasi, jadi belum bisa makan banyak, padahal aku laper banget..”
rian terlihat sebal.
“sudah lah, kamu yang sabar aja… nanti juga kamu bisa makan banyak kalau udah membaik.. fokus sembuh aja dulu..”
nasehatku sambil menaruh buah yang tadi aku beli di pasar waktu aku mau kesini.
“rio aku minta maaf… aku menyesal telah melakukan tindakan yang bodoh semalam.. aku tak bisa bayangkan seandainya semalam kamu tak melawan pasti kamu sudah tiada…”
rian baru menyesali tindakannya yang bodoh.
“jangan dikatakan lagi megingatnya saja membuat aku jadi merinding, aku masih berdebar debar kalau kejadian kemarin malam terlintas..”
“kamu benar, tapi aku takut rio, aku takut nanti aku jadi impoten, kata dokter aku tak boleh terlalu banyak gerak..”
“kamu harus banyak istirahat rian, jangan terlalu banyak pikiran karena itu juga tak baik.. sekarang aku harus pulang dulu karena ada beberapa pekerjaanku yang belum beres, nanti aku kesini lagi…”
“baiklah kalau memang kamu ada kerjaan, tapi kamu jangan bohong lagi ya, aku bosan berada di sini terus… rasanya aku mau pulang saja..”
rian mengerutu, aku tau sekali apa yang rian rasakan. memang tak enak rasanya mendekam dirumah sakit dalam keadaan tak bisa melakukan apa apa selain berbaring, waktupun terasa berjalan semakin lama.
“kamu sabar aja, kalau mengikuti anjuran dokter mungkinkamu bisa lebih cepat keluar, tapi kalau kamu bandel bisa saja kamu akan semakin lama disini.”
“ya sudah kalau mau pergi, aku juga mau tiduran dulu… mataku ngantuk sekali, kayaknya pengaruh obat tidur..”
“oke, nanti sore aku kesini lagi..”
kataku sambil meninggalkan rian. aku mau ke rumah rizal sekarang. dia pasti kebingungan karena aku tak pulang dari semalam, mana aku tak memberitahu dia aku ada dimana. rizal pasti akan banyak bertanya kenapa aku sampai di perban seperti ini. aku harus menyiapkan jawaban yang tepat agar ia tak curiga.
benar saja, begitu aku menginjakan kaki dirumah rizal, ia langsung memberondongiku dengan berbagai pertanyaan. aku bilang saja kalau aku kecelakaan. untung saja rizal langsung percaya dan tak banyak anya lagi namun kulihat dia melirik ke mobilku yang masih mulus berkilau.
“pake mobil teman..”
kataku tanpa rizal tanya. kemudian secepat kilat aku meninggalkannya ke kamar sebelum dia akan banyak bertanya lagi.
aku mengambil handuk dan mandi setelah itu aku berganti pakaian, sekarang sudah jam sepuluh, aku akan ke hotel tempat mama kak fairuz menginap. katanya ia mau bicara padaku, entah apa yang mau ia bicarakan aku belum tau. tapi yang jelas aku harus datang.
sampai di hotel aku langsung naik ke lift menuju ke kamar tante lina, aku menyusuri koridor hingga sampai di depan kamarnya. aku mengetuk pintu dengan pelan. tak menunggu lama tante lina membuka pintunya.
“rio…”
tante lina sedikit terkejut melihatku.
“masuk nak, tadi mama kira fairuz yang datang..”
tante lina melebarkan pintu agar aku bisa masuk.
“apa aku menganggu ma?”
tanyaku tak enak hati.
“sama sekali nggak sayang, mama malah senang kamu mau datang, ya ampun nak tangan kamu kenapa…?”
sudah ku duga pasti tante lina akan bertanya tentang tanganku yang luka, aku terpaksa harus bohong lagi.
“makanya nak kalau naik kendaraan itu harus hati hati, jaman sekarang jalanan ramai sekali, kalau lengah sdikit saja maka begini ini jadinya..”
ujar tante lina prihatin. aku tersenyum pada tante lina, ia benar benar perhatian padaku tak seperti mama, tak ada yang berubah dengan caranya memperlakukan aku. aku tau ia telah tahu semua masalahku karena kak fairuz sudah menceritakan padanya namun tante lina tetap biasa saja.
selama kami berbicara tak sekalipun tante lina menyinggung kejadian itu, aku sangat bersukur dan menghargai pengertian mama kak fairuz. ternyata memang tak seperti yang aku duga selama ini kalau tante lina akan begitu baik.
“mama bisa mengerti apa yang kamu rasakan rio, kalau memang saat ini kamu sudah tak diterima dirumah kamu dengan senang hati mama mau, kamu bisa ikut mama dan kak fairuz ke jakarta…”
tante lina menggenggam tanganku untuk menenangkan hatiku seta memberi kekuatan agar aku bisa lebih bersabar dalam menghadapi masalahku.
“terimakasih mama, segala kebaikan mama tak akan pernah aku lupakan, aku tau mungkin mama kecewa padaku setelah tau bagaimana kau sebenarnya….”
aku hampir tak dapat menahan keharuan.
“sssst…….. jangan berpikiran macam macam, mama tak mau mengurusi masalah pribadimu, mama tau kamu sudah dewasa dan bisa menentukan mana yang terbaik bagi kamu, cuma nasehat mama, untuk ke depan lebih berhati hatilah dalam bertindak agar tak jadi sesuatu yang akan kamu sesali..”
tante lina memotong ucapanku dengan penuh pengertian.
“mama udah makan belum, aku udah agak lapar nih.. kita cari makan aja ya..”
tanyaku sambil mengelus perut, entah kenapa dengan mamanya kak fairuz aku malah merasa bisa lebih nyaman ketimbang dengan mama ku sendiri.
“ayo kalau memang kamu sudah lapar, kebetulan mama juga udah agak lapar nih..”
“mama mau makan dimana, pokoknya hari ini rio akan bawa kemana saja mama mau..”
aku tersenyum sama tante lina.
“wah yang bener nih.. mama senang sekali, kalau mama terserah rio aja…mama ikut aja, makasih ya sayang mama benar benar bahagia hari ini..”
tante lina tiba tiba memelukku lagi.
“begitu juga rio ma, rasanya rio jadi lebih tenang, makasih ya ma..”
aku balas memeluk tante lina. aku justru merasakan kehangatan seorang ibu bukan dari mama kandung sendiri, pertama emak lalu sekarang tante lina.
kami berdua makan direstoran sari sanjaya yang terkenal enak walaupun sedikit mahal dan porsinya sedang namun memuaskan.
setelah makan siang aku masih sempat mengajak tante lina jalan jalan berkeliling kota palembang, aku merasa makin akrab dengan tante lina, dalam hati aku beterimakasih sama kak fairuz yang mengenalkan mamanya padaku.
hari ini aku pulang ke rumah sebentar dengan maksud untuk mengambil beberapa barang barang yang aku butuhkan, tak aku sangka ternyata mama ada di rumah. melihat aku mama langsung ngomel ngomel.
“masih ingat ya dengan rumah, kirain udah lupa, kalau lebih betah dirumah orang lain sekalian aja nggak usah pulang pulang lagi, lagipula kamu tak ada gunanya disini, hanya bikin orangtua malu…”
kata kata mama itu terasa sekali menusuk hatiku yang paling dalam, aku tak menjawab apa apa, percuma saja.. aku lagi tak minat untuk bertengkar, lagipula salahku memang. jadi lebih baik diam.
“kamu sudah makan rio, kalau belum tadi aku udah masak loh.. kebetulan aku masak udang kesukaan kamu..”
amelia menghampiriku seolah tak pernah terjadi apa apa.
“sudah lah mel, kamu tak usah terlalu mengurusi dia, mau makan atau tidak itu urusan dia, yang penting kamu itu harus jaga pola makan, untuk kandunganmu itu.”
mendengar kata kata mama amalia hanya diam dan menatapku dengan tak enak hati, aku tersenyum sama amalia biar dia tak merasa seperti itu.aku justru berterimakasih ia tak berubah.
mama telah kecewa padaku, ia marah… aku ingat dengan kak faisal dulu yang dimusuhi sama mama, namun akhirnya kak faisal telah tiada, namun kesalahan kak faisal saja sudah membuat mama seperti itu apalagi aku yang kesalahnku terlalu besar untuk dimaafkan, aku benar benar bulat akan pergi dari sini.
untuk apalagi aku bertahan kalau memang tak diinginkan, bukannya dulu aku juga tak pernah memaksa mama untuk mengambilku dari emak, sekarang kalau ia mau membuangku, aku tak akan menentangnya. mama punya hak untuk menitipkan aku sama emak, mengambilnya lagi dan mengusir lagi. aku sudah dewasa dan mampu bertahan hidup meskipun jauh dari orangtua. namun aku harap nanti mama tak akan mencariku lagi.
“mau kemana kamu, jangan kamu pikir kamu bisa seenaknya datang pergi kerumah ini…”
teriak mama ketika aku mau ke kamarku.
“aku hanya mau mengambil beberapa baju saja..”
jawabku singkat.
“hebat ya kamu sekarang, mentang mentang sudah dewasa bisa berlaku seenaknya..”
“aku minta maaf ma, memang aku bukan anak yang mama harapkan, aku hanya sumber masalah bagi mama, kalau itu yang mama pikirkan tentang aku, jangan kuatir aku akan pergi biar mama tak malu karena aku..”
aku menahan airmata yang nyaris keluar, tak ku sangka kalau mama akan seperti ini marahnya padaku, seolah aku ini bukan anaknya lagi. melihatku saja sudah membuat mama marah.
“baguslah kalau kamu sadar, kamu memang bikin malu..mengingatnya saja bikin mama muak…”
tikam mama tanpa rasa kasihan. amalia tersentak seolah tak mengira mama akan mengucapkan kata kata itu.
hilang sudah hasratku untuk mengambil bajuku, tanpa mengindahkan mama aku masuk ke kamar hanya untuk mengambil miniatur mobil yang dulu diberikan erwan untukku.
aku pandangi kamarku yang selama hampir tujuh tahun aku tempati, mungkin ini terakhir kali aku masuk kamar ini, kamar yang menyimpan banyak kenangan indah. segala kenangan yang tak aku lupakan. sekarang aku harus mengucapkan selamat berpisah pada kamarku.
aku mengambil kotak lalu menyusun miniatur mobil ke dalamnya, ada dua puluh miniatur dan semuanya yang dulu diberikan erwan.
aku mungkin tak akan sempat pamit sama odie, tante laras, om sebastian dan isterinya, aku juga tak akan pamit sama siapaun. aku akan pergi diam diam, aku tak mau meninggalkan kenangan apapun sama mereka agar aku merasakan kalau aku tak sedang meninggalkan mereka.
setelah selesai aku keluar lagi dari kamar. mama dab amalia maisih duduk di depan televisi, amalia berdiri menghampiriku.
“kamu mau kemana rio..?”
tanya amalia agak kuatir.
“kamu tenang saja mel, aku kan bisa jaga diri… salam sama si kecil nantinya ya, oh ya mel kalau anak kamu lahir andaikan lelaki, boleh kan aku minta dikasih nama faisal…”
“memangnya kamu mau kemana rio.. kamu kok ngomongnya aneh kayak gitu sih..”
amalia terlihat panik.
“nanti aku kasih tau, sekarang aku belum tau mau kemana, tapi aku tak kan kenapa kenapa, jangan kuatir ya mel.. jaga diri baik baik..”
“kamu serius mau pergi dari sini rio, pertimbangkan lagi, bagaimana dengan kuliahmu, sayang kan setahun lagi kamu udah selesai..”
“jangan pikirkan masalah itu aku yakin bisa mengatasinya kok mel..”
kataku biar amel tak kuatir lagi.
mama menghampiri kami.
“sudahlan mel, paling kalau dia kelaparan akan balik lagi.. memang anak yang susah diurusi..”
timpal mama ketus.
aku diam saja walaupun dalam hati sakit sekali mendengar kata kata mama, biarlah waktu yang akan membuktikan apakah aku akan kembali lagi kesini.
“mel tolong kasih sama mama..”
aku memberikan kunci mobil sama amalia, sesaat amalia bengong seolah tak percaya, namun aku segera menjejalkan kunci itu ditangannya.
tanpa menoleh lagi aku meninggalkan mama dan amel, aku masih sempat mendengar amel memohon pada mama untuk memaafkanku.
*********
aku kembali kerumah sakit untuk melihat keadaan rian, ia sudah bangun. perawat sedang membersihkan tubuhnya. melihat kedatanganku rian nampak senang.
“sudah suster biar temanku saja yang melanjutkan… suster bisa pergi sekarang..”
ujar rian agak risih.
suster itu mengangguk dan meletakkan handuk putih basah ke dalam wadah stenlis yang berisi air hangat, suster itu permisi lalu keluar.
aku menghampiri rian dan melanjutkan tugas suster itu.
“kalau begini biarlah aku sakit terus, kan ada kamu yang merawatku..”
ujar rian senang.
“hus…. nggak boleh ngomong gitu yan, namanya sakit itu nggak enak..”
“tapi kapan lagi aku bisa diperhatikan seperti ini.. rasanya sakitku jadi tak ada rasanya kalau ada kamu..”
aku cuma bisa tersenyum walaupun dalam hati aku sebenarnya menangis. aku membayangkan bagaimana reaksi rian jika ia tahu kalau aku akan meninggalkan dia dan palembang, sebetulnya aku tak tega.. namun aku juga tak bisa memaksakan diri untuk tetap tinggal disini. aku akan menunggu rian tidur baru pergi. aku akan menyelesaikan urusan administrasi setelah itu baru aku bisa tenang.
andainya nanti kami masih ada umur panjang pasti kan bertemu lagi, aku tak mungkin pamit padanya karena ia akan melarangku pergi. satu satunya yang aku beritahukan nanti hanya kak fairuz.
“kamu tadi udah makan rian?”
tanyaku sambil mengusap lengannya dengan handuk basah.
“sudah rio, cuma rasanya selangkanganku masih sakit, kalau dibawa bergerak agak nyeri..”
rian mengeluh sambil memegang bagian selangkangannya hati hati, aku jadi terenyuh. kenapa aku harus menyebabkan rian mengalami hal seperti ini. kalau saja kami berdua bisa menyikapi hubungan kami dengan lebih dewasa selama ini mungkin tak akan sampai ada kejadian begini.
“kamu sabar ya ya, insya Allah pasti sembuh da kamu juga bisa melakukan apa saja yang kamu mau…”
“tapi kalau aku tak begini mungkin kamu yang sudah jadi korban..”
“namanya juga musibah, kita takkan bisa menghindarinya…makanya lain kali jangan hanya menuruti emosi saja, aku benar benar takut waktu itu yan.. aku serasa tak mengenali kamu…”
“aku kalap yo, entah setan apa yang merasukiku waktu itu, aku juga sangat menyesal.. kalau waktu dapat aku putar aku ingin sekali membahagiakanmu…tolong beri aku kesempatan, aku janji akan bersikap lebih baik untukmu..”
rian memegangi tanganku perlahan, aku menunduk tak menjawab, aku tak tega mengatakan apa yang ada dalam hatiku saat ini, karena akan menyakitkan bagi kami berdua.
“jangan pikirkan itu dulu yan, kamu harus banyak istirahat ya…aku ingin liat kamu ceria… kalau memang kita bisa bersama, aku juga akan terima..”
aku kebingungan mencari kata yang tepat, namun rupanya cukup manjur untuk membuat rian lebih tenang.
selesai membasuh tubuh rian aku menaruh wadah berisi air dan handuk dibawah ranjang, aku masih mengobrol dengan rian hingga beberapa jam sampai rian tertidur.
setelah aku rasa ia sudah cukup terlelap, aku beringsut perlahan meninggalkan rian dengan hati hati agar tak menimbulkan suara. aku mau kebagian administrasi. aku menanyakan berapa jumlah biaya yang harus aku bayarkan agar aku dapat memastikan berapa aku harus menarik uang. setela mendapatkan info aku langsung meninggalkan rumah sakit.
aku mengambil hp dan menelpon kak fairuz. tak berapa lama lansung dijawab. aku meminta kak fairuz menemuiku dihotel tempat mamanya menginap. setelah kak fairuz menyetujui, aku langsung menewa taksi menuju ke hotel.
**********
“jadi kamu sudah bulat mau pulang ke bangka nak, tapi kenapa…?”
tanya tante lina kecewa.
“aku tak punya alasan lagi untuk tetap bertahan disini.. walaupun aku memaks, keadaan akan jadi buruk, aku serasa berdiri diatas kerikil kalau tinggal di rumah..”
“tapi kan mama sudah bilang kalau kamu boleh ikut mama ke jakarta, kamu bisa tinggal bersama mama sebagai anak mama…”
tante lina berharap.
“aku janji ma, nanti aku akan menemui mama di jakarta.. tapi saat ini aku juga sangat kangen sama emak, sudah lama sekali aku tak bertemu emak, aku ingin memastikan keadaan emak..”
“kalau memang itu alasanmu mama tak dapat melarang lagi, tapi kamu harus selalu ingat kalau mama selalu ada buat kamu.. kapanpun kamu butuh mama, jangan segan segan untuk menghubungi mama, sebenarnya mama sangat sedih harus berpisah denganmu, entah kenapa dari awal mama bertemu kamu rasanya mama langsung menyayangimu seakan kamu adalah anak mama..”
air mata tante lina mengalir membasahi pipinya yang tanpa bedak. entah bagaimana aku tiba tiba langsung membaringkan kepala dipangkuan tante lina. dengan sedikit kaget tante lina mengusap rambutku dengan kasih sayangbagaikan seorang ibu.
“mama hanya bisa berdoa agar kamu selalu dijaga oleh yang maha kuasa, mama pasti akan sangat merindukan kamu nak..”
“aku juga ma, akan sangat merindukan mama… aku juga sudah menganggap mama bagaikan ibu kandungku sendiri..”
“terimakasih nak, mama sangat menghargainya… sering seringlah menghubungi mama, ajak mama main ke bangka karena jujur mama belum pernah kesana, katanya pantai dibangka bagus bagus ya?”
“pasti ma, aku akan mengajak mama ke kampung halamanku di bangka.. mama akan aku ajak berkeliling ke tempat yang indah indah disana..”
aku kembali menegakkan badan, baru saja aku mau berdiri terdengar pintu diketuk. aku yakin itu pasti kak fairuz, aku membuka pintunya dengan segera. ternyata benar kak fairuz. ia langsung masuk danmenghampiri mamanya lalu menciumi tangan mamanya.
aku menceritakan pada kak fairuz tentang rencana kepergianku ke bangka besok. wajah kak fairuz langsung berubah jadi bengong seakan tak percaya. namun aku memastikan padanya kalau aku tak main main, aku memang telah memutuskan dengan mantap kalau aku akan tetap meninggalkan palembang apapun yang terjadi.
setelah aku berikan pengertian baru kak fairuz dapat menerimanya.
“tapi adek kan sudah terbiasa hidup kecukupan, apa nantinya adek bisa membiasakan diri dengan kehidupan yang sederhana?”
tanya kak fairuz agak kuatir, mendengarnya kau hanya tersenyum dan berkata.
“kak aku kan lahir hingga tumbuh remaja dalam keadaan kekurangan namun aku bahagia, jujur kak aku malah kurang siap dengan kehidupan yang terlalu mudah seperti sekarang, memang dengan banyak uang banyak hal yang bisa aku atasi dengan lebih mudah, namun aku juga telah belajar kalau punya uang bukan jaminan hidup lebih bahagia… kakak jangan kuatir, aku sangat terbiasa sekali kehidupan sederhana… aku kangen masa lalu sewaktu di bangka..”
aku memastikan dengan semangat, kak fairuz tertawa dan menemplak kepalaku pelan tanda sayang seorang kakak.
“kalau begitu kakak dukung apapun itu, yang penting kamu bahagia menjalaninya, kapan kapan kakak janji pasti akan main kesana, kamu jaga diri baik baik..”
nasehat kak fairuz.
“iya kak , pasti itu, kakak juga jaga diri baik baik ya, jaga amalia dan bayinya, karena kakak adalah calon ayah bagi bayi yang ada di kandungannya..”
kak fairuz mengangguk dengan mantap.
aku mengajak kak fairuz cari tempat yang agak aman dari pendengaran mamanya karena ada hal yang ingin aku sampaikan pada kak fairuz.
“ada apa dek..?”
tanya kak fairuz setelah kami berada di luar.
“aku mau mengembalikan uang kakak yang aku pinjam, kebetulan aku sudah ada uang dari papa…”
aku memberikan amplop berisi uang pada kak fairuz, namun reaksinya sangat membuat aku kaget. ia menndorong tanganku pelan mengembalikan amplop itu.
“ambil buat kamu dek, kakak tak berniat pinjamkan itu, kakak memang sengaja kasih untuk adek, kakak yakin adek akan sangat membutuhkannya nanti..”
“tak apa apa kak aku…”
“sudahlah dek terima saja, kakak akan sangat kecewa kalau adek tak mau menerima pemberian kakak, demi Allah kakak ikhlas dek, tolong terima itu, karena kakak ingin adek menganggap kakak orang yang sangat berarti bagi adek, meskipun rasa cinta kakak tak terbalas biarkan kakak melakukan satu hal yang berarti bagi kakak…”
mata kak fairuz berkaca kaca saat mengatakannya.
“terima kasih banyak kak, aku sangat menyayangi kakak, aku berusaha tak mencintai kakak karena aku ingin menganggap kakak adalah kakak kandungku, biarlah kita jangan menodai hal itu, mungkin ini lebih baik, kakak sekarang telah ada amalia, bahagiakan dia kak, aku yakin kakak juga akan bahagia bersamanya…”
“awalnya kakak memang menikahi amalia demi menyelamatkan adek dari keharusan untuk menikahinya, namun seiring waktu kakak sadar kalau amalia adalah perempuan yang sangat mudah untuk siapa saja mencintainya… namun adek juga akan selalu ada di hati kakak..”
aku tersentak mendengar pengakuan kak fairuz, ternyata begitu besarnya rasa sayang kak fairuz padaku hingga ia rela berkorban demi aku, entah bagaimana aku dapat membalasnya, semua terasa begitu singkat, aku menyadari sekali dalam kehidupan selalu ada pertemuan dan perpisahan. namun kita harus ikhlas dan sabar karena segala sesuatu yang dijalani dengan ikhlas akan menjadi lebih indah pada saatnya nanti.
“kakak juga akan selalu ada di hatiku, kakak dan almarhum adalah dua orang kakak lelaki yang sangat aku dambakan selama ini, kalian telah membuat aku merasakan betapa indahnya memiliki kakak lelaki…”
aku memeluk kak fairuz. ia membalasnya dan menciumi keningku seakan tak mau melepaskannya lagi.
“kak ada satu lagi, aku mau menitipkan uang biaya rumah sakit untuk rian, tolong nanti kakak urus, dan jangan katakan padanya kemana aku pergi, bilang saja kau pergi ke jakarta, bandung, jogja atau kemanapun juga boleh… aku mau menenangkan diri di bangka, kalau ia tau pasti ia akan segera menyusulku…”
aku menatap mata kak fairuz meminta agar ia mau mengerti.
“baiklah dek kakak akan urus, tapi mengenai uang pembayaran rumah sakit akan kakak pastikan biar mama yang bayar nantinya, adek harus bisa pulang ke bangka dengan tenang, adek bahagiakan emak, belilah apa yang emak adek sukai, yang lain lain adek jangan pikirkan… kakak akan mengaturnya..”
ujar kak fairuz penuh pengertian.
“kalau begitu lebih baik menurut kakak ya aku tak masalah, cuma andaikan nanti kakak tak dapat uang dari mamam, jangan segan segan hubungi aku, aku akan kirim uangnya..”
“jangan kuatir, kamu persiapkan diri saja karena besok kamu mau pergi, kakak akan pastikan mama dan siapapun tak tau kemana adek pergi..”
“terimakasih kak, sekarang aku mau kerumah papa, aku mau bicara sama papa..”
“apa adek mau bilang kalau adek mau ke bangka…?”
tanya kak fairuz lagi.
“iya kak, aku yakin papa bisa jaga rahasia ini..”
“kakak percaya adek tau apa yang adek lakukan..”
kak fairuz memegang bahuku.
“kalau begitu aku pergi dulu, aku mau pamit dulu sama mama kakak…”
aku kembali masuk ke kamar, kak fairuz mengikutiku. aku pamit sama tante lina. kami berpelukan dan bertangisan bersama. hatiku rasanya begitu hampa. hal ini kembali mengingatkanku saat aku meninggalkan emak dulu. tuhan memang punya rencana.
*********
apa aku tak salah lihat, ada mobil mama terpakir dengan tenang dibawah kanopi depan rumah papa. aku meminta sopir taksi untuk menunggu. dengan agak penasaran aku menghampiri pintu ruang tamunya.
“memang kalau dari bibit yang tidak bagus maka buahnya juga akan busuk…begitulah kelakuan anak kamu itu vin..!”
suara mam terdengar jelas bahkan walaupun aku baru didepan pintu.
“tapi dia kan anak kamu juga mega, kenapa kamu eolah menimpakan semua kesalahan padaku…?”
suara papa bernada kebingungan.
“kalau tau akan begini jadinya menyesal aku membawanya kesini… aku sudah banyak berharap padanya.. namun dia begitu saja menghancurkan semuanya..”
aku mengintip dari pintu, aku mengurungkan niat masuk, aku mau mendengar apa yang mau mama katakan, biar emuanya jelas dan alasanku untuk meninggalkannya lebih pasti.
“kalau punya anak di hitung untung rugi ya memang begitu, dari awal kamu juga yang tak bisa mendidiknya, kamu tinggalkan dia begitu saja seolah dia barang yang bisa kamu perlakukan seenak hati kamu, ketika kamu butuh, kamu ambil lagi dan saat kamu pikir dia tak bisa menuruti keinginan kamu seenaknya kamu buang lagi..!”
papa kelihatannya sudah agak emosi.
“kalau kamu tau betapa aku menyayanginya selama ini kamu tak akan bicara sembarangan, cukup kasih sayang yang aku berikan namun apa balasannya hanya kecewa saja… aku pikir nantinya dia dapat membentuk keluarga dan memberiku cucu.. namun sekarang itu cuma mimpi… hukuman apa yang tuhan timpakan padaku hingga punya anak seperti itu, aku benar benar kecewa…!”
“kalau ia menjadi seperti itu tak ada yang dapat disalahkan, aku sendiri kecewa.. tapi mau bagaimana lagi, itu adalah takdir dia, kita belum pernah menanyakan apa yang merisaukan dia… mustahil segala terjadi tanpa sebab akibat..”
aku merasa agak lega ternyata papa membelaku.
“makanya aku bilang tadi kalau bibitnya tak bagus, kamu liat kan bagaimana keluarga kamu bisa tercerai berai, mama kamu, kakak kamu juga… aku tak heran rio seperti itu, aku sekarang yang kena imbasnya..”
“kamu jangan menjelek jelekan keluargaku, aku tak pernah menjelekkan keluargamu… meskipun selama ini aku juga tak sefaham dengan mereka namun aku tutup mulut…!”
papa jadi tersinggung. aku belum pernah bertemu keluarga papa selain mamanya koko, namun sejauh yang aku tau mereka sangat baik.
“memangnya ada apa dengan keluargaku, kamu jangan mengada ada.. siapa yang sok penting, sok kaya, sok mau dapat menantu dari kalangan berada, kalau saja aku masih bisa bertemu mereka sekarang, sudah aku lemparkan uang satu karung ke muka mama kamu itu…!”
mama makin berapi api.
“kalau saja kamu bisa mengambil hati mama, tak mungkin mama tak menerimamu, namun aku dengar sendiri dari andreas kalau kamu juga sering melawan kalau mama minta tolong, kalau saja aku mendengarnya dari mama mungkin aku masih tak percaya, namun andreas yang masih sekolah dasar waktu itu mengatakan ia lihat sendiri kamu memaki mamaku… apakah aku masih harus percaya kata katamu..”
“andreas pasti sudah dicuci otaknya sama keluargamu itu..”
jerit mama kesal.
“cukup mega, kalau kamu tak mau mengurus rio, kamu tak usah begitu.. masih ada aku yang akan mengurusnya… dimana mana seorang ibu bisa menerima kekurangan anaknya, kamu aneh..!”
balas papa tak kalah sengit.
“takkan ku ijinkan kamu, aku sedang mau memberi pelajaran padanya agar ia mau menyadari perbuatnnya itu salah.. kamu tak berhak mengasuhnya, kamu pria tak bertanggung jawab..!”
“jangan lupa aku adalah papanya..!”
teriak papa kesal.
“ya kamu hanya sekedar papanya saja, tapi yang mengandungnya kan aku, yang merasakan bagaimana sakitnya melahirkan itu aku, kamu jauga tak pernah memberikan nafkah padanya, kalau aku katakan kamu tak punya hak aku benar..!”
mama tak mau kalah.
“hahaha.. lucu, perempuan selalu mengatakan mereka yang paling berhak mengasuh anaknya meskipun sudah terbukti kalau mereka gagal, kamu yang mengandungnya, tapi ingat kalau bukan karena benih dariku kamu bisa mengandung ya, memangnya kamu wanita pilihan seperti siti maryam, tanpa lelaki bisa hamil… jangan egois, pakai otak kamu…!”
papa meninju meja hingga vas bunga yang ada diatasnya jatuh terguling dan hancur.
aku sudah tak tahan lagi, semakin mendengarnya, aku jadi semakin tak berarti. papa dan mama saling menyalahkan dan itu semua aku penyebabnya, karena aku terlahir sebagai seorang lelaki yang mencintai sesama lelaki.
“dimana rio sekarang, kalau terjadi apa apa padanya aku berjanji kamu tak akan dapat bertemu lagi dengannya selamanya..”
ancam papa.
“aku juga tak tau dia dimana, sejak kejadian itu dia pergi dari rumah tanpa aku usir juga, ya meskipun aku memang berniat menyuruhnya pergi, mungkin dia sadar tak ada tempat dirumahku untuk orang yang seperti itu.”
mama tak tau kalau selama ini bukan hanya aku dan om sebastian saja yang seperti itu yang tinggal dirumah, namun odie dan juga kak fairuz, kalau saja mama tau aku bisa bayangkan bagaimana reaksi mama.
memang benar ternyata kalau kita begitu membenci sesuatu maka secara tak sadar justru kita dikelilingi oleh hal yang kita benci itu. semakin kita menolak maka akan semakin banyak, semakin dihindari malah akan smakin menghampiri, itu yang sekarang terjadi pada mama.
“sudah cukup pa, ma… kalian tak perlu berdebat lagi, aku memang salah..!”
aku memberanikan diri memutus pertengkaran mereka. papa dan mama menoleh dengan kaget kepadaku.
nah kebetulan itu ada rio datang, jadi kita bisa jernihkan masalah sekarang juga, aku juga sudah terlalu capek bertengkar terus tiap ketemu kamu mega..”
papa terlihat senang melihatku, tidak dengan mama.
“apalagi yang harus dijernihkan, aku malas tiap melihatnya, rasa kecewaku makin bertambah…!”
mama mendengus.
“pa.. aku hanya mau berterimakasih karena papa sudah mau mengerti aku, mungkin papa tak tau bagaimana yang aku rasakan… aku juga tak mau seperti ini.. aku juga lelah..”
papa dan mama diam mendengarkan aku.
“aku tau bagaimana rasa kecewa kalian padaku tak bisa seperti yang kalian harapkan.. tapi kalian juga harus tau tak ada niat sedikitpun membuat kalian kecewa..”
“sudahlah jangan terlalu bertele tele, kalau kamu cuma mau memberikan pengertian sama mama agar bisa memahami perbuatan kamu, itu akan percuma..”
mama memotong kata kataku dengan tak sabar.
“kalau mau kecewa, mungkin aku juga bisa kecewa… namun aku bisa bersabar selama ini, aku terima apapun yang mama atur untuk aku meskipun hatiku tak terima, tapi kali ini kau tak akan meminta siapapun untuk mengerti aku, terus terang saja aku sudah tak perduli lagi karena inilah hidupku.. mau suka atau tidak akulah yang menjalaninya…”
aku memberanikan diri menumpahkan apa yang selama ini aku rasakan, aku tak akan membuat mama berpikir kalau aku akan menuruti apapun yang mama mau lagi, aku sudah dewasa sekarang, aku punya hak menentukan apa yang aku anggap terbaik bagiku.
“rio, sudahlah.. papa mengerti apa yang kamu inginkan, papa sudah bilang kalau papa ingin jadi papa yang bisa kamu percayai.. kamu bisa ikut papa kalau kamu merasa tak nyaman tinggal sama mama kamu..”
ujar papa seolah tak mengindahkan ucapanku tadi.
“e..e…e… apa yang kamu bilang, seenaknya saja kamu mau membawa rio kesini, aku tak akan ijnkan, kemana saja kamu selama ini datang datang mau seenaknya saja..”
semprot mama ketus pada papa.
“cukup ma… aku tak mau kalian ribut, aku cuma mau bilang aku tak akan tinggal dengan salah satu dari kalian, aku mau mandiri sekarang..”
“apa kamu yakin bisa mandiri.. uang saja masih minta..”
sembur mama.
“jaga bicaranya mama, dia itu anakmu..jangan membuat ia hilang rasa hormat padamu…”
peringat papa tajam.
“jangan mengajariku soal mendidik anak, rio saja butuh 21 tahun untuk bisa menerimamu…”
mama sepertinya memang ingin membuat papa sakit hati dengan ucapanya.
“itu karena aku baru bertemu dengannya setelah sekian lama akibat ulahmu dulu…”
ujar papa geram.
“papa aku minta maaf, aku tak bermaksud mengabaikan papa, aku cuma ingin bilang kalau aku ingin sendiri dulu..”
aku menatap papa meminta agar ia bisa mengerti, aku sudah tak mungkin berada di sini, terlalu banyak hal yang memalukan bagiku yang tak akan mudah hilang begitu saja, aku tak berani bertemu dengan tante laras, tante sukma dan yang lain
“sudahlah alvin kalau memang maunya anak kamu seperti itu kenapa lagi kamu mau memaksa..!”
balas mama tanpa perasaan. itu cukup membuat papa jadi terdiam.
aku menghampiri papa lalu memeluknya, dengan agak heran papa balas memelukku.
“ada apa nak..?”
bisik papa sedikit curiga.
“nggak pa, cuma mau bilang kalau aku sangat menyayangi papa..”
jawabku tanpa menghiraukan mama yang berjengit melihat kami seolah kami berdua adalah hantu.
“kamu bisa tinggal bersama papa kalau kamu merasa tak nyaman dengan mama kamu nak..”
papa berharap.
“nanti ada saatnya pa, tolong biarkan aku memilih yang aku mau, aku janji tak akan melupakan papa..”
“memeangnya kamu mau kemana nak, kamu kan masih kuliah dan belum kerja…?”
papa jadi kuatir.
“aku bisa jaga diri pa, kalau aku tinggal disini, pasti mama tak akan berhenti mengganggu ku, aku hanya ingin ketenangan sekarang..”
“baiklah, kalau kamu ada masalah atau apa, jangan segan segan menghubungi papa atau datang kesini… papa akan membantumu sebisa papa..”
“terimakasih pa, sekarang aku mau pergi dulu…teman sudah menunggu, tak enak udah malam..”
papa mengangguk. aku meninggalkan rumah papa tanpa menoleh pada mama lagi, aku tak mau melihat wajahnya yang hanya akan selalu sinis padaku.
*********
“dari mana sja seharian yo, bikin aku cemas saja…”
ujar rizal saat melihatku datang.
“dari tempat papaku zal, oh ya.. aku mau berterimakasih padamu yang sudah mau mengijinkan aku menginap beberapa hari disini, besok aku mau pergi, tapi kamu jangan kasih tau sama siapapun ya zal…”
aku rasa rizal bisa untuk aku percayai.
“loh rio, memangnya ada apa sih… pakah masalah kamu terlalu besar hingga kamu harus pergi, memangnya kamu mau pergi kemana.. lalu bagaimana dengan keluargamu…?”
rizal jadi bingung denganku.
“nanti aku akan ceritakan apa masalahnya… sekarang aku mau brkemas dulu, soalnya besok aku harus pergi… aku tak punya banyak waktu lagi..”
“kenapa harus buru buru gitu sih rio…”
“entahlah, rasanya aku sudah tak tahan lagi lama lama berada disini…”
“kamu tak betah ya dirumahku?”
tanya rizal agak kecewa.
“bukan tak betah, cuma kau tak mau terlalu lama merepotkan kamu… selain itu aku tak mau kalau keluargaku mencariku disini dan kamu jadi terseret masalah karenaku, jadi biarkan aku pergi dulu, nanti aku akan telpon kamu.!”
aku berjalan ke kamar rizal, ia mengikutiku. tanpa menunggu lagi aku ambil ranselku, membereskan semua baju dan peralatanku.
“kamu mau kemana memangnya yo..?”
tanya rizal lagi masih penasaran.
“pulang ke bangka zal, tolong jangan kasih tau siapapun…kamu jaga rahasia ini..”
“apa… pulang ke bangka, untuk berapa lama rio, dan kenapa harus mendadak..”
rizal nyaris berteriak karena kagetnya.
“sepertinya untuk selamanya, aku harus meninggalkan palembang..”
“tapi…. aku harus bilang apa sama adikku rio, aku terlanjur berjanji padanya kalau aku akan bikin kalian berdua jadi kekasih..”
gumam rizal lemas tak bersemangat.
“kamu itu lagi, suka janji yang nggak nggak, lagian kenapa sih kamu itu mau maunya adikmu jadi pacar orang kayak aku ini..!”
jawabku sambil terus memasukkan bajuku dalam ransel.
“ya, karena kamu orang yang baik… aku sudah lama mengenal kamu rio.. aku tau kamu pantas dijadikan iparku, hehehe… apa yang kurang sama adikku sampai kamu tak mau yo, apa ia kurang cantik..?”
tanya rizal penasaran.
“karena aku gay zal..!”
aku berbalik menghadap rizal.
“kamu….”
rizal tak meneruskan kata katanya saking terkejutnya mendengar pengakuanku.
“terimakasih untuk semuanya zal… aku pergi dulu.”
aku meninggalkan rizal yang masih bengong
AWAN DI LANGIT BANGKA

aku menghentikan kendaraan umum yang lewat di depan rumah rizal, lalu aku minta antar ke hotel tempat tante lina menginap. ku sms kak fairuz agar ia datang menemuiku disana.
aku mau minta ditemani cari oleh oleh buat emak dan ayuk ayukku di bangka, aku sudah tak sabar lagi ingin bertemu dengan mereka, aku sudah sangat kangen. aku membayangkan nanti bagaimana pertemuan kami setelah sekian tahun tak bertemu, apakah emak masih seperti dulu. masihkah ia bikin kue, apakah ayukku semakin cantik sekarang, bagaimana rupa ponakanku anak yuk yanti. tubuhku bergetar memikirkan itu, aku sangat ingin melihat mereka.
setelah sampai didepan hotel aku turun dan membayar ongkos, aku langsung menuju ke kamar tante lina.
saat aku datang, tante lina sedang menonton tv, ia mengecilkan volume televisinya dan mengobrol denganku. tak lama kemudian kak fairuz datang bersama amalia.
tanpa menunggu lagi aku mengajak kak fairuz ke supermarket ditemani tante lina dan amalia.
tante lina banyak membantuku memilih baju yang akan kuberikan untuk mama dan ayuk ayukku, tentu saja ukurannya pun masih mengira ngira. hampir dua jam kami berkeliling membeli bermacam macam barang yang akan aku bawa bagi keluargaku di bangka.
kak fairuz dan amalia berdua mencari peralatan untuk anak mereka yang akan lahir nanti, sebenarnya kak fairuz belum mau tapi tadi waktu kami lewat di depan toko yang menjual perlengkapan bayi, amalia langsung tertarik dan mengajak kak fairuz masuk ke toko itu. aku dan tante lina meneruskan mencari barang barang lain.
tak aku sangka sangka aku dan tante lina bertemu mama di dekat rak bagian kebutuhan rumah tangga. begitu melihat aku, mama tak dapat menyembunyikan kekagetannya. serta merta ia menghampiri kami. aku tadi sudah berusaha menarik tangan tante lina agar menghindar sebelum mama sempat melihat kami, namun entah kenapa tante lina tak mau sepertinya ia memang sengaja mau mama melihat kami.
“apa yang kalian berdua lakukan disini?”
tanya mama dengan suara bergetar.
“belanja, kamu bisa liat sendiri kan, memangnya menurut kamu kenapa orang datang ke toko… mau nyuci..?”
jawab tante lina dengan tenang.
sepertinya mama semakin bertambah emosi mendengar jawaban tante lina.
“e…e.. ditanya baik baik malah kurang ajar, pantas saja kelakuan rio jadi seperti ini, aku memang sudah yakin kamu yang mempengaruhinya.. tolong ya lina kalau kamu memang benci padaku, jangan anakku yang kamu jadikan senjata untuk kamu membalaskan dendammu padaku..!”
tuduh mama tanpa berpikir, aku jadi tak enak hati sama tante lina, gara gara aku malah ia yang dijadikan kambing hitam sama mama.
“oh ya, masa sih… rasanya tak ada yang janggal dengan rio, atau kamu saja yang terlalu ketakutan hingga kamu menuduh aku macam macam..”
jawab tante lina tenang tanpa gentar sedikitpun.
“kamu memang memuakkan lina, masih punya muka kamu menunggu di sini, bang harlan sudah tak perduli lagi sama kamu, hanya perempuan tua yang tak menarik lagi, jangan kamu kira dengan kamu menunggu lama disini, kamu bisa bertemu dengan SUAMIKU, kamu jangan pernah bermimpi..!”
“benarkah itu, apa kamu yakin mega.. ah.. apa aku perduli, tentu saja tidak, aku kesini kan karena kota ini masih milik negara ini, kamu belum terlalu kaya untuk memilikinya dan melarangku masuk kesini… jadi aku rasa kamu tak perlu berlebihan, kapanpun, berapa lamapun aku mau datang kesini. itu adalah hak aku..”
tantang tante lina sinis hingga membuat mama semakin marah.
“memang tak ada yang melarang kamu datang kesini, tapi aku melarang kamu dekati keluargaku, aku punya hak melarang kamu untuk itu, kamu boleh mondar mandir kesini semaumu, tapi jangan kamu dekati rumahku, apalagi mencoba dekati anakku..!”
“loh katanya tadi kamu bilang anak dan suamimu tak akan mau mendekatiku, apa sekarang kamu sudah bisa berpikir dengan jernih, jangan pernah bicara sembarangan kalau kamu tak mau akan jadi penyesalan bagimu nantinya, aku tak pernah cari masalah dari awal, aku rasa kamulah yang terlalu paranoid…”
tante lina tersenyum mengejek.
“sudah lah ma, jangan bertengkar, ini tempat umum.. malu kalau sampai orang pada tau..”
aku menarik tangan tante lina agar mau menjauh dari mama.
mendengar aku memanggil tante lina dengan sebutan mama, agaknya mama sangat kaget sekali.
“kamu memanggil dia mama?”
ujar mama berang sambil memelototiku.
“iya, aku kayaknya lebih pantas sebagai mamanya ketimbang kamu, rio juga sudah menganggap aku mamanya, jadi tolong jangan bikin keadaan jadi sulit bagimu, kita sudah sama sama tua sekarang, tak ada lagi gunanya saling menyikut, apa kamu mau apa yang telah kamu perjuangkan selama ini hilang hanya karena kesombongamu.. jadi lebih baik kamu tinggalkan saja kami disini dengan tenang..”
“kamu pikir kamu bisa tenang setelah kamu menyakiti hatiku seperti ini..”
ancam mama kesal.
“mau melakukan apa mega, kamu mengancamku.. aku bukan perempuan bodoh seperti dulu, kamu ingat itu.. tak akan pernah dua kali kamu bisa melakukan hal yang sama padaku, kamu juga harus catat itu, jaga suami kamu baik baik.. dia dirumah sakit sekarang dan kamu berkeliaran disini.. kalau tak sanggup menjaganya kamu bilang saja..”
tante lina menatap mama dengan sinis.
“kurang ajar mulut kamu lina, jangan pernah mengurusi yang bukan urusan kamu..”
mama mengangkat tangannya seolah ingin menampar tante lina namun dengan sigap aku menangkap tangan mama sebelum sempat menyentuh pipi tante lina. tanpa bergerak untuk menepis atau menghindar tante lina terus menantang mata mama.
“sekali kamu menyakitiku lagi aku pastikan kamu akan menyesalinya seumur hidup.. pegang kata kataku ini..”
“tante lina menarik tanganku dan membawaku menjauh dari mama. aku mengikuti tante lina.
mama masih memanggilku namun aku tak indahkan sama sekali.
aku harus kuat, mama hanya ingin melihat aku jauh dari tante lina, bukan berarti mama mau memaafkan dan menerimaku. aku merasa nyaman dengan tante lina, ia sangat baik padaku. aku tak mau membuat tante lina kecewa, dia telah membelaku dalam keadaan sulitku.
didepan toko aku bertemu dengan amalia dan kak fairuz sepertinya mereka telah selesai berbelanja. kami pulang bersama sama menuju ke hotel. tante lina mengajak aku menginap di hotel. aku merasa tak enak kalau harus menolaknya, tapi aku juga harus kembali kerumah sakit untuk memastikan keadaan rian, aku ingin menghabiskan waktu bersamanya.
setelah mendengar alasanku akhirnya tante lina bisa mengerti, namun ia meminta agar aku mengijinkannya mengantarku ke bandara besok. aku tentunya sangat senang sekalikalau ia memang mau mengantar keberangkatanku ke bandara. kak fairuz dan amalia juga sangat antusias ingin ikut mengantarkanku.
rasanya sangat terharu. disaat ini masih ada yang mendukungku, aku memang butuh keluarga yang selalu mendampingiku bukan hanya ingin menuntut kesempurnaan saja dariku.
setelah berpamitan aku langsung pergi, karena kak fairuz dan amalia juga mau pulang maka mereka mengajak aku ikut dengan mereka saja langsung ke rumah sakit karena kak fairuz sekalian mau jaga papa malam ini.
kak fairuz mengantarkan amalia ke rumah, aku tak turun dari mobil karena tak mau ketahuan sama mama. tak lama kemudian kak fairuz keluar lagi dan mengajakku kerumah sakit.
kami berpisah di lorong rumah sakit, ruangan papa dan rian agak jauh karena papa diruangan vip dan rian di kamar kelas. aku tak mampu kalau menempatkan rian di vip yang mahal.
rian sedang baring waktu aku masuk, ia agak cemberut melihatku, astaga aku jadi tak tega padanya, baru sebentar saja kau takdatang ia sudah kesal, bagaimana kalau aku tinggalkan besok dan tak kembali lagi, aku tak berani membayangkannya. tapi aku tak ada jalan lain lagi. aku terpaksa melakukan ini.
“kok lama sekali perginya, aku bete nungguin dari tadi..”
langsung saja protes keluar dari mulutnya.
“iya maaf soalnya banyak urusan yang harus aku selesaikan, yang penting sekarang aku ada disini kan…”
“ya tapi kan aku bete banget nungguin kamu dari tadi, kamu sih nggak ngerasain gimana rasanya terbaring disini tak bisa kemana mana..”
“iya, aku ngerti, tapi kamu juga harus ngerti kalau aku lagi ada urusan juga..”
“kamu udah makan belum rio..?”
tanya rian sambil mencoba bergeser duduk namun nampaknya ia sangat kesusahan melakukan itu.
“masih terasa sakit ya?”
tanyaku prihatin.
“iya yo, apalagi kalau aku mau buang air, selang kateter ini sangat tak nyaman rasanya, agak mengganjal, aku kesal, pengen nyabutnya..!”
rian cemberut.
“ya sudah tahan aja, kalau di cabut nanti malah bikin kamu lebih susah buang air..”
“untung aja nggak putus ya rio, aku takut sekali kalau sampai putus, kamu pasti akan meninggalkan aku lagi kalau itu terjadi…aku akan hancur..”
rian bergidik membayangkan kemungkinan itu.
aku diam tak menjawab, aku kasihan sebenarnya sama rian, tapi kalau kami meneruskan hubungan ini, aku tak dapat menjamin kalau kami tak akan ada masalah lagi, aku takut nanti malah akan semakin parah dengan karakter kami berdua yang berbeda terlalu jauh ini. dia tak tau kalau besok tak akan pernah bertemu aku lagi. aku harus menahan rasa iba demi kebaikan kami berdua.
“rio aku pengen mencium kamu…”
rian agak berbisik. justru permintaan itu semakin membuat aku kalut, bagaimana mungkin aku menciumnya, bisa bisa rian akan semakin sakit kalau aku pergi. meski terasa berat aku menggelengkan kepala.
“tidak rian.. kita tak usah berciuman lagi, kita jadi sahabat saja seperti dulu, bukannya persahabatan itu lebih indah, tak ada kebencian serta cemburu.. kita akan lebih bisa menerima keadaan masing masing..”
“tapi kenapa rio, aku mau lebih dari seorang sahabat bagimu, aku mau kita seperti dulu, aku ingin memilikimu dan kau jadi milikku..”
rian menatapku terus hingga aku tak kuasa menatap matanya yang terlalu tajam menusuk seolah mau membaca apa yang ada dalam hatiku.
“kita sudah menjalani lebih dari sekedar sahabat dan kita gagal, aku nyaris kau bunuh dan kamu berakhir disini, realistis saja.. kita tak sefaham, aku dan kamu tak bisa saling memahami lagi sebagai kekasih, daripada nantinya akan lebih parah, anggap saja ini satu pelajaran bagi kita kalau hubungan yang tak dilandasi pengertian serta kesetiaan hanya akan menyakiti saja..”
aku memalingkan muka menghindari tatapan matanya.
“aku kira kamu mau memulai lagi denganku setelah melihat perhatianmu tadi, rupanya kamu masih berkeras meninggalkan aku, tapi kenapa yo, apa kamu sudah begitu jera padaku hingga tak mau lagi berikan kesempatan padaku, aku berjanji demi apapun kalau aku akan berubah demi kamu, demi kita…aku tak siap kalau harus kehilangan kamu, aku sangat menyayangi kamu rio.. aku sayang kamu..”
rian menangkap tanganku dan meremasnya dengan kuat seakan takut aku meninggalkannya saat ini juga.
“aku yakin kamu mampu tanpa aku, toh selama ini kamu juga tak selalu bersamaku terus, kamu bisa menjalaninya, kalau kita terus memaksakan diri yang ada kita hanya akan semakin terluka, sudahlah rian kamu harus menerimanya, jangan pernah lagi lakukan sesuatu yang bodoh,andai kali ini kamu mau bunuh aku lagi aku tak akan melawan, kamu bunuh saja asalkan kamu puas..
aku menarik tanganku dari genggaman rian, aku harus jujur dari pada semuanya akan bertambah semakin runyam, aku ingin pergi bukan sebagai kekasih rian lagi, aku akan lebih tenang.
“kamu tak kasihan padaku rio, kamu hanya memikirkan diri sendiri saja..kamu tak perduli yang aku rasakan, aku yang sakit rio, bukan kamu.. mungkin kamu akan mudah nya carikan penggantiku, tapi tidak denganku, aku bukan siapa siapa yang selalu ditaksir banyak orang, kamu yang selama ini membuat aku jadi lebih bersemangat, namum kamu juga yang akan membuat aku kehilangan semangat… kasihani aku rio, aku berjanji akan berubah, aku akan memahami apapun yang kamu lakukan… aku akan menuruti apapun kemauan kamu, aku tak akan marah tanpa sebab, aku tak akan memukuli kamu lagi, aku akan bersabar, aku juga maafkan semua kesalahan kamu, aku akan berusaha jadi yang terbaik bagimu, semua akan aku lakukan demi kamu, asal kamu mau berikan kesempatan kedua padaku, bukannya putus nyambung sudah biasa dalam suatu hubungan, tapi banyak pasangan yang berhasil melewati segala masalah antara mereka setelah adanya konflik, masa kamu mau satu hubungan yang sempurna… aku kan hanya seorang manusia yang tak bisa lepas dari khilaf, kalau kamu berjanji aka menerimaku lagi maka aku juga akan menepati janji berubah lebih baik…”
rian meratap dengan panik, aku tau kalau rian serius dengan kata katanya, aku tau ia tak bohong, api aku juga tak akan bisa mendustai perasaan kalau aku sekarang sudah merasa agak tawar padanya, aku tak mau mendustai hatiku, semuanya sudah sangat terlambat bagi kami berdua, kak fairuz pun ak akan membiarkan aku lagi pacaran dengan rian, saat ini aku masih diijinkan bertemu dengan rian adalah semata mata karena kak fairuz tau kalau besok aku tak akan bertemu rian lagi.
“kamu istirahat saja dulu, jangan paksa aku menerimamu secepat ini, jujur aku masih takut padamu, alasan aku masih mau menemui mu saat ini hanya karena aku tau kamu tak dapat berbuat macam macam lagi, kamu tak bisa berdiri, jadi aku tak merasa terancam lagi, kamu tau rian, aku sangat trauma dengan kejadian kemarin… kalau kamu berpikir kamu pasti mengerti..”
“tapi rio aku kan sudah menyesali semuanya, aku sudah minta maaf apa itu belum cukup bagimu, tolong katakan aku harus melakukan apalagi agar aku dapat memilikimu lagi, jangan buat segala harapanku hilang, sakit rasanya rio.. aku tak ada lagi semangat kalau kamu tak lagi bersamaku, kamu tega membuangku hanya karena kamu sudah ada yang lain, apa berlebihan kalau aku mempertahankan cintaku.. apa aku salah kalau aku tak ingin kamu dengan orang lain karena aku juga tak mau dengan siapapun selain kamu, apa aku harus mencium telapak kakimu agar aku dapat merasakan cintamu lagi…”
rian menangis tersedu sedu bagaikan seorang anak kecil yang kehilangan ibunya. aku mengusap airmata rian dengan jariku, aku bisa mengerti apa yang ia rasakan saat ini, aku memang jahat telah membuatnya menangis, tapi aku tak mau membuatnya terlalu merasa kehilangan besok, aku tak mau membuat dia tambah menderita karena bagaimanapun aku akan tetap meninggalkannya meskipun kami melanjutkan hubungan kami ini.
“segala sesuatu yang terpaksa itu tak baik rian, cinta satu arah hanya akan membuat kedua pihak sakit, aku tak mencintaimu lagi walaupun kamu berubah, aku sudah kehilangan rasa itu, semua orang yang baru kehilangan kekasih pasti akan bilang kalau tak ada yang lain akan membuat dia bisa mencinta, tapi hanya waktu yang dapat membuktikan kalau kata kata itu salah, pada satu hari kamu pasti akan dapatkan pengganti yang lebih baik segalanya dariku, saat itu kamu akan menyadari kalau hubungan kita memang tak bahagia dan kau akan mensyukurinya karena semua ini telah berakhir, percayalah kalau apa yang aku katakan ini benar…”
“tapi aku akan perlu waktu lama sebelum masa itu tiba, tolong katakan padaku apa yang harus aku lakukan selama aku menunggu waktu itu.. aku takut aku tak mampu menunggunya. aku takut saat melalui itu aku sudah keburu tak tahan… aku tau ini karena akulah yang paling mengerti dengan hatiku.. hanya kamu yang hatiku inginkan bukan siapapun, aku tau cinta kita janggal, tak akan ada yang setuju, namun ijinkan aku menikmatinya hanya agar aku merasakan hidupku ada artinya, agar kekurangan ini tak terlalu jadi beban hati… karena hidupku sangat berat untuk djalani, masalahku banyak… hanya kamu satu satunya semangat disaat aku jatuh terpuruk… segala bebanku jadi tak ada artinya karena aku sadar memilikimu, satu satunya yang aku inginkan dalam hatiku.. disetiap waktuku yang tak berharga.. aku sendirian disini rio, saat saat membosankan di kost membuat aku semangat karena aku tau akan ada kamu datang menemuiku walaupun aku tak tau jam berapa dan kapan, karena aku tau kamu akan menemuiku, kamu pasti tak tau setiap hari yang aku lakukan hanyalah menunggumu, hingga aku hafal dengan deru mobilmu, aku melirik jendela hampir setiap waktu sambil berharap melihat kamu datang dengan senyuman yang hanya untukku.. kamu tak menyadari jam jam yang membosankan saat aku sendirian langsung terobati hanya dengan melihat kamu datang.. jadi katakan apa yang aku lakukan kalau aku sendirian, aku takut dengan kesepian itu rio, aku takut tak mendengar deru mobilmu, aku takut kehilangan senyum yang hanya untukku itu, aku takut kalau besok besok aku tak ada lagi yang akan di tunggu, tolong katakan bagaimana aku dapat menjalani itu, aku tak sanggup…”
rian menangis sambil memelukku. aku memeluk rian hanya sekedar agar ia lebih tabah saja.
“aku yakin kamu pasti sanggup kok, yang penting kamu ada niat melupakannya itu tak akan sulit, anggap saja kamu sudah berhasil membunuhku dan saat ini aku sudah mati, jad kau tak akan terus mengingatku, kalaupun kamu mau mengingatnya, ingatlah yang buruk buruk saja agar kamu jadi hilang rasa…”
“aku mohon sekali lagi jangan keras hati rio, kamu tak akan dapat yang seperti aku lagi, hanya aku yang dapat mencintaimu sebesar ini… kamu tak akan dapat yang seperti aku lagi..”
mungkin karena saking takutnya aku pergi, rian jadi mengatakan itu.
“tak ada dua manusia yang sama sifatnya di dunia ini rian, termasuk kembar identik pun, jadi kalaupun aku mendapatkan penggantimu nantinya, aku tak akan membandingkan denganmu…aku terima segala kekurangannya, karena tak ada cinta yang sempurna, hanya kita lah yang dapat menjadikan cinta itu sempurna bagi diri sendiri dengan tak menyakiti dan keikhlasan menerima apapun kekurangan dari kekasih, selama ini aku tak mendapatkan itu… aku ingin memulai dengan yang baru dan perasaan yang lebih tenang, kalau kita mencintai seseorang artinya kita ingin orang yang kita cintai bahagia, tak perduli siapa yang akan jadi pendampingnya, dan aku tak bahagia saat menjalani cinta denganmu… kamu bukan cinta padaku tapi kamu hanya ingin memiliki ku bagi dirimu sendiri, kalau kamu cinta tak akan tega membunuh orang yang ia cintai..”
aku melepaskan pelukanku, rian malah semakin mempereratnya hingga aku kesulitan untuk menjauh, aku sudah tak sanggup lagi, kalau terlalu lama seperti ini aku pasti akan luluh karena sejujurnya aku masih menyayangi rian.
“sudah malam sekarang yan, kamu harus banyak istirahat agar cepat sembuh…”
rian menggeleng dengan airmata yang masih mengalir melalui kedua kelopak matanya. ia berbaring lagi dan memejamkan mata, aku tau ia tak tidur karena aku lihat matanya agak mengerjap meskipun terpejam. aku kasihan sekali padanya, bagaimana aku dapat menyakiti hatinya disaat dia sedang terbaring kesakitan seperti ini.
aku menarik tempat duduk agak dekat di tempat tidur, lalu aku membaringkan kepalaku disisi rian. kami berdua diam dengan pikiran masing masing, kalau saja aku menuruti kata hati pastilah saat ini aku sudah mencium rian sepuasnya. aku ingat kembali kenangan saat pertama kali aku mengenalnya, dia adalah pemuda paling tampan yang pernah aku lihat seumur hidupku waktu itu, saat mamanya membeli kue padaku, rian yang sedang memakai baju sekolah SMP melihatku dengan agak heran, mungkin dia bingung seorang anak yang dekil sepertiku masih sempat jualan kue sebelum sekolah.
hari hari yang kami lalui saaat aku mulai mengenalnya, pada awalnya aku sempat mengira kalau rian sombong, ia bergaul dengan anak anak orang kaya sama seperti dirinya juga, aku tak ada keberanian untuk menegurnya karena merasa ia tak akan mau berteman dengan anak miskin sepertiku. tapi dugaanku salah, aku malah semakin akrab dengannya. sahabatku waktu itu hanya dodi dan erwan bertambah dengan hadirnya rian.
kami bertiga, aku, rian, dan erwan jadi akrab dan sering bersama… malah mereka sering main kerumahku meskipun rumahku kecil dan hanya terbuat dari papan yang agak lapuk, saat aku harus pergi karena aku diambil mama, rian dan aku berjalan bersama disubuh hari yang sama dengan keberangkatanku ke palembang, ia menciumku di jalan setapak yang penuh ilalang tinggi saat matahari pagi terbit.
ia juga menandai aku sebagai pacarnya, sempat aku mengira kalau ia hanya main main saja, namun ia membuktikannya dengan menyusulku ke palembang, ia membuktikan kata katanya, amun ia harus kecewa karena aku sudah berhubungan dengan om sebastian, tak sampai disitu perjuangan rian, ia menerimaku dengan lapang dada saat om sebastian mencampakanku dengan menikahi tante sukma.
memang hubungan kami sering diwarnai ketegangan karena cemburunya yang terlalu berlebihan namun rian tak sekalipun menghianatiku, justru aku yang menghianatinya lagi dengan berselingkuh lagi sama om sebastian, itulah awal masalahku dimulai… aku telah dihukum atas dosaku. aku tak pantas bagi rian, aku tak setia. jalan yang terbaik hanya membiarkan dia cari yang lain yang akan menjaganya lebih baik dariku. rian pantas bahagia.
aku merasakan tangan rian membelai rambutku perlahan seolah takut aku bangun. mungkin ia mengira aku telah tertidur, aku mendengar isakan tertahan dan tangan rian yang gemetar. airmataku mengalir karena aku bisa membayangkan neraka yang aku dirikan diatas kaki rian jika besok ia terbangun dan tak melihatku lagi. mungkin ia akan mengira aku pergi sebentar lalu dia akan menungguku sedangkan itu hanya sia sia.
orang seperti apa aku ini hingga untuk mengucapkan selamat berpisah saja begitu beratnya. maafkan aku rian, semoga kamu bisa melalui semua ini, aku yakin kamu lebih kuat dari yang kamu sadari.
*********
aku tak tau kapan aku mulai tidur namun saat aku terbangun aku mendapati tangan rian masih berada di pipiku, aku melirik jam di dinding ternyata baru pukul lima pagi, rupanya aku tertidur selama tiga jam.
aku bergeser perlahan agar rian tak terganggu, ia tidur sangat pulas. aku melihat ada obat diatas meja dan infus rian kembali penuh, apakah tadi perawat masuk kesini dan pergi lagi karena kami masih tidur, aku harus menemui kak fairuz sekarang. mumpung rian masih terlelap kalau tidak ia akan tau kalau aku mau pergi. aku pandangi wajah rian yang dalam tidurnya seperti agak murung, entah mimpi apa dia sekarang, aku jadi semakin tak tega.
aku harus kuat, kalau aku iba seperti ini aku tak akan bisa pulang ke bangka. walaupun ini hanya akan membuat kami berdua sakit.
perlahan aku membungkuk menciumi bibir rian untuk yang terakhir kali. tidurlah yang nyenyak…. seoga kamu bisa melalui semua ini.. selamat tinggal kekasih. rian seperti agak bergumam waktu bibirku menyentuh bibirnya.
aku keluar dan menutup pintu pelan pelan
“tuh pesawat tujuan pangkalpinang akan segera berangkat, lebih baik kamu masuk dulu sana..”
kak fairuz mengingatkanku, tante lina dan amalia yang ikut mengantarku berdiri disamping kak fairuz sambil membantuku membawa barang barang, amalia juga sudah membereskan beberapa baju dan celanaku untuk aku bawa pulang ke bangka. aku sangat berterimakasih atas inisiatifnya itu.
“aku pamit dulu ya ma, kak, mel…!”
“iya sayang semoga tak terjadi apa apa dan allah selalu melindungi kamu anakku…”
tante lina merengkuhku lalu memelukku dengan erat seolah aku memang anaknya.
“sudahlah ma, nanti kita akan ke bangka main kerumahnya rio…”
kak fairuz memegang pundak mamanya, tapi aku lihat mata kak fairuz juga berkaca kaca.
“kak makasih ya atas semua bantuan kakak, aku minta tetap rahasiakan ini dari mama, biarlah mama menganggap aku masih disini biar aku bisa lebih tenang…”
kataku sambil menyalami kak fairuz.
“tenang aja dek, kakak akan rahasiakan ini, lagian setelah papa keluar dari rumah sakit kan kakak mau pulang ke jakarta, jadi tante mega tak akan banyak tanya lagi..”
kak fairuz meyakinkanku.
“salam sama ibu kamu ya rio..”
ujar amalia terisak saat aku menyalaminya. aku mengangguk dan tersenyum pada amalia.
“salam juga sama ibu kamu mel, makasih banyak ya untuk semua bantuan kamu juga, aku hanya bisa doakan semoga segalanya lancar, yang akur ya sama kak fairuz, jangan suka berantem.. aku juga mau lihat keponakanku nanti..”
“iya rio..”
amalia tersipu malu mendengarnya.
setelah selesai berpamitan aku masuk ke ruangan tunggu penumpang menjalani pemerikasaan tas dan barang barang bawaanku, tak sampai setengah jam aku menunggu sebelum pesawat berangkat. aku melambai kepada tante lina, kak fairuz dan amalia dari kaca ruang tunggu. setelah itu aku berjalan menuju ke pesawat bersama para penumpang lainnya. dadaku bergemuruh tak menentu, antara haru, sedih dan merasa bebas. aku masuk dalam pesawat lalu diantar pramugari ke kursiku seperti yang tertulis di tiket, posisinya bagian depan tepat disamping jendela hinggga bisa leluasa melihat awan yang berarak di baliknya.
“mau kemana rio…?”
suara yang rasanya sangat aku kenal menyapaku dari belakang, aku menoleh dan terbelalak karena kaget tak menyangka akan bertemu dia disini.
“papa sendiri mau kemana, kok bisa ada di sini sih..”
aku balik bertanya saking kagetnya.
“maaf, papa tak kasih tau kamu dulu, tapi papa yang minta fairuz agar tak memberitahumu karena papa takut kamu akan pergi ke lain..”
papa duduk di kursi tepat di belakangku.
“papa mau kemana?”
aku mengulangi lagi pertanyaanku.
“mau memastikan kamu tiba di bangka dengan selamat, kamu anak papa.. dan papa tak mau terjadi apa apa sama kamu..”
“tapi kan aku ada keluarga di bangka pa, aku pasti akan baik baik saja..”
“iya papa mengerti, tapi papa cuma kuatir saja sama kamu, kenapa hal seperti ini harus terjadi rio, andai saja kamu mau tinggal sama papa..”
percakapan kami terhenti karena pramugari menginstruksi semua penumpang agar memakai sabuk pengaman karena pesawat mau lepas landas sekarang.
aku duduk ditempatku dan memejamkan mata hingga pesawat mulai terbang. setelah kurasa pesawat sudah mengambang dengan stabil diudara baru aku membuka mataku.
aku menoleh ke belakang melihat papa yang sedang melihat awan yang berarak dari balik jendela. seperti menyadari kalau aku sedang memperhatikannya, papa memalingkan wajahnya ke aku.
“ada apa rio, kamu marah papa melakukan ini…?”
tanya papa agak kuatir.
“nggak pa, cuma aku tak mau merepotkan papa, semua adalah salahku, aku tak mau melibatkan papa, mama sangat marah pa, jangan sampai papa dapat masalah karena ini…”
aku menunduk, papa begitu baik dan pengertian.. meskipun ia tak mengatakannnya tapi aku tau kalau dalam hati papa sebenarnya kecewa padaku, anaknya menjadi seperti ini. orang tua mana yang tak sedih kalau anaknya berbeda dengan yang lain.
“papa tak memikirkan mamamu… ia hanyalah mantan isteri papa, tapi kamu lebih berarti bagi papa, kamu darah daging papa… apapun yang terjadi padamu juga salah papa, selama ini papa tak pernah ada untuk kamu sementara kamu masih membutuhkan, biarkan papa melakukan apa yang seharusnya jadi tugas papa, sebenarnya papa juga tak bisa lama ke bangka karena papa masih ada urusan yang harus papa selesaikan, biasalah masalah kerja.. yang penting sekarang papa hanya mau memastikan kalau kamu berada di tempat yang baik..”
ujar papa seolah ia yang bersalah bukan aku, itu membuat aku semakin merasa tak enak hati, andai saja papa bersikap seperti mama, mungkin aku tak akan merasa seperti saat ini.
“kamu jangan pernah menolak papa, kamu adalah anak papa, dalam keadaan apapun papa akan membantumu.. bagaimanapun keadaanmu papa hanya bisa menerima karena kamu adalah titipan yang diatas, kalau papa mengabaikanmu maka papa akan berdosa sekali..”
suara papa menyiratkan kesedihan yang sangat terasa.
“aku tak pantas papa bela, meskipun aku anak papa tapi aku sudah dewasa, segala perbuatanku adalah atas kesalahanku sendiri karena ku sudah bisa berpikir, papa tak harus merasa selalu bersalah atas apa yang aku lakukan..”
aku berbicara dengan pelan karena tak ingin penumpang yang lain mendengarku.
“nanti kita bahas lagi kalau kita sudah sampai di bangka, sekaligus papa juga mau kenal sama emak kamu lebih dekat, papa hanya pernah bertemu dia sekali dan papa tau kalau ia adalah orang yang baik, papa tak kuatir kalau kamu diasuh olehnya..”
akutak mengatakan apa apa lagi, untung saja penerbangan ini tak memakan waktu lama, tak sampai satu jam kami sudah tiba di pangkalpinang. setelah pesawat mendarat dan berhenti aku dan papa turun bersama para penumpang. papa langsung menelpon seseorang agar menjemputnya.
“sekalian papa yang antar kerumahmu, sebenarnya papa sering kesini dalam urusan bisnis, jadi papa akan sering kesini untuk bertemu kamu, papa malah senang karena kamu memilih pulang kebangka, itu artinya papa akan bisa sering bertemu kamu kapanpun papa inginkan tanpa harus kuatir sama mama kamu…”
kata papa sambil mengajak ku berjalan menuju ruang tunggu.
“aku tak menyangka kalau papa tau rencana kepulanganku ke bangka, aku tak mau membuat papa kecewa..”
“saat fairuz bilang sama papa kalau kamu mau kabur, memang papa agak kaget mendengarnya, tapi papa tau kamu juga tak mungkin melakukannya dengan senang hati, makanya papa sangat berterimakasih sama kakak tiri kamu itu, ia sangat perduli sama kamu.. ia ingin yang terbaik untuk kamu..”
“kak fairuz memang begitu pa, ia sangat banyak membantuku.. aku begitu berhutang budi padanya.”
aku mengambil tas dan bawaanku yang lain, bersama papa kami keluar dari ruang tunggu dan duduk di depan bandara pangkalpinang yang lucunya baru kali ini aku lihat seumur hidupku.
tak beberapa kemudian mobil yang menjemput kami telah tiba, papa menyuruhku masuk sementara segala barang bawaanku ditaruh dalam bagasi dengan di bantu oleh supir.
“papa sudah lupa dimana rumah emak kamu nak, soalnya waktu papa kesana sudah sangat lama sekali..”
aku kurang konsen mendengar papa karena saat ini aku sedang mengamati tanah kelahiranku ini. ada beberapa perubahan namun aku masih sangat kenal sekali dengan jalan jalan yang ada disini, tak terlalu banyak juga sih perubahannya, cuma jalanan agak lebar dan licin saja. selebihnya tak ada yang berubah.
entah mengapa rasa haru seakan membuncah dalam dadaku saat aku menyusuri jalanan yang sangat akrab bagiku di masa lalu ini. mataku tak lepas lepas memadang ke kiri kanan jalanan yang sekarang banyak di bangun ruko bertingkat, sentuhan kota sudah agak terasa meskipun tak semegah kota palembang.
aku melewati jalan di sekolah yang pernah menjadi impianku untuk bersekolah disitu kalau aku tamat smp, namun keadaan membuat aku harus pergi dan bersekolah di tempat yang tak sedikitpun aku bayangkan akan bersekolah disana.
jantungku berdebar debar saat kami mulai memasuki kawasan yang dekat dengan rumahku tinggal, namun karena jalanan menuju rumahku sekarang sudah banyak di bangun rumah baru, jadinya mobil kami tak bisa masuk, terpaksa mobil kami parkir agak jauh dari rumahku
Aku menyusuri jalan yang pernah sangat akrab bagiku, jalan tanah merah yang dulu ditumbuhi rumput dan lalang di kiri kanannya ini sekarang sudah diaspal.
“masih jauh nggak rio?” papa bertanya dengan nafas yang agak tersengal. “sabar itu udah dekat kok..!”
jawabku sambil menunjuk lurus ke depan. Rasanya tak percaya menginjakkan lagi kaki ditanah kelahiranku ini. Menghirup udara yang akrab denganku dari aku kecil hingga beranjak remaja. Aku sudah tak sabar lagi ingin melihat emak, aku sangat kangen sama emak. Bertahun tahun tak bertemu emak membuat aku ingin melepaskan rindu yang menyeruak dalam batinku.
Aku menggeleng gelengkan kepala melihat keadaan yang sudah begitu berubah semenjak aku tinggalkan. Sudah banyak rumah rumah baru dibangun hingga agak padat. Aku jadi sedikit bingung dengan jalan menuju rumahku. Kalau terkenang dengan perlakuan mama kemarin, betapa aku sangat kecewa.
Aku tak menyangka ia akan bertindak sejauh itu hanya karena tidak menerima keadaanku. Sakit rasanya terusir dengan cara yang memalukan. Tapi biarlah, mungkin itu memang sudah jadi jalan hidupku. Aku masih punya emak. Aku masih punya harapan.
Akhirnya kami telah sampai di depan rumahku. Aku tercengang melihat rumahku yang dulu hanya sebuah gubuk kecil berdinding kulit kayu sekarang berganti dengan bangunan tembok permanen dan lebih besar dari rumah dulu. Dengan tak sabar aku turun dari mobil.
Seorang perempuan sedang memotong bunga mawar dengan gunting. Aku sangat mengenali perempuan itu, meskipun sekarang telah lebih dewasa dan sedikit gemuk namun aku tak kan lupa.
“yuk yanti…!”
desisku sambil menghampiri ayukku itu. Perlahan ia menoleh dan berbalik. Ia menatapku ragu namun cuma sesaat kemudian mulutnya langsung ternganga seolah tak percaya.
“ri.. Rio.. Kamu kah itu dek?”
air mata yuk yanti langsung merebak.
“iya yuk.. Iya.. Aku rio..”
suaraku jadi parau saking haru yang kurasakan saat ini. Tiba tiba yuk yanti menghambur memelukku.
“adikku.. Kamu sudah kembali.. Ayuk kangen sekali dik, kenapa kamu baru pulang sekarang..!”
yuk yanti menangis karena terharu, akibatnya aku juga jadi ikut ikutan menangis, hangatnya pelukan yuk yanti membuat bebanku sedikit terangkat.
“jadi ini ya ayuk kamu yang selama ini mengurusi kamu dari bayi..?”
papa menyela, aku jadi tersadar kalau aku kesini bersama papa.
“yuk ini papa kandungku, kenalan dulu yuk..”
aku melepaskan pelukanku, yuk yanti buru buru menghapus airmatanya dan menjabat tangan papa dengan ramah.
“wajah kalian sangat mirip sekali, tak salah lagi aku bisa melihat kalau bapak ini papanya rio.. aku yanti ayuknya rio.. silahkan masuk pak..”
yuk yanti mengajak papa masuk ke dalam rumah. aku mengajak papa masuk agar papa tak sungkan.
keadaan dalam rumah sudah berbeda, meskipun tak mewah namun sudah ada kursi tamu yang berbeda dengan waktu aku tinggalkan dulu. aku menyuruh papa duduk sementara yuk yanti berteriak dengan heboh memanggil emak.
aku mengitari pandangan ke seluruh ruangan, jadi yuk yanti masih tinggal disini setelah menikah, rumah tak bertambah besar, masih seperti dulu juga, namun sekarang atap tak lagi bocor karena sudah diganti dengan asbes, dinding yang dulu papan kini berganti dengan tembok. lantai semen yang sekarang sudah tak bolong bolong lagi.
“jangan bikin emak jantungan yanti, kamu itu jangan mimpi di siang bolong, mana mungkin adik kamu mau pulang lagi kerumah kita yang sempit ini, sekarang dia sudah banyak uang dan hidup nyaman.. emak tak mau terlalu berharap lagi, kamu jangan membuat emak sedih nak, butuh waktu lama bagi emak agar bisa lupakan adik kamu…”
emak mengomeli yuk yanti sambil berjalan menuju ruang tamu, aku langsung berdiri… mendengar suara emak rasanya kau mau menangis, ya Allah akhirnya aku mendengar lagi suara yang sudah lama tak aku dengarkan itu, suara yang setiap hari dari aku bangun tidur hingga tidur lagi tak pernah absen mengisi masa masa aku hingga beranjak remaja. suara yang sangat aku rindukan.
“mana yanti..”
suara emak langsung berhenti saat melihatku sedang berdiri dan tersenyum padanya.
“emak…”
aku menghambur ke emak tanpa bisa aku tahan lagi.
emak menangis sambil mendekapku erat erat. aku bisa merasakan detak jantung emak yang bergemuruh karena diakibatkan kerinduan yang sudah terlalu mendalam. emak menangis tersedu sedu, demikian juga yuk tina dan yuk yanti.
suasana yang dulu pernah aku rasakan saat aku pergi meninggalkan mereka seolah terulang lagi namun dengan situasi yang berbeda. hari ini aku kembali bersama mereka.
“kamu sudah dewasa sekarang nak.. ya Allah….. anakku, emak rindu nak.. rindu sekali…”
nafas emak tersengal sengal seolah lelah habis bekerja keras.
“emak juga udah berubah mak, tuh aku liat ada uban… emak udah jadi nenek nenek sekarang..he..he..”
aku mencoba bercanda agar suasana tak terlalu tegang. namun apa daya aku juga tak bisa menahan airmataku. aku memang sangat merindukan emak. aku merasa berdosa telah meninggalkan emak bertahun tahun.
“kamu gagah sekali anakku… kayak bintang film yang di tipi itu yang saban malem emak tonton..”
emak tak dapat menutupi perasaan bangganya.
“siapa dulu mak.. kan anak emak..”
tiba tiba emak terdiam, ia mengamatiku dari kaki hingga kepalaku dengan cermat.
“kamu pucat nak.. kamu sakit ya?”
ia bertanya dengan kuatir.
aku terdiam, naluri emak memang tajam, dia selalu tahu kalau ada yang tidak beres denganku.
“rio ayuk akan masak makanan kesukaanmu.. udang.. ayuk akan beli udang yang besar besar.. sekarang ayuk bisa belikanmu itu..ayuk sudah kerja dek..”
yuk tina mengusap airmatanya dengan punggung tangan.
“tak usah repot repot yuk..”
aku menghampiri yuk tina dan memeluknya melepas kerinduan padanya.
“itu siapa rio..?”
tanya emak sambil melihat om alvin.
“itu papaku mak, dia yang menemaniku kesini, apa emak sudah lupa, dulu katanya papa pernah datang kesini menemui emak waktu mama meninggalkan aku disini..”
aku memberi kode pada papa agar menyalami emak.
papa langsung berdiri dan menyalami emak.
“iya saya ingat sekarang, dulu kamu pernah datang kemari tapi sudah sangat lama sekali, saya minta maaf karena sudah berbohong waktu itu…”
“sudahlah kak, tak apa apa, saya mengerti kenapa kakak melakukannya, saya justru berterimakasih karena sudah merawat anakku dengan baik selama ini, jadi jangan lagi ungkit hal hal yang tak perlu, aku juga ingin menitipkan rio sama kakak, katanya ia mau tinggal bersama kakak lagi disini..”
emak nampaknya agak terkejut mendengar kata kata papa, emak menoleh ke aku dengan mulut ternganga seolah tak yakin dengan apa yang ia dengar.
“iya mak, boleh kan kalau rio kembali tinggal sama emak…?”
aku menatap emak dengan penuh harap, aku takut kalau emak tak mau lagi menerimaku disini karena aku sudah meninggalkannya sekian lama.
“tapi bagaimana dngan mamamu, apakah dia akan mengijinkan kalau kamu tinggal disini, bukannya kamu sudah enak tinggal sama mama kamu..?”
tanya emak agak heran. aku menunduk, sepertinya aku harus menceritakan segalanya sama emak agar emak bisa memahami kenapa aku kembali lagi kesini, yang aku takutkan bagaimana nanti reaksi emak kalau ia tahu aku seperti apa, mama yang jarang sholat saja tak bisa menerima, apalagi emak yang sangat taat beribadah, apakah emak akan menerimanya, karena berdasarkan agama, mencintai sesama jenis tentu saja di larang.
aku mendengar suara guruh berderu diatas langit, suasana jadi agak gelap karena langit tertutup oleh awan mendung, sepertinya sebentar lagi akan turun hujan.
“yanti, sepertinya mau hujan, padahal sekarang kan lagi musim kemarau, pertanda apakah ini..?”
emak bertanya pada yuk yanti dengan heran.
“iya mak.. padahal sudah tiga bulan ini musim kemarau, seharusnya kan sekarang belum hujan, apakah ini pertanda akan ada berkah bagi kita, mak liat sendiri sekarang rio sudah ada disini…”
seru yuk yanti bersemangat.
aku terdiam sambil berpikir, hujan turun ditengah kemarau, sebetulnya ada pertanda apakah ini, betulkah ini suatu berkah, ataukah ada pertanda lainnya bagiku, entahlah aku tak berani menduga duganya, saat ini aku harus bersiap agar aku kuat menerima keputusan emak. aku sangat menyayangi emak, andaikan aku diijinkan kembali kesini, aku ingin membahagiakan emak
BERJUMPA SAHABAT LAMA
“ada apa sebenarnya ini nak, kenapa kamu mau kembali lagi kesini, apakah kamu ada masalah, bukannya selama ini kamu sudah tenang di palembang bersama keluarga kamu yang sesungguhnya, kamu tau sendiri bagaimana kalau tinggal di sini, soalnya emak tak punya apa apa, emak takut nanti kamu yang sudah terbiasa dengan kemewahan jadi menderita disini..”ujar emak murung. namun aku bisa merasakan kalau sebenarnya emak masih menyayangiku seperti dulu.
“mak, aku tak masalah tanpa kemewahan, aku kangen masa masa aku masih tinggal sama sama emak disini, kalau emak mengijinkan aku mau kembali lagi kesini mak, apa emak keberatan karena sekarang aku sudah dewasa, aku bisa kok bantu bantu emak seperti dulu…aku sayang sama emak..”
rasanya sedih sekali saat mengatakan ini, mengapa aku harus bagaikan orang asing saat ini.
“kalau emak sih tak pernah keberatan kalau kamu mau balik kesini, cuma emak tak menyangka kalau kamu mau tinggal disini lagi, emak senang mendengarnya, cuma itu tadi yang bikin emak kuatir, bagaimana dengan mama kamu nak, apakah ia sudah mengijinkan kamu tinggal disini..?”
tanya emak agak ragu, apakah emak takut kalau mama akan datang dan membuat masalah lagi disini, kalau itu yang jadi masalahnya aku bisa memahami ketakutan emak, karena aku sendiri pun sudah tau bagaimana sikap mama.
“aku diusir dari rumah mak, mama tak mengijinkan aku tinggal dirumah lagi, jadi aku memutuskan kembali kesini, sebenarnya papa menyuruhku tinggal dengannya, tapi aku memilih pulang kesini karena aku ingin tinggal bersama emak, mama sendiri tak tau kalau aku pulang ke bangka mak..”
aku menjelaskan pada emak dan berharap emak mau mengerti. nampaknya emak agak kebingungan juga mendengarnya.
“kalau memang begitu tinggalah disini lagi, pintu rumah ini selalu terbuka bagi kamu anakku, karena bagi emak kamu tetap anak emak, yang setiap hari emak rindukan.. selamat datang kembali nak…”
seiring kata kata emak itu, hujan turun dengan derasnya bagaikan langsung dikucurkan dari langit. aku memeluk emak erat erat. emak membelai rambutku. sementara itu papa, yuk tina dan yuk yanti hanya memandang kami dengan terharu.
“oh ya rio, bagaimana dengan kuliah kamu, apakah sekarang kamu sudah jadi seorang sarjana, wah selamat ya dek… ayuk sangat bangga sekali sama kamu… akhirnya ada juga yang jadi sarjana di keluarga kita..”
yuk tina nyeletuk senang. mendengar itu aku jadi terdiam, aku belum jadi sarjana, aku berhenti kuliah begitu saja.
“aku belum selesai kuliah yuk, aku berhenti..”
jawabku apa adanya.
“kok berhenti dek, sayang sekali kalau begitu, padahal ayuk kira kamu pulang karena kuliah kamu sudah selesai, kenapa kamu tak menyelesaikannya dulu sebelum pulang..”
suara yuk tina bernada kecewa. aku tak tau harus bagaimana, mungkin mereka akan mendengar hal lain yang akan membuat mereka makin kecewa, kalau hanya masalah kuliah itu bukan masalah besar karena aku masih bisa melanjutkan di bangka, aku yakin papa mau membiayaiku untuk itu, tapi kalau aku ceritakan apa yang menyebabkan mama membenciku, aku tak yakin kalau mereka akan menerimanya dengan lapang dada.
“ayuk tenang sajalah, kuliah kan bisa dimana saja, lagian kan aku masih bisa kuliah di bangka.. aku pasti akan kuliah lagi yuk, cuma saat sekarang ini aku mau tenang dulu, aku janji akan membuat kalian bangga..”
“iya, rio kam masih bisa kuliah disini, aku akan mengurusnya nanti, yang penting sekarang dia bisa menenangkan pikirannya dulu, kasihan dia sedang banyak beban pikiran..”
papa membantuku untuk menjelaskan. aku lihat wajah yuk tina kembali cerah.
“oh ya nyaris lupa bikin minuman buat kalian.. tunggu sebentar ya..”
yuk yanti nyengir sendiri sambil pergi ke dapur.
kami melanjutkan melepas kangen sembari menunggu hujan reda. yuk tina menyuguhkan kopi panas dan sepiring kue nagasari, kue yang sangat aku sukai, kue yang biasa aku makan dari aku masih kecil, rupanya emak masih membuat kue itu.
“tak tau ada angin apa semalam emak jadi pengen banget bikin kue nagasari, ternyata kamu datang nak, kamu pasti suka kan, seingat emak itulah kue kesukaan kamu dari dulu, tapi mungkin sekarang kamu sudah banyak makan yang enak enak.. jadi kamu tak suka lagi kue kampung kayak itu..”
emak memandangi kue itu bagaikan sedang menerawang masa lalu. mungkin emak sedang mengenang saat saat dulu yang pernah kami lalui bersama dengan bahagia.
“tentu saja rio masih suka mak, kadang kalau rio makan kue itu pasti emak yang langsung rio pikirkan..”
“kamu sekarang sudah begitu dewasa, makin putih sekarang, tadi emak nyaris pangling liat kamu..seakan tak percaya rasanya kamu ada di sini, setiap hari emak selalu berdoa untuk kamu agar kamu selalu dilindungi yang maha kuasa, emak juga berharap sekali bisa bertemu kamu lagi, namun emak tak menyangka setelah sekian lama doa emak dikabulkan Allah…”
“aku minta maaf mak baru bisa kembali sekarang, kadang aku memang mau pulang ke bangka, tapi aku mau menunggu setelah aku berhasil, namun ternyata hanya tinggal impian saja..”
aku mendesah.. memang kadang kenyataan tak seindah apa yang diimpikan.
“kamu bilang lagi ada masalah, memangnya apa masalah kamu nak, sepertinya berat kalau sampai mama kamu mengusirmu dari rumah, apakah kamu memakai obat obatan terlarang, soalnya emak liat kamu sangat pucat sekali seperti habis sakit..”
emak belum tau dengan bahuku yang luka karena masih aku tutupi dengan jaket, memang sih agak sulit untuk menggerakan tangan karena sekarang sudah agak bengkak mungkin lagi tahap penyembuhan.
“nggak kok mak, bukan itu masalahnya, rio juga nggak doyan sama obat obatan terlarang, nanti rio akan ceritakan..”
“ya sudah, tuh dimakan kue nya.. dik alvin juga silahkan diminum kopinya, maaf hanya ala kadarnya saja soalnya terlalu mendadak..”
emak menawari papa dengan ramah, papa mengambil cangkir diatas meja dan meminum isinya sedikit.
“kalian pasti belum makan ya, yanti lagi masak di dapur, tadi emak sudah masak sih, tapi tak banyak karena tak menyangka kalian akan datang kemari, tak apa kan kalau mak tinggal sebentar, lagian hujan masih deras kalian belum bisa kemana mana, emak mau masak yang banyak buat kamu dan papamu..”
“nggak usah repot repot kak, saya juga belum terlalu lapar kok, cuma kalau memang kakak masih ada yang mau dikerjakan tak masalah kok, saya bisa ngobrol sama rio..”
ujar papa dengan pengertian.
sementara menunggu emak dan ayuk ayukku menyiapkan makanan untuk kami, aku dan papa membahas bagaimana rencana untuk aku ke depannya nanti. rencananya papa menyuruh aku melanjutkan kuliahku di bangka saja, papa berjanji akan mengurus semuanya untukku.
papa juga mengatakan kalau kartu yang aku pegang bisa aku gunakan uangnya untuk kebutuhanku serta membantu emakku, papa tak keberatan karena papa memang ingin melakukan sesuatu yang bermanfaat untukku.
aku mengobrol dengan papa hingga emak memanggil untuk makan siang. aku mengajak papa ke dapur, aku melihat dapur yang sekarang sedikit agak besar ketimbang dulunya. meja dan kursi makan dari kayu telah berganti satu set kursi plastik warna putih dan meja kayu yang lebih baru.
tercium aroma yang sangat lezat, aku sudah tak sabar lagi mencicipi masakan emak yang sudah lama tak kurasakan. papa juga seperti antusias memandang isi diatas meja, masakan emak memang agak pedas ketimbang masakan bik tin di palembang.
emak masak sayur kacang panjang di lempah darat dengan cacahan ikan pari panggang, sambal terasi dengan lalapan ketimun, pepaya muda di rebus, daun singkong rebus dan juga ada udang di lempah kuning asam pedas.
aku dan papa makan dengan lahap hingga nambah lagi nasinya hingga dua piring. aku berdiri dari kursi dengan perut kenyang dan kepedasan, sudah lama aku tak makan sepuas ini.
kami berkumpul lagi diruang tamu dan mengobrol sambil menunggu hujan reda. emak banyak bercerita pada papa tentang masa kecilku, aku kadang tertawa karena malu, papa begitu antusias mendengarnya. diam diam aku memandangi wajah emak, ada guratan dan kerutan kerutan pada wajahnya yang sekarang.
saat hujan sudah reda, hari sudah agak sore. papa menelpon lagi temannya untuk minta di jemput lagi, kata papa besok dia mau balik lagi ke palembang.
“kapan papa mau ke sini lagi, kok cepat sekali pulangnya, nginap disini aja pa…”
“kapan kapan saja rio, soalnya besok banyak kerjaan.. papa janji kalau tak ada halangan minggu depan kesini lagi, jaga diri baik baik ya, jaga kesehatan kamu..”
papa menasehatiku sambil berdiri karena mobil yang menjemputnya sudah datang. aku mengantar papa sampai ke depan rumah. setelah papa pergi aku kembali masuk ke dalam bersama emak dan ayukku.
“kamar kamu sudah di beresin sama yanti tadi, emak memang sengaja tak memakai kamar itu karena emak berharap kamu akan kembali lagi kesini, semua barang barang kamu masih utuh di dalamnya, cuma mungkin kasurnya sudah jelek, nanti emak akan ke pasar untuk cari ganti yang agak bagus..”
“nggak apa apa mak, pakai kasur itu juga tak masalah mak, yang penting masih bisa tidur rio sudah sangat bersukur sekali..”
aku duduk di samping emak dan merapat, ingin bermanja lagi seperti dulu, kedua ayukku tersenyum melihat tingkahku.
“idiihh itu kan emakku, nggak malu ya nempel nempel gitu..!”
yuk tina menggodaku.
“enak aja.. ini emakku, biarin aja aku mau peluk emak juga, kan kangen sudah lama nggak ketemu emak.
“nggak usah dekat gitu nak, emak masih bau, belum mandi..tuh bau kamu harum sekali, pakai parfum apa sih.. emak suka sekali baunya..”
emak agak risih, aku jadi sedih kenapa emak masih saja agak sungkan padahal aku kan anaknya juga, emak tak tau kalau aku sangat kengen sekali dengan keringat emak, dulu waktu masih kecil aku sering menempel di punggung emak saat ia sedang memasak hanya untuk mencium keringat emak.
“oh ya mak aku bawa oleh oleh untuk emak juga loh..”
kataku baru ingat saking asiknya kangen kangenan.
“yaa… masak cuma untuk emak saja, untuk ayuk nggak ada dong..?”
yuk yanti pura pura protes membuat aku tertawa melihatnya, soalnya lucu melihat ia agak cemberut gitu,
“tenang aja yuk semuanya pasti kebagian, kalian pasti suka..”
aku berdiri mengambil barang barangku yang tadi ditaruh di sudut ruang tamu. banyak sekali hingga bertumpuk.
“ini untuk emak..”
kataku sambil membuka dus yang agak besar mengeluarkan bungkusan berisi beberapa gaun muslimah yang semalam aku beli di butik, baju yang sangat indah warna biru muda pucat dihiasi bordiran dari bahan sutera halus.
mata emak terbelalak seolah tak percaya gaun sebagus itu adalah miliknya.
“bagus sekali nak, pasti mahal ya..”
emak menyentuh gaun gaun itu dengan gemetaran. aku tau seumur hidup mama mungkin belum pernah memegang gaun seperti ini apalagi memilikinya.
“dibuka aja mak, siapa tau ada yang kurang pas nanti kita bawa ke tukang jahit untuk di rombak..”
dengan gemetaran emak membuka bungkusan plastik dan membentangkan gaun itu.
“ini masih ada mak, rio sengaja membeli beberapa untuk emak biar kalau ke pesta jadi lebih cantik..”
aku menyusun tumpukan gaun ke atas lantai di depan emak.
“subhanallah bagus bagusnya nak… kamu pasti menghabiskan banyak uang membelinya, emak tau ini sangat mahal sekali..”
ada kain songket juga mak, rio juga beli beberapa bahan pakaian untuk emak..”
aku senang sekali melihat emak yang nampaknya sangat bahagia, rasanya begitu terharu aku bisa membuat emak senang.
“oh ya untuk yuk tina dan yuk yanti juga ada kok.. ini yang dikotak..”
aku memberikan sebuah kotak pada yuk yanti dan satunya untuk yuk tina.
“makasih banyak ya dek..”
hampir serempak yuk tina dan yuk yanti mengatakannya. tanpa menunggu lagi mereka membuka kotak itu untuk melihat isinya.
mata yuk tina langsung terbelalak melihat sebuah baju pesta yang indah berwarna tosca, tubuh yuk tina yang proporsional pasti akan sangat cocok sekali memakainya. tak hanya gaun aku juga belikan jam tangan dan parfum juga aksesori untuk yuk tina dan yuk yanti.
“banyak sekali dek, astaga rasanya ayuk tak percaya..”
yuk yanti terbata bata.
“di kotak satunya aku bawakan juga oleh oleh untuk anak ayuk, oh ya dimana dia yuk kok aku nggak liat..?”
“tasi pagi adik suami ayuk mengambilnya, katanya neneknya kangen, nanti malam juga ia dijemput sama bapaknya..”
yuk yanti menjelaskan.
“suami ayuk kerja di mana yuk..?”
“bang hendri kerja sendiri buka tambang timah inkovensional coba coba join sama temannya dek, masih baru merintis sih, doakan saja semoga berhasil ya dek..”
harap yuk yanti. aku mengangguk sambil tersenyum pada yuk yanti.
“ayuk juga sudah kerja sekarang dek, sekertaris di sebuah SPBU, baru satu tahun sih..”
kata yuk yanti seolah tak sabar ingin megatakannya dari tadi.
“oh ya, selamat ya yuk, jadi sekarang emak tak perlu jualan lagi..”
“iya dek, tapi emak tuh.. udah di bilangin gak usah lagi bikin jualan masih aja bikin..padahal kan ayuk selalu kasih uang gaji untuk emak, belum lagi suami yuk yanti juga ikut bantu bantu, kita tak sesusah dulu dek walaupun kita juga belum terlalu senang, alhamdulillah selalu ada saja rejeki..”
jelas yuk tina panjang lebar.
“namanya juga sudah jadi kebiasaan, entah kenapa kalau tak bikin kue rasanya kasihan sama langganan kita yang udah biasa beli sama kita kadang bertanya kalau emak tak bikin kue..”
timpal emak sambil tetap mengagumi gaun gaun yang aku belikan untuknya.
“ya asalkan emak tak keliling kampung jualan kayak dulu..”
aku menatap emak.
“tidak nak, sekarang sudah ada yang jualin saban pagi keliling kampung, yang sudah biasa sering beli langsung dirumah, kadang ada yang pesan juga untuk acara arisan..”
emak menambahkan.
“hampir maghrib sekarang, aku mau mandi dulu ya..”
“iya dek, kita sholat bareng hari ini… ayuk kangen kita kumpul seperti ini, sebentar lagi bang hendri pulang, ayuk mau siapkan makan dulu ya..”
yuk yanti beranjak sambil membawa oleh oleh untuknya ke dalam kamar. aku masuk ke kamarku, tempat tidurku dulu masih berdiri di dalam, kasur dialasi seprei biasa namun rapi, di dinding bahkan masih ada tas dan seragam SMP yang dulu diberikan sama erwan dan mamanya. erwan.. iya aku baru ingat sekarang, apa kabar dia, apakah sekarang dia masih ada di sini ataukah sudah kuliah ke jawa. aku kangen dengan erwan sahabatku yang sangat baik hati.
apakah rumahnya masih ditempat yang lama, aku juga tak bisa memastikan karena bapaknya adalah pebisnis, bisa jadi mereka sudah pindah, tapi bisa jadi juga ia masih disini, siapa yang bisa menduganya. besok aku akanpergi ke rumahnya untuk memastikan ada dimana dia sekarang, aku sangat ingin bertemu dengannya, sahabat sejati yang aku punya. yang telah banyak memberikan aku pengalaman yang berharga tentang arti persahabatan yang tulus, yang memberi tanpa pamrih dan menyayangi setulus hati.
aku membongkar tas dan mengambil handuk, aku susun baju bajuku ke dalam lemari lamaku, aku tersenyum sendiri melihat baju bajuku yang lama masih ada didalamnya. ternyata emak sangat menjaga semua barang yang aku miliki, ternyata emak memang sangat menyayangiku hingga ia menjaga semuanya yang aku punya.
aku tak ingin mengecewakan emak lagi, apapun yang terjadi aku tak akan lagi meninggalkan emak, aku bisa saja punya ibu lebih dari satu bahkan sepuluh atau seribu sekalipun, namun kasih sayang emak tak bisa hilang begitu saja dalam hatiku.
mama adalah ibu kandungku, aku tak mau durhaka. namun kalau aku tetap bersama mama, pastinya kami tak akan bisa akur lagi karena mama akan banyak mengatur aku sekarang, bukan aku bermaksud untuk tak mau mendengarkan mama, tapi aku takkan bisa menuruti keinginan mama, untuk merubah hati bukan lah masalah yang mudah.
aku mandi dan wudhu setelah itu kami sholat maghrib bersama, sesuatu yang langka kalau dirumah mama. tadi aku sudah berkenalan dengan bang hendri suami yuk tina, orangnya simpatik dan lumayan tampan cuma kulitnya agak cokelat mungkin karena pekerjaannya di tambang yang setiap hari terpanggang matahari.
bang hendri terlihat sangat menyayangi emak, ia tadi membawa martabak untuk emak, aku sangat bersukur sekali yuk yanti dapat suami yang seperti itu, tak perlu lah yang terlalu kaya, asalkan ia mau berusaha dan kerja keras, soal rejeki Allah bisa mengaturnya, hal yang paling penting ia mau menyayangi keluarga isterinya seperti ia menyayangi keluarganya sendiri dan ia juga taat beragama, jadi ia akan banyak rasa takut.
selesai sholat kami makan malam bersama, makan malam yang hangat dan kental dengan keakraban keluarga, meski tanpa lauk yang berlimpah aku makan sangat banyak, apalagi emak dan ayuk ayukku tak bosan bosannya menyuruh aku nambah, mungkin mereka mengira aku tak dapat makanan yang layak selama di palembang.
yuk yanti membuatkan kami kopi sementara emak menggoreng ketela rambat. yuk tina membereskan meja makan dan bang hendri pergi menjemput anaknya dirumah orangtuanya.
aku membantu emak memotong ketela rambat meskipun emak melarangnya, sudah lama sekali aku tak mengerjakan pekerjaan seperti ini, memang terlihat kurang berarti namun nilai emosionalnya sangat terasa bagiku.
bang hendri pulang dengan anaknya yang m asih kecil, usianya baru 5 tahun kalau aku mengira dari postur tubuhnya. mirip sekali dengan bapaknya seperti takut tak diakui orangtuanya. aku bermain main dengan keponakanku itu, sangat menyenangkan rasanya, membuat aku teringat dengan wenny adikku yang di palembang, usia wenny baru tiga tahun lebih. dan sama lucunya meskipun lebih banyak diasuh oleh baby sitter, ia sangat akrab denganku.
malam ini langit cerah setelah seharian dari siang diguyuri oleh hujan, bintang berkelap kelip indahnya dinaungi oleh bulan sabit redup. aku bersama emak dan ayukku duduk di depan teras rumah sambil bercerita tentang masa lalu yang indah.
rasanya kenangan itu ada di depan mataku, emak bercerita tentang masa kecilku saat aku masih bayi dan di tinggal mama, baru kali ini aku mendengar yang lengkapnya, rupanya dulu sewaktu tinggal dirumah ini, mama kerap membuat emak kesal karena mama bersikap bagai seorang ratu, mama jarang sekali mau membantu emak mengerjakan tugas rumah yang menumpuk, belum lagi waktu itu anak anak emak masih kecil kecil dan aku masih bayi yang tak mengerti apa apa. aku dapat membayangkan betapa repotnya emak. itu terkadang membuat mereka sesekali bertengkar, apalagi mama tau kalau emak sangat menyayangiku, ia sering menjadikan aku sebagai senjata, ia mengancam akan membawaku pergi, mendengar itu semua aku jadi malu, kenapa mama sampai bersikap demikian.
setelah malam mulai larut kami masuk ke dalam, emak sudah mengantuk, besok yuk tina juga mau kerja, yuk yanti mau menyiapkan sarapan buat suaminya. aku masuk ke kamar, mengenang kembali cerita emak tadi tentang mama membuat aku jadi malu hati sendiri, kenapa mama harus seperti itu, apakah tak ada yang bisa membuatnya memahami kalau hidup bukanlah hanya sekedar mengikuti kata hati, banyak hal yang harus kita pertimbangkan apalagi kalau sudah menyangkut orang lain.
selama delapan tajun lebih aku bersamanya aku bisa mengerti dengan sifat mama. aku tau kadang aku tak setuju namun aku abaikan karena ia adalah mamaku, namun entah kenapa ia membenciku sekarang hanya karena aku mencintai seorang lelaki, apakah mama tak tau apa yang aku rasakan dalam hatiku.
*******
aku bangun karena mendengar kesibukan dari arah dapur, suara dandang dan panci yang sedang di gosok dengan abu memenuhi suasana pagi ini. aku melirik ke dinding, masih sangat subuh sekali baru jam empat kurang sepuluh menit. aku beranjak dari tempat tidur dan merapikan seprei. ku buka jendela agar sejuknya udara pagi yang segar bisa masuk ke dalam kamar agar tak terlalu pengap.
lalu aku keluar kamar dan pergi ke dapur. emak sedang memilih padi pada beras sementara yang mencuci tadi ternyata yuk yanti.
“loh sudah bangun nak, kalau masih ngantuk ya tidur saja dulu, sekarang masih subuh, emak bisa bangunkan kamu kalau mau sholat subuh..”
emak menaruh tampah berisi beras diatas meja.
“tak apa apa mak, tadi malam kan aku tidur cepat, jadi bisa bangun lebih cepat juga.. sudah lama aku tak tidur dibawah jam sebelas, soalnya kalau di palembang biasanya aku tidur kisaran jam satu atau dua dinihari..”
jawabku sambil menarik kursi dan duduk di samping emak.
“nyenyak tidurnya semalam nak?”
“nyenyak mak, soalnya tanpa AC pun sudah dingin, jadi aku bisa tidur dengan nyaman.. mau masak apa mak kok pagi amat milih berasnya..”
“biasalah nak, kalau pagi suami ayukmu kan mau kerja dan harus sarapan, waktu kamu tak ada emak menganggap ia adalah pengganti kamu.. rasanya emak tak percaya sampai detik ini kalau kamu sudah pulang kembali kesini, sempat emak mengira ini hanyalah mimpi hingga tadi emak takut untuk bangun karena bagi emak ini adalah mimpi yang sangat indah.. lalu emak turun dari tempat tidur dan melihat ke kamarmu, emak melihat kamu masih tidur dan kamu ada, rasanya emak sangat bahagia sekali, Allah memang maha kuasa dan penyayang, ia sangat baik sekali pada emak, sekarang emak punya tiga jagoan dirumah ini.. hendri, kamu dan reza.. emak merasa beruntung memiliki kalian semua, itu membuat emak merasa bagaikan orang paling kaya di dunia..”
emak bicara sambil memilih kembali beras yang ada dalam tampah, beras biasa yang masih banyak padi dan batu kerikil.
“rio juga sangat bahagia mak, rasanya bagaikan mimpi semua ini, bisa berkumpul lagi dengan keluarga, bersama emak, rasanya tak dapat di nilai dengan apapun..”
“kalau saja kamu tau emak selalu memikirkan kamu, sering emak bermimpi kamu pulang menemui emak, dan emak menangis setelah mnyadari kalau itu hanyalah mimpi.. sampai emak merasa kamu sudah tak mungkin lagi kembali, emak takut kamu berubah, bukannya palembang itu kota yang keras, banyak hal tak baik disana dan bisa saja kamu terpengaruh pergaulan yang salah, tapi sekarang emak senang karena apa yang emak kuatirkan tak beralasan..”
emak menarik nafas dengan lega.
“tak semudah itu mak, meskipun aku tinggal di kota, tapi aku masih berteman dengan yang wajar kok..”
“sudah hampir setengah lima sekarang, kamu tak mandi dulu, kan sudah hampir subuh..”
emak mengingatkanku.
“iya mak kalau begitu aku mandi dulu ya..”
aku berdiri lalu mencium kening emak, tak menyangka kalau aku akan menciumnya emak hanya menggeleng gelengkan kepalanya.
habis subuh aku berjalan pagi mengitari kampungku, suasana yang sejuk dan langit masih gelap membuat aku menyilangkan tangan di dada untuk mengurangi rasa dingin. aku melewati rumah rian, rumah yang dulu bisa dikatakan mewah sekarang jadi biasa di pandanganku karena sekarang aku lihat ada beberapa rumah baru yang lebih bagus.
aku jadi ingat kembali masa masa aku bersamanya disini.. dulu mamanya langganan tetap kue ku, aku tak yakin kalau mamanya masih ungat denganku karena aku hanya beberapa kali ketemu mamanya dulu dan kami pun tak banyak bicara, yang paling jelas adalah kenangan saat aku terjatuh waktu lagi jualan mama rian lah yang menolongku.
aku pandangi rumahnya yang sekarang catnya sudah agak pudar, cat yang masih sama dengan waktu aku tinggalkan dulu. memang nasib manusia tak bisa di tebak karena sudah diatur oleh yang diatas, orang yang banyak uang tak selamanya terus banyak uang demikian juga yang susah belum tentu akan tetap susah, makanya jangan pernah memandang orang karena harta, bisa jadi harta yang diagung agungkan itu akan lenyap kalau Allah mau mengambilnya.
harum tanah basah dan rerumputan menerpa penciumanku, kakiku agak basah terkena embun yang menempel pada rumput yang aku injak. aku melewati rumah dodi, apa kabar ia sekarang, biasanya jam segini ia sudah bangun, apakah sekarang ia sudah menikah atau malah ia sudah takada lagi disini.
rumahnya masih seperti dulu, masih ada pohon jambunya, aku jadi teringat dengan kucing yang dulu aku titipkan padanya apakah sekarang kucing itu masih ada atau sudah mati, soalnya kan sudah delapan tahun.
aku lihat gerobak bakso bapaknya masih bertengger di halaman rumahnya, dulu bapak dodi sering jualan bakso disekolah kami.
semoga saja aku bisa bertemu dengan anak itu, seperti apakah dia sekarang. aku memasuki pagar rumahnya yang terbuat dari banbu bersusun, ku dengar suara nyanyian, lagu menghitung hari dinyanyikan oleh suara laki laki, tak salah lagi itu adalah suara dodi.
aku mengendap endap menghampiri asal suara itu, ternyata di sumur dodi sedang berjongkok sepertinya lagi nyuci. tapi apakah aku tak salah liat, kok rambutnya panjang serta di gelung keatas, aku jadi ragu bisa saja itu bukan dodi, tapi suaranya itu benar benar dodi, karena kurang yakin aku hampiri dia dan ku sapa.
“assalamualaikum, pagi…”
“eh bebek monyong.. mak lampir gundul…”
ternyata tak salah lagi itu memang dodi, tapi kok berubah sekali penampilannya, kenapa dia sekarang jadi kayak perempuan gini, memang sih bakatnya sudah dari dulu, namun aku tak menyangka kalau akan ia kembangkan seperti ini.
dodi berdiri dengan kesal lalu menoleh matanya langsung terbelalak.
“tidak..tidak…aku hanya salah liat..nggak mungkin..”
dodi mengucek ngucek matanya lalu melihatku lagi dan mengucek lagi dan akhirnya kembali bengong.
“woi.. kenapa sih kamu itu?”
aku menegur dodi dengan sebal, kenapa juga anak satu ini jadi parah kayak gini. selain latahnya yang tak sembuh sembuh, ia juga jadi agak telmi sekarang. parah!!!
“ya pak cari siapa, maaf jam segini aku tak terima bokingan, kalau terus memaksa tak masalah tapi aku menerapkan tarif premium, 4000 rupiah permenit…”
dodi tersenyum lebar padaku matanya berbinar binar.
“boleh, tapi aku kuliti hidup hidup, terus aku panggang dan kasih makan bebek satu kampung ya..huuu tarif solar juga aku masih mikir seribu kali, apa kabar teman..?”
aku merangkul dodi lalu menyalaminya.
“kabar baik rio..”
suara dodi agak bergetar.
“lagi nyuci ya, kok pagi amat..?”
“iya, nyuci celana dalam habis kena mens..”
jawab dodi asal, aku langsung menggeplak kepalanya.
“aduh… monyot, monyot kepalaku kena apa..”
latah dodi kumat lagi.
“ditanya serius malah ngeyel, pagi amat kamu udah nyuci..”
“iya sori cuma bercanda, habisnya aku benar benar kaget dan tak menyangka kamu datang, aku gugup dan kalau bercanda aku jadi lebih tenang, kapan kamu datang rio..kok nggak kasih kabar?”
tanya dodi mulai serius.
“kemarin siang dod, maaf baru kesini sekarang soalnya kemarin hujan..”
“berapa hari rencananya, rio aku kangen sekali sama kamu..”
tiba tiba dodi langsung memelukku.
“hei..aku kan belum mati, ayolah kawan..santai aja, aku sekarang sudah memutuskan kembali kesini dan kita kan bisa ketemu setiap hari..”
aku mengusap punggung dodi.
“benarkah itu rio, aku tak menyangka kamu masih ingat saja sama aku, padahal kamu sekarang kan sudah berbeda, kamu benar benar tampan rio, aku rela menggadaikan semua handuk yang aku punya asalkan mendapatkan hatimu..”
dodi mulai lagi ngeyelnya.
“sembarangan, emangnya aku ini apaan bisa ditukar sama handuk..”
“kan aku lagi nyuci handuk handukku, sekarang aku buka usaha salon, walaupun masih kecil kecilan tapi lumayanlah daripada menganggur..”
“jadi kamu lagi nyuci handuk salon, rajin sekali, emangnya kamu belum punuya karyawan ya..?”
“mana mampu aku menggaji karyawan, salonnya aja masih merintis, ya usaha kecil kecilan rio… kamu mau lihat salonku nggak?”
tanya dodi seperti berharap aku menjawab mau.
“iya dod, memangnya kamu sudah selesai nyuci handuknya..”
“belum sih, tapi udah hampir kelar kok.. ayo kita ke depan..”
dodi menyeretku dengan tak sabar. aku mengikuti dodi ke halaman depan rumahnya. memang ada satu bangunan mungil yang berjendela kaca besar bertuliskan “DODI SALON”. aku diajaknya masuk ke ruangan salon mungil itu. cuma ada dua kaca cermin dan kursi.
“aku ikut program kursus gratis di BLK rio, disana aku dapat pelatihan tentang salon, selesai kursus aku dikasih modal untuk buka salon sendiri..”
dodi menjelaskan dengan semangat.
“ya sukurlah kalau begitu dod, kamu dapat menyalurkan bakatmu, bagaimana dengan langgananmu banyak nggak..?”
“alhamdulillah ada lah kalau langanan, dari situlah aku bisa membantu keluarga, bapakku sudah agak tua, jadi kalau kerja terlalu berat aku suka tak tega, bapak sering mengeluh sakit punggung kalau dorong gerobak terlalu jauh rio..”
ujar dodi getir.
“yang penting kamu bisa cari duit dengan cara halal dari keringat sendiri, aku yakin asalkan kita ikhlas, usaha apapun akan berkah..”
kataku sambil memandangi seluruh isi salonnya. ada kursi khusus keramas, steamer, catok dan hair dryer standar. lumayanlah untuk sebuah salon yang baru di rintis.
“kamu tunggu sebentar ya, aku mau buat kopi dulu, sudah lama kan kamu nggak minum kopi buatanku..”
terburu buru dodi berdiri lagi.
“sudahlah dod, nggak usah repot repot, kamu kan lagi sibuk juga..”
“tak apa apa rio, aku senang kok, jangan kemana mana ya, aku akan kembali setelah pesan pesan berikut ini..”
dodi meninggalkanku.
ada rasa terharu saat melihat dodi yang harus berjuang, tapi aku juga bangga padanya sekarang ia bisa mandiri dengan usaha sendiri, bahkan ia bisa membantu keluarganya.
segala hal pasti diawali dengan langkah kecil dulu sebelum akhirnya menjadi besar, aku yakin salon dodi akan berkembang karena dodi sangat mencintai pekerjaannya ini. aku ingat dulu dodi sering eksperimen menggunting rambutku, memang tak terlalu rapi sih tapi cukup lumayan untuk ukuran seorang anak SMP yang baru coba coba, hitung hitung simbiosis mutualisme, aku bisa berhemat biaya potong rambut dan dodi bisa belajar gunting rambut walaupun aku di jadikan kelinci percobaan.
“ini kopinya rio, maaf nggak ada kue, soalnya jam segini warung belum buka..”
dodi masuk kembali ke salon dengan membawa baki berisi dua gelas kopi lalu ia letakkan diatas meja kasir yang sederhana dari kayu yang mirip dengan meja di sekolah dasar.
jadi sekarang kamu tinggal sama emak angkat kamu lagi ya, aku sering ketemu emak kamu kalau lagi ke toko, ayuk kamu si tina kan sering datang ke salon ku kalau lagi ada acara dan ia butuh di rias..”
dodi memberitahuku seakan berita itu sangat penting untuk diketahui.
“oh begitu ya, dod ak juga mau tanya sama kamu.. apakah kamu masih sering melihat erwan, soalnya kan kamu juga sudah aku kenalin padanya kan..”
tanyaku dengan tak sabar pada dodi.
“iya sih awalnya setelah kamu pergi itu.. erwan dan rian ada beberapa kali mengajak aku jalan jalan, tapi setelah itu mereka mulai jarang menemuiku, ya mungkin mereka sibuk… kamu tau rio, semenjak kamu pergi, rasanya aku sangat kesepian.. aku bahkan sempat menangis kalau ingat kamu, soalnya cuma kamu sahabat yang aku punya… aku jadi tak bersemangat lagi, kadang kalau aku duduk di belakang rumahku yang jadi tempat favorit kita, aku jadi teringat sama kamu dan kembali sedih lagi..akhirnya aku jarang mau duduk disitu lagi..”
dodi menerawang mengenang masa lalunya.
“nggak segitunya juga kali dod..”
“sumpah rio, aku nggak bohong..aku serius, kamu kan tau sendiri selama ini hanya kamu yang bisa menerimaku sebagai teman kamu dengan tulus, anak anak yang lain suka mengata ngataiku anak tukang bakso lah..banci lah, akhirnya aku jadi minder sendiri..”
dodi mengangkat gelas dan menggeser lebih dekat ke depanku.
“terimakasih dod, aku senang kalau kamu masih ingat juga denganku, aku sempat mengira kamu sudah ada dimana, soalnya kebiasan anak bangka kan bangga kalau lulus smu kuliah di luar daerah..”
“kuliah apaan rio, untuk makan aja keluargaku masih kembang kempis… mampu lah kalau kuliah alias kuli payah..”
dodi kembali bercanda. aku merasakan ada yang berubah dari dodi yang sekarang, aku lihat ia agak ceplas ceplos dan tak begitu minder lagi.
“ha ha ha kamu bisa aja dod, iya sih kuliah memang penting, tapi bukan keharusan yang mutlak, rejeki kan sudah diatur oleh yang diatas, kita hanya bisa berdoa dan berusaha, kalau memang belum ada rejeki jangan menyerah.. yang penting kita bisa cari uang dengan jalan yang halal, ketimbang kita sekolah tinggi tinggi dari hasil orangtua korupsi, belum lagi kalau kerja juga jadi pegawai harus nyogok, selain berdosa besar, kita juga sudah merampas hak orang lain yang seharusnya kerja.. tapi dunia sudah mulai berubah, kebangaan jadi nomor satu ketimbang harga diri.. jadi pegawai pemerintah adalah tujuan utama dari orang orang yang hanya mau cari aman saja karena mereka tak perlu terlalu kreatif dalam bekerja, cukup kasih uang sekian juta mereka dapat posisi, masa depan terjamin dengan berbagai tunjangan sementara mereka tak sadar kalau setiap hari gaji mereka itu akan di hitung tuhan sebagai pencurian seumur hidup…”
aku menguraikan pendapatku pada dodi.
“benar juga katamu rio, aku juga sering mendengar tentang hal itu, apakah memang begitu prosedurnya ya, aku sendiri bingung, hidup memang rumit, seakan hanya orang yang mampu yang bisa mengenyam kemapanan hingga turun temurun, sekali kita terjebak dalam kesusahan akan sulit bagi kita untuk bangkit. sekarang orang kaya selalu mengandalkan kemudahan tanpa perduli dengan hak orang lain, dengan uang mereka membeli apapun termasuk pekerjaan..”
dodi ikut ikutan mengeluh.
“makanya sekarang kejujuran sangat mahal sekali karena banyak orang tua yang mengajari anaknya untuk tidak jujur.. walaupun itu tanpa mereka sadari karena ingin anaknya berhasil, tak heran masa kini banyak mencetak mental penjahat..”
aku melanjutkan.
“terus terang mendengar penjelasan kamu aku jadi berbesar hati sekarang, jalan yang aku tempuh tak merugikan orang lain, aku bahkan banyak membantu orang agar bisa tampil menarik,..”
ujar dodi bersemangat.
“iya dod, pokoknya jangan pernah menyerah, jadikan mimpimu bukan hanya mimpi… aku yakin kamu dapat mewujudkannya..”
“terimakasih rio, aku akan selalu ingat kata katamu, yang penting sekarang kamu telah ada lagi disini dan aku jadi ada teman lagi…”
dodi tak dapat menyembunyikan perasaannya. aku senang dodi bisa seperti ini, hanya satu yang masih mengganjal di hatiku, kenapa ia sampai merubah penampilan jadi kayak sekarang, aku kangen dengan dodi yang dulu yang masih sebagai lelaki bukan dengan dandanan wanita.
“dod kayaknya udah mulai terang, dan kopiku juga sudah habis, aku mau pulang kerumah dulu ya, aku tak mau emak sampai kuatir soalnya kan aku baru pulang ke bangka.. nanti aku akan main kesini lagi.. kalau sempat mampirlah kerumahku..”
aku pamit pulang sama dodi. ia mengantarku sampai depan rumahnya dan baru masuk lagi ke dalam setelah aku berbelok di tikungan.
**********
“dari mana saja nak, emak udah nunggu dari tadi, emak kuatir kamu kenapa kenapa..”
emak menyambutku di depan rumah, sepertinya emak sudah dari tadi menungguku.
“maaf mak, tadi keasikan ngobrol sama dodi, habis kangen mak, dia kan teman rio dari kecil…”
“dodi yang punya salon itu ya, anak itu ramah saban ketemu emak pasti negur.. cuma sayang ya kok dia jadi kayak gitu..”
emak mendesah.
“makanya rio juga agak heran ma, dari dulu dia memang kemayu sih, tapi nggak nyangka kalau dia memilih berpenampilan seperti wanita..”
“ya mungkin sudah dari sananya dia kayak gitu mau diapain lagi kalau memang dia lebih nyaman dengan berpenampilan begitu, kita jagan suka mengurusi urusan orang lain, takutnya tuhan marah malah hal seperti itu akan terjadi pada keluarga kita…”
emak menasehatiku dengan bijak.
“iya sih mak, cuma rio takut aja kalau ia akan menjadi bahan olokan orang orang, bagaimanapun juga ia kan teman rio..”
“ya itu juga adalah sebab akibat, kalau sampai orang mengoloknya mungkin karena bagi orang ia nyeleneh, mungkin dodi juga sudah mempertimbangkan hal itu.. asal jangan kita saja yang ikut ikutan mengejeknya..”
aku mengangguk setuju, emak memang selalu bijaksana, ia tak mau mengurusi hal yang bukan urusannya, dari dulu ia selalu mengajarkan kami untuk selalu bersukur dan rendah hati dalam keadaan apapun, kata emak hal yang sangat di benci oleh Allah adalah kesombongan, itulah yang membuat iblis terusir dari surga, kalau manusia sombong artinya ia adalah pengikut iblis karena sifatnya sama dengan iblis.
“manusia hanyalah makhluk yang lemah, segala yang manusia miliki adalah pinjaman dari Allah, karena dialah sang pemilik yang maha kaya, kalaupun ada yang mau sombong, hanya Allah yang punya hak untuk itu, manusia tak boleh sombong dengan barang pinjaman. bahkan nyawa pun pinjaman yang sewaktu waktu akan diambil oleh Allah. akan tiba saatnya dimana manusia diminta mempertanggung jawabkan semua pinjamannya itu, bagi yang menyalahgunakannya maka akan mendapat azab yang bukan main pedihnya. masalah hati apalagi, itu adalah rahasia Allah, tak ada satu hal pun terjadi tanpa ijin dari Allah, manusia hanya bisa berdoa dan meminta ampun andaikan ada kesalahan dan dosa. jadi tak perlu menghina serta menghujat orang lain karena semua adalah rahasia Allah, andaikan bagi kita itu salah, maka kita nasehati dengan perlahan agar ia bisa menerimanya, bukan dengan cara menghina serta mengatakan orang lain salah.”
emak menasehatiku panjang lebar, aku diam mendengarkan segalanya, sudah lama sekali aku tak mendapatkan siraman rohani seperti ini, aku merasa memang selama ini aku banyak lalai, aku menuruti hawa nafsu saja, hingga akhirnya aku membuat banyak orang menderita karena aku.
*********
aku baru saja mau membuang sampah saat papa datang, ia mau berpamitan karena hari ini papa mau balik lagi ke palembang, ia menitipkan aku sama emak, papa meminta emak untuk menjagaku, tentu saja tanpa diminta pun emak akan menjagaku dengan baik. aku mengantarkan papa hingga ke bandara. teman papa yang kemarin menjemput kami ke bandara hari ini kembali mengantarkan papa. orangnya cukup baik dan ramah. sepanjang perjalanan pulang saat kami selesai mengantar papa ia banyak bercerita, ternyata ia adalah teman lama papa.
rumahnya tak jauh dari rumahku dan ternyata selama ini dia tau tentang cerita papa dan masa lalu papa, dia mengatakan kalau papa hampir gila mencari aku dan mama, bertahun tahun hingga papa dijodohkan sama tante sophie dan akhirnya mereka bercerai.
om haris mengantarku hingga didepan rumah emak. aku turun dari mobil dan mengajak om haris mampir, namun ia menolak karena katanya masih ada kerjaan. aku langsung masuk ke dalam rumah setelah om haris pergi. emak sedang mengadon bahan kue dengn di bantu oleh yuk yanti, aku membantu emak menyerut daun pisang.
“hati hati loh nak nanti baju kamu yang bagus kena getah daun pisang, lebih baik ganti baju dulu aja…”
emak menasehatiku.
“iya mak, tanggung juga sih kalo ganti baju…kan udah mau kelar juga..!”
aku menyelesaikan daun terakhir yang harus di potong. emak menaruh adonan yang telah selesai diatas meja, lalu emak menyalakan kompor. aku lihat emak masih saja memakai kompor minyak tanah.
“aduh, sumbunya sudah pendek pendek, panas saja apinya nggak biru lagi, rio kamu mau tolong emak nggak, ke warung wak noor belikan emak sumbu kompor..?”
emak menurunkan kompor ke lantai dapur lalu membongkarnya.
“iya mak, mau berapa meter mak..?”
“beli empat meter aja ya..ini uangnya..!”
emak memberikan selembar uang sepuluh ribu padaku.
“nggak usah mak aku ada uang kok..!”
aku menolaknya, emak masih memaksa namun aku langsung pergi ke warung wak noor, ternyata warung yang dulu kecil itu sudah jadi toko yang lumayan besar, ada kemajuan rupanya. wak noor sendiri sedang sibuk melayani beberapa pembeli. aku menunggu hingga ia agak santai baru aku bilang kalau aku butuh sumbu kompor.
“kamu rio kan?”
tanya wak noor agak ragu sambil menatapku lekat lekat.
“iya wak, aku rio.. masih ingat ya wak?”
“tak salah lagi kamu memang rio, uwak masih ingat lah walaupun sekarang sudah berubah, kemana saja rio uwak nggak pernah lagi lihat kamu..?”
aku terpaksa menceritakan padanya kalau selama ini aku tinggal di palembang dan sekarang aku kembali lagi kesini.
uwak mengangguk angguk sambil menggulung sumbu kompor yang telah ia potong, aku membayarnya. setelah menerima kembaliannya aku pulang.
aku berjalan menyusuri jalan setapak menuju ke rumahku, beberapa orang yang aku temui di jalan menyapaku. ada saudara jauh dari emak yang dulunya sangat pelit sekali, ia menegurku waktu aku lewat depan rumahnya. bahkan ia menyuruh aku mampir. padahal dulunya aku harus mengintip dari balik jendela rumahnya kalau aku mau menonton film yang aku suka.. ia tak menyuruhku masuk katanya aku dekil. emak dulu suka marah kalau aku bandel masih saja mau nonton dirumahnya lewat jendela, kata emak aku harus punya malu, kalau tuan rumah tak mengijinkan ya jangan nonton dirumahnya walaupun harus mengintip. ya namanya juga anak anak, masa itu aku masih sekolah dasar yang penasaran setiap ada teman yang bercerita tentang film yang seru.
sampai dirumah aku memberikan sumbu kompor sama emak, aku mandi lagi karena siang ini terasa sangat gerahnya. ciri khas bangka yang dikelilingi lautan. aku mau jalan jalan, kata emak sudah ada beberapa pusat perbelanjaan yang di bangun di pangkalpinang sejak aku pergi. aku mau jalan jalan sekalian mau beli beberapa kebutuhan dirumah.
aku pamit sama emak dan menunggu angkot lewat di pinggir jalan, aku berteduh di bawah pohon seri. untunglah aku tak harus menunggu terlalu lama, angkot berhenti didepanku. aku langsung naik dan minta diantarkan ke supermarket.
aku turun dari angkot yang berhenti tepat disebuah supermarket yang menurutku tak begitu besar, namun katanya itulah yang jadi kebanggan masyarakat pangkalpinang, tadi yuk tina bilang kalau ada mall yang mau di bangun di terminal pasar. aku jadi bingung sendiri, bagaimana dengan mobil mobil kalau sampai terminal di bangun mall, apakah tak ada tempat lain untuk membangun mall di pangkalpinang.
cukup ramai pengunjung pusat belanja yang menurutku lebih mirip toko besar ini. aku masuk ke dalam berkeliling ke konter konter, namun tak ada yang menarik minatku, sepertinya barang yang dijual disini mahal mahal sekali dan agak ketinggalan jaman, sungguh menyedihkan.
aku berjalan menuju mini market, aku mau beli buah untuk dirumah, aku mengambil troli lalu berjalan dari rak ke rak, banyak yang aku beli, ada buah, susu kotak untuk anak yuk yanti, kue kue kering dan snack, kacang kulit, minyak goreng dan lain lain. tak terasa isi dalam troli sudah segunung. aku berjalan menuju kasir untuk membayar. aku menyerahkan kartu debet pada kasir namun dengan kebingungn kasir itu mengembalikan kartu debet ku. aku jadi kesal sekali, masa di supermarket seperti ini tak menerima kartu debet. masa sih aku harus mengembalikan barang belanjaan ke rak lagi, sedangakan untuk menarik uang di ATM terpaksa aku harus menunggu antrian di belakang lagi.
ditengah kebingungan itu tiba tiba ada yang menyentuh bahuku dari belakang dan menyodorkan beberapa lembar uang seratusan ribu. aku menoleh dengan bingung, siapa sih yang menyodorkan uang itu padaku.
“aku sudah melihatmu dari mini market tadi, namun aku ragu apakah itu kamu atau bukan..pakai saja uangku dulu”
suara yang berat dan agak ngebass berbicara padaku. aku amati wajahnya dengan seksama takutnya aku keliru, namun aku memang tak keliru.
“e..erwan… kamu, astaga..!”
aku jadi susah berbicara karena kaget.
“ambil dulu ang ini, kasihan tuh yang lain sudah nunggu..bayarlah dulu!”
sambil tersenyum lepas erwan menjejalkan uang itu ke tanganku.
buru buru aku ambil dan membayar semua barang belanjaanku.
“kamu jangan pulang dulu, tunggu aku di depan CFC.. aku mau bicara sama kamu..!”
erwan kembali ke antriannya dibelakang enam orang yang mengantri.
aku membawa palstik belanjaan yang lumayan berat, aku tadi belanja tak kira kira hingga aku kerepotan sendiri, pangkalpinang bukan palembang yang banyak taksi. aku menunggu erwan di depan CFC, hebat juga sekarang sudah ada fastfood disini walaupun baru CFC. hampir limabelas menit aku menunggu baru erwan keluar.
“apa kabar sobat..?”
erwan menjabat tanganku dan memelukku tanpa perduli ramai orang yang ada disini.
“baik wan, kamu sendiri bagaimana..”
aku memeluk erwan dengan erat, rasanya aku sangat rindu, hari ini secara tak terduga aku bertemu dengannya.
“kita makan dulu sekalian ngobrol, kamu emang keterlaluan tak sekalipun mengabariku..”
erwan agak cemberut.
aku mengikuti erwan masuk ke resto, erwan yang memesan makanan, kami saling melepas kangen sambil makan.
“kapan kamu tiba rio..?”
tanya erwan sambil menuang saus tomat ke piringnya, aku bisa merasakan kalau erwan agak kesal, wajahnya agak cemberut dan terlihat lucu, sekarang ia sudah agak berubah, sedikit lebih putih ketimbang dulunya, bajunya pun sangat rapi, kemeja hitam dan celana bahan seperti style kantoran.
“baru kemarin siang wan, aku memang mau kerumahmu, rencananya sore ini, tadi pagi aku sempat bertanya sama dodi mengenai kamu, tapi dodi sendiri tak tau, makanya aku jadi ragu apa kamu masih disini atau tidak..”
jawabku agak merasa bersalah padanya.
“kamu seperti melupakan aku begitu saja rio, aku sering menunggu kamu kirim surat atau minimal kamu telpon aku, tapi sampai bertahun tahun tak pernah kamu lakukan itu, apa kamu banyak teman disana..?”
“bukan itu masalahnya, aku kan memang tak tau nomor telpon kamu, selama kita berteman kan aku tak pernah telpon kamu..”
“iya sih, tapi kamu kan bisa kirim surat, kamu tak tau kalau aku kangen sekali, sejak kamu pergi aku jadi jarang keluar rumah, rasanya tak bergairah..biasanya kan kemana mana kita selalu berdua..”
“kamu masih sering mengingatku ya, aku kadang terlalu sibuk wan, banyak masalah yang kadang menyita pikiranku selama disana. makanya aku memutuska npulang sekarang..!”
aku mengangkat gelas jus dan meminum isinya.
“kamu tau tidak waktu tadi aku berjalan diantara rak lalu melihatmu, rasanya jantungku seakan mau jatuh, aku mengikutimu untuk memastikan apakah itu kamu atau bukan, soalnya aku kan ragu, kamu sekarang sangat jauh berbeda.. aku mau memanggilmu tapi aku takut salah orang, jadi aku terus mengikutimu sampai kasir karena aku penasaran sebelum aku memastikan itu kamu atau bukan..”
erwan berterus terang.
“kamu tau aku juga kaget sekali waktu kamu mengulurkan uang padaku, kirain siapa, oh ya nanti temani aku ke ATM ya buat ganti uang kamu yang terpakai tadi..”
“sudahlah jangan dipikirkan dulu, aku masih kesal sama kamu..!”
ujar erwan agak manja, aku heran kenapa erwan seperti ini seakan akan kami berdua orang yang berpacaran.
“iya deh aku minta maaf, yang penting sekarang kita kan sudah bertemu lagi, aku sekarang tinggal sama emak lagi..”
wajah erwan berubah langsung cerah mendengar kalau aku tinggal sama emak lagi.
“benarkah rio.. kamu jangan main main, pasti kamu cuma bercanda kan..?”
erwan masih kurang yakin.
“aku serius kok wan, aku sekarang sudah pindah kesini lagi, jadi kita bisa bertemu sesering dulu, aku juga sangat kangen sama kamu wan, bagaimanapun juga kamu adalah sahabat yang terbaik yang pernah aku miliki..”
wajah erwan semakin cerah mendengarnya.
“wah aku senang sekali rio, tak aku sangka kalau kamu mau pindah lagi kesini, padahal kan kamu sudah senang di palembang, aku sama sekali tak menyangka bisa bertemu lagi denganmu rio, rasanya aku ingin sekali meluk kamu lagi saking kangennya..”
erwan blak blakan.
“ha ha ha ada ada saja kamu ini wan,..”
“pokoknya hari ini kau mau berdua saja denganmu, sudah lama sekali aku menunggu hari ini tiba, aku tak menyangka sama sekali kalau hari ini semua keinginanku terwujud, aku mau mengajak kamu duduk di pinggir sungai tempat dulu kita mandi bersama sama, kamu mau kan…?”
erwan menatapku dengan penuh harap membuat aku tak tega untuk menolaknya. selama ini erwan juga sangat jarang atau bisa dikatakan tak pernah menolak permintaanku, lagipula aku penasaran mau melihat bagaimana keadaan sungai itu sekarang.
“iya, tapi aku mau mengantar barang belanjaan ini dulu ke rumah….”
“biar aku yang mengantarmu ke rumahmu..”
selesai makan aku dan erwan pulang kerumah, ia sempat mampir kerumahku, emak sangat kaget melihat aku belanja sebanyak itu. ia menasehati agar aku jangan boros karena aku sekarang belum kerja, aku tak mengatakan apa apa karena memang benar aku belum kerja, aku akan menyelesaikan kuliah dulu, setelah itu baru aku cari kerja.
aku tak bilang sama emak kalau papa memang menyuruhku bantu bantu emak dengan uang yang ada pada rekening yang papa berikan padaku, kartu debet ini sempat aku cek isinya sangat banyak sekali hingga aku menelan ludah nyaris tak percaya, tapi aku juga tak mau meggunakannya dengan boros, papa mencari uang bukannya mudah, aku tak boleh menghambur hamburkannya, kalau sekali sekali untuk memenuhi kebutuhan dirumah ini aku baru akan gunakan.
aku dan erwan pamit sama emak untuk jalan jalan, nampaknya hari ini erwan mau berpuas puas menghabiskan hari ini bersamaku, dua sahabat lama yang tak bertemu.
erwan meminggirkan mobilnya ditepi jalan , kami berjalan melewati tanah merah berkerikil disungai yang sekarang sangat tak menarik lagi. aku duduk dipinggir tebing pendek yang disemen mencari tempat yang agak teduh dihalangi daun dari pohon rumbia.
“setelah amu pergi aku dan rian masih sering kemari, kami mandi disini kadang membicarakan tentang kamu yang tak ada kabarnya..”
erwan mulai bicara sambil menatap air sungai yang tenang, sungai yang dulu bening sekarang jadi keruh karena dialiri air dari tambang yang tak sealiran dengan sungai itu, sekarang banyak bermunculan tambang timah rakyat, imbasnya hampir semua sungai yang ada disini jadi keruh airnya bercampur dengan lumpur.
“dia sekarang di palembang wan, lagi kuliah..”
aku memberitahu erwan.
“iya aku tahu yo, soalnya beberapa minggu yang lalu ia ada pulang kesini, kami sempat bertemu, aku menanyakan tentang kamu padanya, tapi rian tak begitu banyak bercerita, papanya dirawat dirumah sakit dan kritis, jadi ia harus pulang, untungnya papa rian bisa sembuh, aku kasihan sekali padanya..”
ujar erwan
“iya, iya juga bilang mengenai itu, kamu tau kau dan rian sering ketemu di palembang karena dia satu kampus denganku, lagipula kostnya juga tak terlalu jauh…kenapa kamu tak kuliah di palembang saja, kan kita bisa berkumpul lagi…”
“maunya aku memang kuliah ke palembang, tapi mamaku menyuruh aku ke bandung saja. jadi aku kuliah di bandung, aku mengambil diploma tiga… jadi lebih cepat kelar, kamu sendiri bagaimana..?”
tanya erwan penasaran.
“aku mau melanjutkan disini saja, aku ada masalah di palembang yang tak bisa aku ceritakan karena terlalu pribadi, tapi yang jelas aku tak akan kembali lagi ke palembang..”
erwan menatap mataku seakan ingin mencari tau apa yang ada di pikiranku sekarang.
“ada apa rio, ada masalah apa, kita kan sahabat…kamu bisa ceritakan masalahmu padaku, mungkin saja aku bisa membantumu…”
“tidak wan…aku tak mampu ceritakan masalah ini pada siapapun, karena ini adalah aib yang harus aku tutupi..”
“lalu bagaimana dengan rian, apakah dia tau kalau kamu sudah balik ke bangka lagi?”
“aku bahkan tak kasih tau rian, kamu tak tau wan..aku dan rian sering terjadi konflik yang rumit..sepertinya dia banyak berubah..”
aku berterus terang.
“maksud kamu bagaimana yo, aku tak mengerti..”
erwan jadi bingung.
“aku belum siap cerita sekarang, aku masih mau menenangkan diri dulu..aku juga merasa bersalah pada rian, aku telah pergi diam diam, aku takut kalau ia menyusul kesini dan mengabaikan kuliahnya…”
“memangnya ada apa sih antara kalian kok aneh begitu…biasanya kan teman tak bersikap seperti itu..”
erwan jadi penasaran. tentu saja aku tak dapat mengatakan yang sesungguhnya pada erwan karena aku juga harus bisa menjaga nama baik rian, hubungan kamu sejauh ini hanya kak fairuz yang tau.
“entahlah, mungkin karena kami berdua terlalu akrab hingga ia jadi ketergantungan begitu, aku juga tak menyangka akan seperti itu jadinya…”
tiba tiba kenangan malam jahanam itu terlintas lagi di otakku membuat aku jadi bergidik.
“memang sih, kadang persahabatan itu bisa mengalahkan orang pacaran, karena disana ada ketulusan, bagaimana kabar rian sekarang, masih berapa lama lagi ia selesai kuliah..?”
aku terdiam berpikir dulu sebelum menjawab, soalnya sekarang kan rian lagi dirumah sakit sedang dirawat, aku jadi berpikir apa reaksi rian setelah satu hari aku tak datang menemuinya dirumah sakit, aku tau rian pasti menungguku, mungkin ia mengira aku lagi sibuk. aku telah mematahkan harapannya.
“sepertinya rian masih setahun lebih, soalnya dia sama denganku juga… kasihan dia harus berjuang disana, orangtuanya sudah jarang mengirimkan ia uang, aku takut kalau ia tak bisa menyelesaikan kuliahnya..”
“ya juga sih… keadaan keluarganya menurun sangat drastis sejak papanya sering sakit sakitan, katanya sih papanya kena penyakit kiriman dari orang yang tak suka melihat papanya berhasil, menurut mamanya rian masih dari keluarga jauhnya juga yang melakukan itu, cuma walahualam bisawab hanya Allah yang tau semua, kadang aku jadi takut juga yo, rambut boleh hitan tapi hati orang siapa yang tau, dijaman sekarang ini masih ada juga orang yang bersaing secara tak sehat… cuma kalau orang itu memang tega melakukannya, ia akan menerima konsekuensinya juga nanti..”
erwan mendengus kesal. mendengar cerita erwan tadi aku makin kasihan sama rian, kenapa ia tak cerita padaku kalau sakitnya papa rian karena kiriman dari orang yang sirik sama mereka. rian begitu banyak beban dan aku telah membuatnya makin terbebani, pantas saja waktu itu rian jadi nekat karena mungkin terlalu banyak masalah yang membuat ia jadi kalap.
“kamu sendiri sejak kapan sudah balik lagi ke bangka, bagaimana kabar mama kamu, aku kangen juga sama mamamu wan, beliau begitu baik padaku dulu..”
“mama sering kok bertanya tentang kamu, sejak kamu pergi kan nggak pernah ada kabar sama sekali, jadi aku bilang apa adanya saja sama mamaku…habisnya aku kan tak tau harus bilang apa…aku sempat mengira kamu sudah melupakan aku…”
“aku mau kerumahmu untuk ketemu sama mama kamu dan sungkem padanya, bagiku mama kamu juga mamaku sendiri, ia sangat baik dan perhatian padaku, semua itu tak dapat aku lupakan..”
aku mengenang betapa dulunya mama erwan sangat banyak membantuku, hingga aku sakit juga ia yang membiayai biaya rumah sakit, ia senang erwan berteman denganku, karena baginya aku membawa pengaruh baik pada erwan. mereka keluarga yang berada namun masih mau memikirkan orang yang kesulitan, andaikan mamaku seperti mamanya erwan pasti akan sangat menyenangkan.
“mama pasti senang kalau bertemu kamu lagi, atau habis dari sini kita langsung kerumahku saja ya… kamu kan sudah lama tak kerumahku, masih seperti dulu kok rio, jangan sungkan lagi…”
erwan seolah takut aku menolak.
“terserah kamu saja mana baiknya wan, cuma aku harus kasih tau emak dulu kalau aku mau kerumahmu takutnya aku nanti lama disana jadi emak tak kuatir..”
“iya yo, aku mau makan kue buatan emak kamu juga, tadi kau liat emak kamu kan bikin kue..”
“gampang lah mau berapa banyak juga aku kasih..”
“nanti aku mau mengajak kamu ke tempat pemandian air panas pemali.. aku pernah kesana sama teman kantorku, ya walaupun ditengah hutan tapi suasananya cukup nyaman kok.. air panasnya langsung dari uap dalam tanah, aku dengar sih katanya mau dikelola oleh pengusaha untuk dijadikan tempat wisata…”
“mau banget, pokoknya aku mau memuaskan diri dulu disini, kapan kamu mau mengajak aku kesana, aku penasaran mau lihat tempatnya, katanya air panas itu bagus untuk kesehatan dan terapi karena masih alami, beda dengan air panas dari pemanas dirumah..”
“kalau bisa sih hari minggu ini, kalau aku tak ada kerjaan, ya kamu mengerti sendiri lah aku kan baru kerja, jadinya harus memberikan kesan yang baik pada atasan…”
kata erwan sambil berdiri lalu mengibas celananya dengan tangan agar pasir dan rumput yang menempel terjatuh. aku ikut berdiri dan mengibaskan celana meniru erwan.
“kita pulang dulu sekarang ya wan, aku mau mandi dulu, kamu antar aku kerumah dan tunggu aku bersiap siap, jadi tak terlalu sore..”
erwan mengangguk. kami kembali ke mobil lalu pulang ke rumahku.
“darimana kalian nak, mentang mentang lama tak ketemu sama sahabatnya..”
kata emak tersenyum senang saat aku dan erwan masuk ke rumah, emak sedang menyuapi reza makan, anak satu itu memang sangat dekat sama emak, apalagi sebagai cucu pertama emak tentu saja emak sangat menyayangi dan memanjakannya.
“dari sungai di pabrik es mak, ngobrol sama erwan, oh ya mak kue yang emak bikin sudah masak kan?”
“sudah tu dalam lemari, taruh saja di piring, jangan lupa bikin minum juga buat erwan..”
emak mengingatkanku.
“iya mak..”
aku mengajak erwan ke kamarku. sementara ia menunggu di kamar, aku menyiapkan kue dan membuatkan kopi.
“mainan mobil yang aku berikan dulu masih kamu simpan ya..”
kata erwan dengan senang saat melihat miniatur yang aku susun diatas lemari buku.
“iya wan, itu kan kenang kenangan dari kamu, ya pasti aku jaga lah..”
“bahkan kamu bawa lagi kesini, aku pikir kamu meninggalkannya di palembang.
“mana mungkin aku tinggalkan disana, aku kan syang sama miniatur itu..”
“sukurlah kalau kamu suka..”
erwan sangat senang.
“kamu makan dulu kuenya, aku mau mandi..”
kataku sambil menarik handuk dari tali yang aku ikat diantara dinding kamar.
“jangan lama lama ya, mnanti keburu maghrib…”
“oke bos..!”
***********
“astaga jadi ini rio yang dulunya, ya ampun nak gagah sekali… tante sampai pangling gini melihatnya..”
seru mama erwan heboh saat aku menyalami dan mencium tangannya.
“ah tante bisa aja, bikin aku jadi malu..”
kataku dengan kuping memerah.
“mama jangan memujinya, nanti bisa mekar hidungnya ma, bagiku rio itu jelek banget, dia kan lebih pendek dari aku..”
erwan menggodaku.
“he..he.. kamu bisa saja nak, tapi bener deh, mama saja sampai nyaris tak mengenalinya, berubah sekali ya.. kenapa tak coba ikut lomba model lsaja, tante yakin kamu pasti jadi juaranya..”
mama erwan makin menjadi jadi, aku sampai sesak nafas mendengarnya.
“jadi model empek empek telor aja ya..!”
ujar erwan dengan suara riang. aku tau walaupun ia mengejekku tapi ia tak dapat menyembunyikan perasaan senangnya. bagiku erwan juga agak berubah sekarang, ia jadi lebih putih dan ganteng, tubuhnya lebih jangkung dan kekar. alisnya tebal dengan rambut ikal bergelombang, selintas agak mirip orang timur tengah, hidungnya mancung dan berjambang tebal. bekas cukuran membuat dagunya berwana kehijauan.
mama erwan mengajakku mengobrol di ruang keluarga. aku perhatikan rumah erwan yang sekarang sudah direnovasi jadi lebih modern, alat alat yang dulu aku ingat ada diruangan ini banyak yang sudah berganti.
“jadi selama ini kamu tinggal sama mama kandungmu, bukannya kamu sudah senang disana kok memutuskan pulang lagi..?”
tanya mama erwan. terpaksa aku harus menjelaskan lagi, pokoknya selama beberapa hari ini aku harus sabar untuk menjelaskan hal yang sama berulang ulang, soalnya masih banyak yang belum aku temui dan mereka pasti akan bertanya yang sama dengan pertanyaan emak, ayukku, dan erwan.
pembantu erwan menyuguhkan minuman dan makanan kecil untuk menemani kami mengobrol, mama erwan menahanku saat aku bilang mau pulang, ia mengajakku makan malam dirumahnya, aku tak bisa menolak orang yang sudah baik padaku. aku sms yuk tina untuk bilang kalau aku mungkin pulang agak malam.
maghrib erwan mengajak aku ke kamarnya, ia mengambil wudhu dan mengajakku sholat bersama. selesai sholat kami berdua ke ruang makan karena mama erwan mengajak kami makan malam. cuma kami berempat dengan papa erwan.
aku jadi ingat waktu dulu aku makan dirumah erwan dengan segan, tapi mamanya memaksa aku bahkan pulangnya aku disuruh bawa sosis goreng.
“jangan malu malu rio, nambah aja makannya…”
mama erwan menambahkan daging dendeng balado ke piringku. ya ampun apa mama erwan mengira aku sudah lama tak makan, ini saja perutku sudah kenyang minta ampun.
“cukup tante, udah kenyang nih.. ntar malah mubazir..”
“dulu kan kamu paling senang makan dendeng, makanya tadi tante suruh bibik bkin dendeng khusus buat kamu..”
“iya rio…mama tuh paling inget kamu suka makan apa, bahkan tiap kali ada dendeng di meja makan ini, yang mama ingat pasti kamu.”
erwan menambahkan. sebetulnya aku bukan paling senang makan dendeng, berhubung nggak pernah menemui itu dirumah, aku jadi kayak orang udik yang rakus. mungkin saat itu mama erwan mengira aku sangat doyan sekali, padahal aku makan banyak karena pada saat itu makan dendeng seolah jadi salah satu dari tujuh keajaiban dunia bagiku.
setengah mati aku menghabiskan daging dendeng berukuran besar yang mungkin kalau dipakai untuk menimpuk anjing, bisa bengkak kepalanya.
untung saja kau dapat menghabiskannya, setelah itu dengan cepat aku membalikan sendok agar mama erwan tak menambahkan lagi apapun ke dalam piringku.
aku berdiri dari kursi setelah selesai. erwan mengajakku duduk di depan rumahnya. sekitar jam delapan aku pamit pulang. sebenarnya erwan masih mau mengajak aku jalan jalan, tapi aku merasa agak ngantuk dan capek. akhirnya erwan mengantarku dengan berat hati setelah aku berpamitan pada kedua orangtuanya.
“jangan lupa besok sore pulang kerja aku jemput kamu ya..”
erwan mengingatkanku.
“iya.. aku tunggu.”
“kalau begitu aku langsung pulang, salam sama emak kamu..maaf aku tak bisa mampir soalnya mama mau minta diantar kerumah temannya..”
ujar erwan sambil menutup kaca mobilnya dan pergi.
itu adalah pertemuan pertama aku dengan erwan setelah bertahun tahun kami berpisah, aku tak menyangka kalau besok aku akan mendapatkan kejutan yang membuat aku benar benar nyaris tak percaya dari erwan.
ternyata masalahku tak hanya ada di palembang saja.
.
.
.
.
.
.
.

| Free Bussines? |

3 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Mereka semakin dewasa, Liku2 pun semakin bebelok belok.. Seruuuuu lahh kisahx

    BalasHapus