Lihat semua daftar posting »»

Kamis, 15 Desember 2011

DENDAM PEMBAWA RASA (ENDING)

“Dea” teriak Eza ketika melihat sosok sahabatnya itu berada di antara siswa yang baru datang memasuki area sekolah. Eza yang baru saja memasuki gerbang segera mempercepat langkah kakinya untuk menjajari langkah Dea.
“Lesu banget De..?” tanya Eza ketika berhasil menjajari langkah Dea.
Eza memperhatikan seraut wajah di sampingnya itu, tak ada senyuman seperti beberapa hari yang lalu. Kening Eza berkerut bingung.
“Dea, kamu kenapa?” tanya Eza gelisah sambil mencekal pergelangan tangan Dea. Sontak langkah Dea pun terhenti. Di hadapan Eza, Dea berdiri menatap Eza.
Eza melihatnya, mata itu sembab dan merah. Ada lengkungan garis hitam yang mewarnai di bawah kantung mata itu. Bibir itu juga pucat, senada dengan pucat wajah pemiliknya.
“Kamu sakit De..?” cerca Eza sambil mengusapkan telapak tangannya di kening Dea. Namun Dea hanya diam, tak peduli dengan segala pertanyaan yang sejak tadi terlontar dari mulut Eza.
“Dea, kamu kenapa diam aja?”
Saat itulah Dea melihat sosok itu. Dia melangkah mendekat ke arah mereka. Sejak apa yang dia lihat kemarin, Dea belum siap berjumpa dengan sosok itu. Dengan tergesa dea memutar tubuhnya dan berlari meninggalkan Eza. Dan sosok itu juga sempat melihat Dea yang berlari di antara siswa lain.
Eza hanya berdiri bingung dengan tingkah Dea pagi ini.
^\(T_T)/^
Eza duduk terpekur memikirkan tingkah Dea yang terasa sangat aneh. Biasanya Dea tidak pernah mengacuhkan Eza seeperti itu. Dikarenakan kesibukan Eza memikirkan tentang kejadian tadi pagi, Eza sampai tidak menyadari tatapan mata Tirta yang tak pernah hilang menatapnya. Dengan keadaan seperti ini, Tirta merasa aman mengamati wajah yang dicintainya itu.
Bel tanda Istirahatpun berbunyi, Eza tersentak dari pikirannya, sementara Tirta kemabli berpura-pura tidak mengamati Eza.
Eza segera berdiri dan ingin segera kemeja Dea yang terletak tidak jauh dari tempat duduknya.
“Dea” sapa Eza ketika sampai di meja Dea.
Dea hanya mendongak lalu kembali menyandarkan pipinya di atas meja. Tiba-tiba ada sosok lain yang ada diantara mereka. Ternyata sosok itu adalah Tirta.
“Sayang, kamu kenapa?” Tanya Tirta mesra.
Ada perasaan aneh pada diri Eza. Dia merasakan ada sesuatu yang bergejolak di hatinya. Dea menatap wajah rupawan Tirta. Tapi tatapan itu dingin. Tidak seperti biasanya Dea menatap Tirta seperti itu. Karena Eza tahu, Dea begitu memuja Tirta.
“Za, bisa tinggalin kami berdua” pinta Dea masih dengan nada yang dingin.
Tanpa menjawab, Eza segera meninggalkan tempat itu. Dan mentup pintu kelas, tapi ada rasa penasaran di hati Eza, maka dengan hati-hati dia bersembunyi di balik pintu yang tertutup itu.
“Kita putus Ta” ucap Dengan dengan suara serak. Tirta kaget mendengar perkataan Dea, hal yang sama terjadi juga pada Eza. Eza masih ingat betapa bahagianya Dea ketika jadian sama Tirta.
“Kenapa putus Dea, aku cinta kamu” lirih Tirta, saat mengucapkan kata CINTA, Tirta merasa telah membunuh hatinya.
“Cukup Ta, jangan bohongi aku lagi. Aku tahu kamu mencintai orang lain”
“Maksud kamu apa De..?”
“Aku melihat apa yang kamu lakukan kepada Eza saat di dalam UKS itu”
Tirta terdiam. Tak mampu lagi bicara. Sementar Eza lebih parah. Eza shock mendengar perkataan Dea tadi. Dia bingung dan ingin minta penjelasan. Namun tak terdengar lagi suara apapun dari dalam.
>\(^0^)/

Eza tiduran di dalam kamarnya. Perkataan dea tadi masih mengganggu pikirannya. Tiba-tiba ponsel Eza bordering. Eza segera menyambar ponselnya dan melihat dilayar tertera sebuah pesan masuk. Dari Dea.
FROM : DEA
Za, bisa kerumah aku sekarang?
Ada sesuatu yang mau aku katakan.

Dengan sigap Eza segera membalas untuk menyetujui permintaan Dea. Tanpa ganti pakaian, Eza segera menuju motornya, dan melaju kerumah Dea.

*******

Ketika semua jawaban itu terungkap.
Tirta memasuki sebuah rungan yang telah lama tidak dimasukinya. Sebuah kamar yang indah dan bernuansa feminim. Hal ini terlihat dari perabotan dan catnya yang berwarna dominan merah muda.
Entah mengapa, sore ini Tirta ingin sekali melewati waktunya untuk berdiam diri di ruangan ini. Kamar tidup peninggalan Kak Helen.
Tirta mengelilingin ruangan itu. Sampai akhirnya dia membongkar isi lemari pakain almarhumah kakaknya itu. Ada perasaan aneh yang seakan menariknya untuk membongkar lemari itu. Saat sedang asyik mengamati pakain kak Helen, ekor mata Tirta menangkap sesuatu. Sebuah surat.
Tirta segera meraih surat itu dan segera membukanya. Disana terdapat tulisan tangan yang Tirta kenal sebagai tulisan kak Helen. Tirta segera membacanya. Saat membaca surat itu, airmata Tirta turun membasah pipinya. Matanya beberapa kali terpejam, menahan perasaannya yang makin tidak karuan. Butuh waktu yang lama bagi Tirta untuk membaca surat itu.

Akhirnya sekaran tirta tahu, semua yang dilakukannya ini salah. Dan atas tindakan bodohnya itu semakin banyak luka dihatinya. Walaupun begitu, tirta akhirnya tahu jawaban itu telah terungkap.
*******
Dikamar dea.
“Tirta mencintai kamu Za” Kata Dea dengan suara serak.
“Maksud kamu apa de.., aku tidak mengerti”
Dea dia, mencoba menyusun perkataan yang pas. Setelah mempertimbangkan hal ini sejak tadi, akhirnya dea memberanikan diri mengatakan kepada Eza apa yang sebenarnya terjadi. Meskipun akhirnya dia merasa sakit.
“Aku melihat Tirta mencium kamu di dalam UKS”
“Apa..?”
“Tirta mencium kamu”
Eza diam, tidak tahu berkata apapun.
“Aku permisi pulang De” pamit Eza. Entah kenapa dia ingin segera pergi dari rumah dea. Eza pengen pergi kesuatu tempat.
“yaudah Za, aku Cuma mau katakana itu. Maaf tadi pagi aku cuekin kamu. Aku hanya belum sipa mengatakannya padamu” jelas Dea.
“Iya de, aku pamit dulu yah.
“Ya, sini aku antar sampai pagar”
Mereka akhirnya melangkah keluar kamar.
*********
Penjelasan terakhir yang dinanti…

Motor Eza melaju cepat menyusuri jalan lengang.
Menuju tempat itu. Rumah megah bernuasa medeterenia yang berdiri indah di jalan Diponegoro. Rumah tempat tinggal seseorang yang tahu semua jawaban atas segala masalah ini. Rumah seseorang yang telah menariknya dalam pusara ini. Dan rumah seseorang yang kini tersemat dalam hatinya.
Purnama diatas bersinar indah menunjukkan kemegahan rumah itu.
Rumah ini masih sama seperti dulu. Lengang seperti tak berpenghuni. Meski begitu rumah ini masih menakjubkan.
Eza menekan bel. Teriakan bel terdengar nyaring seperti beladu di tengah hutan. Sekejap terlihat sosok Bu Sri mendekat ke gerbang pintu.
Pintu gerbang terbuka.
“Malam Bu” sapa Eza sopan.
“Malam nak Eza”
“Tirtanya ada Bu?”
“Ada, Silahkan masuk”
Eza melangkah masuk bersama Bu Sri. Degup jantungnya berpacu cepat.
^\(T_T)/^
Dea memacu mobilnya mengikuti laju motor Eza. Sejak Eza pergi dari rumahnya, ada keresahan yang menghantui pikirannya.
Motor Eza menepi di sebuah Rumah besar. Dea tahu ini adalah Rumah Tirta. Dea memperhatikan sosok Eza dari dalam mobil. Hingga akhirnya sosok Eza masuk ke dalam rumah.
“Apa yang Eza lakukan di rumah Tirta?”
^\(T_T)/^
Eza melangkah dengan perasaan gamang menuju taman belakang. Tadi Bu sri mengatakan bahwa Tirta sedang duduk di sana. Dari kejauhan Eza dapat melihat sosok Tirta yang duduk di atas Rumput. Di hadapannya tubuh kokoh sebuah pohon.
Pohon linden. Pernahkah kalian melihat pohon linden?
Pohon yang berdaun setelapak tangan. Bentuk daunya sempurna seperti sebongkah hati. Indah seperti simbol cinta. Malam ini, tangkai daun menggantung siluet bentuk “hati-hati” tersebut di sepanjang dahan dan ranting. Memberikan hawa kesendirian yang nyaman.
Dedeaunan kering yang jatuh dari tangkainya mengombak di rumput taman. Bentuk hati yang kecoklatan memenuhi sepanjang kaki Eza menjejak. Mengering. Getas. Berbunyi kresek saat terinjak.
Eza menelan ludah.
Kakinya tinggal sepuluh langkah lagi dari pohon linden itu. Dan itu berarti, Eza tinggal kurang dari sepuluh langkah lagi dari sosok yang dicarinya.
Sosok yang kepadanyalah cinta itu tumbuh, sosok yang mempesonanya, sosok yang malam ini akan menjawab semua potongan teka-teki atas masalah semua ini, Dan Sesorang yang dengannya semua cerita harus usai malam ini.
^\(T_T)/^
“Tirtanya ada Bu?” tanya Dea cepat ketika pintu gerbang itu terbuka.
“Ada neng, kebetulan tadi temannya juga ada yang datang”
“Boleh saya masuk?”
“Oh iya neng, silahkan”
Dea masuk mengikuti langkah kaki Bu Sri
“Sekarang Den Tirta sedang di taman belakang” kata Bu Sri kepada Dea ketika berjalan memasuki rumah.
^\(T_T)/^
“Ada perlu apa kamu datang kemari?” Tirta bertanya datar.tidak bergerak dari duduknya. Tetap terpekur duduk menghadap pohon linden. Tangannya memainkan sehelai daun yang berbentuk potongan hati itu.
Eza yang berpikir seribu cara untuk memulai pembicaraan ini hanya mampu menghela nafas. Eza beranjak satu langkah lagi mendekati Tirta dari belakang. Tentu saja Tirta mendengar derap langkah kaki Eza itu. Karena setiap Eza melangkah, daun kering itu menimbulkan bunyi getas gemerisik.
“Aku mencari jawaban” Suara Eza tinggi sedikit parau.
Eza mengeluh di dalam hati. Jika di awal pembicaraan tensinya sudah setinggi ini, bagaimana semua pembicaraan ini akan berakhir. Eza menarik napas mencoba menenagkan diri.
“Boleh aku duduk disampingmu?” Eza bertanya pelan.
Tirta tidak menoleh sedikitpun. Bibirnya pun diam tak menjawab. Eza duduk beberapa jengkal dari Tirta. Memperhatikan tangan Tirta yang masih asyik memainkan setangkai daun itu dengan takzim.
Hawa menyenangkan dari pohon linden itu berbaur dengan ketegangan dari dalam diri Eza dan Tirta.
^\(T_T)/^

Dea melihatnya. Tirta tengah duduk disana. Dan disampingnya ada sosok yang yang juga dikenalnya.
Dea mencoba mendekat ke arah mereka. Namun baru beberapa langkah, angin menerbangkan serangkaian kata yang membuat dada Dea seketika bergemuruh. kakinya terasa membatu. Tak mampu lagi bergerak.
^\(T_T)/^
“Aku ke sini ingin meminta penjelasan” Eza memulai dengan bisikan lirih.
Tirta masih saja diam, bukan karena dia tidak mendengar, namun dia bingung bagaimana memulainya.
“Mengapa kamu tidak mau mengakuinya?” Eza mulai gusar melihat kediaman Tirta.
“Maksud kamu apa?” Tirta bertanya balik.
“Mengapa kamu tidak mau mengakui bahwa kamu mencintai aku? Apa kamu malu telah jatuh cinta sama seorang cowok yang sangat kamu benci” suara Eza serak.
Tirta hanya diam.
“Ayo jawab Tirta, mengapa?”
Tirta tetap diam. Tapi tangannya bergemetar.
“Apakah kamu tahu aku juga mencintai kamu? Saat pertama kali aku lihat kamu, aku ingin dekat sama kamu. Tapi kamu selalu memusuhi aku. Dan saat ciuman di toilet itu. Aku pikir kamu juga mencintai aku, namun saat peraasaan aku mekar, kamu memangkasnya dengan jadian sama Dea. Dan kemarin kamu kembali mencium aku di UKS. Mengapa kamu mempermainkan perasaan ini Tirta?” Eza tak mampu lagi membendung perasaannya.
“Darimana kamu tahu tentang kejadian di UKS itu?”
“Dea telah menceritakn semuanya kepadaku”
Eza bangun dari tempat duduknya, Tirta mendongak, menatap wajah Eza. Terlihat mata eza yang berkaca. Tirta ikut bangun dan meraih tangan Eza.
Perlahan tatapan mereka bertemu, dengan lembut Tireta mendekatkan Bibirnya ke bibir Eza, Eza tidak mampu menolak. Dibiarkannya Tirta melabuhkan ciuman itu kepadanya. Tirta terus mengecup bibir itu dengan lembut. Tirta mengangkat kepalanya, mengakhiri kecupan itu.
“Inilah perasaan aku sebenarnya, aku mencintai kamu”
Eza terpaku. Dia bahagia akhirnya Tirta mengakui perasaannya kepada Eza. Namun ada sesuatu yang menganjal.
“Maukah kamu menjadi kekasihku?” Tanya Tirta tetap menatap mata Eza.
Eza bingung menjawab pertanyaan itu.
“Bagaimana dengan Dea?”
Tiba-tiba muncullah seseorang dibelakang mereka.
“Aku tidak apa-apa kok Za, aku terima ini semua” Dea berusaha tersenyum.
“Sejak kapan kamu ada disini De?” Tanya Eza dengan gugup.
“Sejak kalian mulai bicara. Aku mendengar semuanya. Kamu tenang aja za, aku bisa terima semua ini”
“Tapi de…” ucap Eza.
“Udahlah Za, aku tidak bisa memaksa Tirta untuk mencintai aku. Meskipun aku mencintai Tirta, tapi aku harus terima kenyataan ini. Semula aku benci dengan keadaan ini, aku tidak terima tentang cinta sejenis kalian. Tapi sekarang aku sadar, cinta seperti ini ada” jelas dea.
“Maafin aku Dea” ucap Tirta dan Eza bersamaan.
“udahlah, kita masih bisa sahabatan. Dan masalah ini, biar jadi rahasia kita bertiga.”

Mereka tersenyum, dan mereka kembali duduk menatap pohon linden. Pohon berdaun hati simbol cinta.
“Bagaimana Za, terima gak tirtanya?” Tanya Dea tersenyum jail
Eza hanya tersenyum malu, Tirta terlihat cemas. Saat Eza menganggukkan kepala. Tirta akhirnya bernapas lega. Dan segera merangkul Eza dalam pelukannya. Sementara Eza tersenyum bahagia berada dalam dekapan seseorang yang dicintainya.
Mereka tertawa bersama. Tertawa bahagia.

“Kak Helen, sekarang Tirta sudah memiliki kekasih. Ternyata dia bukanlah adik pembunuh kakak. Tetapi dia adalah adik kekasih yang sangat kakak cintai. Terima kasih kak” ucap Tirta dalam hati.
%%%%%

Surat Kak Helen:

Teruntuk adikku terkasih,Tirta.

Adekku Tirta, mungkin saat adek baca surat ini, kakak sudah pergi jauh.

Dek, maafin kakak harus melakukan ini semua. Maaf kakak harus pergi meninggalkan adek. Kakak malu dengan keadaan kakak seperti ini. Kakak hina dek.
Dek, sekali lagi kak minta maaf. Kakak oranh jahat, teganya kakak menkhianati cinta kak Naufal. Tanpa sepengetahuan dia, kakak selingkuh. Kakak telah menyiakan cinta sejati kakak.
Dek, saat menulis surat ini, kakak tidak lagi suci. Akibat kebodohon kakak, kak hamil dek, hamil dengan lelaki yang jadi selingkuhan kakak. Kakak malu kepada naufal, kakak malu kepada adek, juga mama dan papa.
Dek, kakak sudah tidak mau keluarga kita menanggung aib ini, biarlah kakak sendiri yang menderita karena kesalahan kakak ini. Maaf kakak harus meninggalin kalian.

Kakak saying kamu dek, sampaikan permintaan maaf kakak jika nanti adek ketemu naufal.
Semoga nanti kita bisa bertemu lagi. Selamat tinggal.

Kakak yang selalu menyanyangimu.

Helena

| Free Bussines? |

Tidak ada komentar:

Posting Komentar